Oleh: Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis dan Dosen Luar Biasa Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang)
Remaja Masjid sebagai Potensi
Salah satu kekuatan dalam mendinamisasikan masjid adalah dibentuknya remaja masjid yang dibina dan dikelola secara maksimal dan serius. Jika memungkinkan pengelola masjid bisa memberikan insentif secara profesional kepada para trainer untuk membentuk dan menciptakan remaja masjid yang berkualitas.
Ini untuk membendung sebuah kenyataan, remaja masjid selama ini hanya sebatas menjadi penjaga sandal atau tukang pembagi snack ketika ada acara tertentu yang dilakukan oleh beberapa lembaga atau perusahaan di masjid. Akibatnya, remaja masjid cenderung diposisikan di barisan paling belakang.
Tukang bersih-bersih, tukang membuat kopi, dan sejenisnya. Sebagai upaya penggemblengan mental tidak salah. Tetapi kalau posisi seperti ini sampai berdasa-warsa, bukan penggemblengan, tetapi penyimpangan potensi.
Dalam konsep revolusi masjid, justeru sebaliknya. Kaum tua harus mulai legowo, dan yang muda harus maju kedepan. Kaum tua cukup menjadi pembimbing, penasehat, konsultan atau minimal menyetujui ”gerakan revolusi masjid” yang dilakukan oleh kalangan muda. Mengutip konsep kepemimpinan tokoh pendidian Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani.(Di depan menjadi tauladan, di tengah memberi support moral, di belakang memberi dorongan penuh).
Suatu yang menyedihkan adalah; di beberapa masjid, acap kali terjadi ”perang” antara remaja masjid dengan kaum tua. Masalahnya bukan pada persoalan ideologi yang berbeda, melainkan hanya berdasar pada perasaan terganggungnya ”status quo” kaum tua, oleh kehadiran kalangan muda.
Contoh yang paling sederhana saja. Misalnya persoalan adzan. Sangat sepele. Tetapi karena sudah banyak remaja masjid yang mulai datang menjelang waktu tiba dan siap adzan, kemudian kaum tua merasa tersinggung, dengan asumsi kehadiran remaja masjid akan menggeser posisinya sebagai pengurus masjid. Logika kedangkalan struktural seperti ini yang kini sedang banyak ’diderita’ oleh sebagian para pengurus masjid. Akibatnya, bukan menjadi ruang untuk melaukan kegiatan ibadah, malah sebaliknya untuk ajang pertengkaran antara kaum muda dan kaum tua.
Padahal, disadari atau tidak, menggalanag kekuatan melalui pembentukan remaja masjid merupakan sebuah keharusan untuk memulai sebuah gerakan revolusi masjid. Kenapa? Bukan tidak percaya dengan kaum tua, tetapi mentalitas yang dapat dibentuk menjadi remaja masjid yang progresif revolusioner adalah kalangan muda, dalam hal ini remaja masjid.
Remaja masjid adalah potensi ummat yang harus senantiasa diberdayakan, bukan diperdaya. Melalui kaum remaja inilah, revolusi masjid dapat dimulai secara perlahan. Bukan saja sebagai konseptor, tetapi sekalligus menjadi pemain dalam lingkaran. Sehingga, suasana dinamisasi sebuah kegiatan masjid akan lebih terjamin, ketimbang seperti selama ini, yang harap-harap cemas terhadap kaum tua.
Mengusung remaja masjid sebagai ”pimpinan” di depan ini, tentu akan ada risiko. Tetapi meniadakan kehadiran remaja masjid dalam proses revolusi masjid akan lebih berisiko. Sebab, hanya mengandalkan kaum tua yang pemahamannya terhadap masjid masih konservatif, akan menimbulkan gerakan revolusi masjid stagnasi (mandeg). Kenapa? Sebab jujur saja, kalangan tua pola pikirnya sudah tidak lagi produktif, belum lagi konsentrasinya terpecah-pecah, baik terhadap pekerjaan, kebutuhan keluarga dan lain sebagainya. Tetapi membiarkan remaja berdiri sendiri tanpa kawalan kaum tua juga akan berhadapan dengan sebagian kaum tua yang tida responsif terhadap upaya revolusi masjid. Oleh sebab itu, memunculkan remaja masjid di barisan depan harus membutuhkan proses dan tahapan.
