Oleh : Khairun Nisa DNR (Aktivis Muslimah Kampus)
Mahasiswa? Ya! figurnya dipandang menjadi yang paling ideal untuk mengemban sebuah amanah besar perbaikan kondisi bangsa. Terlebih di tengah globalisasi dan perkembangan teknologi yang menuntut setiap individu memiliki daya saing tinggi. Seiring dengan proses integrasi kehidupan dari lokal ke nasional, kemudian berlanjut menuju tahapan global “mendunia”.
Meski dalam batas satuan nasional peran negara oleh pemegang kekuasaan acapkali masih dapat kuat bertahan, maka pada tataran global yang berkonfigurasi menjadi “one bordless world” saat ini peran tersebut nampaknya tidak demikian lagi. Peter Packer menyebut bahwa harus memiliki “4C” jika ingin meraih peran dominan dalam era globalisasi, yakni “Communication, Citizen, Corporation dan Capital”.
Dalam kerangka itu maka upaya untuk lebih mengedepankan secara berangsur peran individu menjadi salah satu fokus utama menjadi penting artinya. Termasuk mahasiswa, yang dituntut mengambil peran sebagai inisiator dalam “sistem swabina”. Yakni sistem yang menekankan bahwa setiap individu atau masyarakat seharusnya memiliki kesadaran untuk mengolah apapun input disekitarnya menjadi output yang bernilai. Ini pada hakekatnya menunjukkan semakin kentaranya upaya mengkaburan atau mengeliminasi peran negara terhadap kesejahteraan rakyat. Rakyat dituntut berdaya, bagaimanapun caranya.
Jika kita melihat secara kritis posisi dan peran negara ini pada tataran dunia. Sungguh tidak dapat dipungkiri, Indonesia belum memiliki keberdayaan yang cukup. Hal tersebut tentu tidak lepas dari dominasi Negara Kapitalis Penjajah melalui Korporasi-Korporasi Global yang sudah lama menyetir bangsa ini
Sungguh ironis, jika melihat kekayaan alam bangsa ini yang sangat berlimpah. Tambang emas dengan kualitas terbaik di Papua yang produksi emasnya pertahun bisa mencapai 40.936 kg, cadangan gas alam terbesar dunia di blok Natuna dan Cepu yang menghasilkan sekitar 200 kaki kubik minyak bumi dan gas alam. Belum lagi potensi kesuburan tanah, lautan dan hutan tropis yang luar biasa. Ironisnya, masih terdapat 28 juta jiwa per Maret 2016 yang masih ada di bawah garis kemiskinan. Dikutip dari okezone Agustus 2015, terdapat sekitar 75% anak putus sekolah karena faktor ekonomi. Pertanyaannya, kepada siapakah hasil-hasil potensi alam tersebut diperuntukkan dan dinikmati ?
Jika kita melihat secara kritis posisi dan peran negara ini pada tataran dunia. Sungguh tidak dapat dipungkiri, Indonesia belum memiliki keberdayaan yang cukup. Hal tersebut tentu tidak lepas dari dominasi Negara Kapitalis Penjajah melalui Korporasi-Korporasi Global yang sudah lama menyetir bangsa ini, menguasai pengelolaan sumber daya alam dan mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin eksistensi kepentingan mereka berjalan tanpa ada kendala yang menghadang.
Sesungguhnya masalah yang saat ini dihadapi bangsa ini bukan lagi pada tataran teknis atau subsistem. Bukan hanya sekedar bagaimana bisa berdaya dengan mengoptimalkan kemampuan individu dan potensi sekitar. Namun sesungguhnya saat ini, persoalan utamanya ada pada tataran sistem. Mampukah sistem yang diterapkan bangsa ini menghadapi terjangan sistem kapitalis penjajah yang telah lama bercokol dan mencengkeram ?
Seharusnya kita yakin bahwa sesungguhnya Islam hadir sebagai sebuah solusi. Selain dalam perkara ibadah, Islam juga mengatur sistem penyelenggaraan negara berbentuk Khilafah Islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah. Dan semua aturan itu wajib diterapkan. Bukan penerapan comotan, tapi secara keseluruhan. Islam yang diemban dalam segala aspek kehidupan termasuk sistem bernegara adalah konsekuensi keimanan.
Bukan sesuatu yang utopis, tapi sesungguhnya ini adalah janji Allah. Upaya apapun yang datang menghadang, sungguh takkan mampu untuk memadamkan api kebangkitan Islam. Maka seruan perjuangan ini juga diperuntukkan pada generasi muda, terutama mahasiswa. Maka Bangkitlah !!! Allahu a’lam bis shawab. [syahid/voa-islam.com]