Tahapan yang sebaiknya dilalui, sebenarnya sangat sederhana. Para senior, (atau trainer) dapat melakukan in-house training menjelang melakukan gerakan revolusi masjid. Paling tidak, ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk memulai training bagi remaja masjid. Pertama; melakukan training penguatan ideologi.
Dalam penguatan ideologi ini, remaja diberi materi dan muatan intelektual yang bukan saja memberikan wawasan terhadap fungsi masjid, tetapi lebih dari itu, training ideologi ini sebagai upaya dalam menguatkan komitmennya sebagai aktifis masjid yang harus tetap menjaga integritas keimanan, kejujuran, kreatif dan inovatif. Kedua; training penguatan struktural.
Point kedua ini, sama pentingnya dengan penguatan ideologi. Hanya bermodal kekuatan ideologi dan mengesampingkan penguatan struktur, maka remaja masjid juga akan pincang. Sementara kuat secara struktur tanpa ideologi, remaja masjid juga akan buta. Dalam penguatan struktural ini, pengelola masjid dapat memulai melakukan training kepemimpinan dari tingkat dasar sampai tingkat advance.
Tujuannya, selain untuk menggali potensi calon pimpinan muda di remaja masjid, juga untuk membekali pemahaman birokrasi dan administrasi dalam organisasi. Ketiga; Penguatan Jaringan. Hal ketiga ini akan sangat mendukung bagaimana sebuah organisasi remaja masjid akan berkembang atau tidak. Sebab lembaga apapun, tanpa memilliki jaringan kerja yang luas hanya akan jalan ditempat.
Sementara program hanya akan sebatas menjadi slogan semata. Penguatan jaringan, dapat dimulai dengan pembuatan profil yang ditayangkan melalui situs internet, untuk kemudian disebarluaskan diseluruh nusantara. Dengan pengenalan profil remaja masjid seperti ini akan memudahkan lembaga lain dalam meng-akses tentang profil, kegiatan, progam kerja dan lain sebagainya.
Partisipasi perusahaan dan masyarakat
Konsep revolusi masjid tetap memerlukan sebuah partisipasi besar, baik dari BUMN, BUMD, pemerintah atau masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya komponen ini, gerakan revolusi masjid hanya akan menjadi sebuah utopia.
Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah kesadaran kolektif dari semua pihak untuk secara bersama-sama menciptakan komitmen untuk mewujudkan gerakan revolusi masjid ini. Perusahaan dan pemerintah, sebagai institusi yang mempunyai kewenangan membantu pengadaan dana, juga tidak harus menanamkan kecurigaan adanya mark-up yang rentan dilakukan pengelola dan remaja masjid. Sebab dengan training ideologi yang kuat, maka penggelembungan, atau bahkan penyimpangan ini mudah-mudahan tidak terjadi.
Sementara masyarakat setempat menjadi komponen penting terhadap upaya terwujudnya revolusi masjid ini. Partisipasi masyarakat, baik moril dan materiil, merupakan satu kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Sebab, tanpa masyarakat sebuah gerakan apapun tidak pernah akan terwujud.
Persolannya tinggal bagaimana menggalang kekuatan masyarakat ini menjadi sebuah komunitas yang solid dalam membantu revolusi masjid. Namun, satu hal yang sebenarnya dapat dimulai untuk membangun kekuatan di masyarakat adalah, menciptakan kepercayaan dengan memberikan layanan kepada masyarakat didahulukan. Jika masyarakat sudah merasa butuh dengan sistem dan menejemen revolusi ini, dengan sendirinya, masyarakat akan menjadi tameng utama, ketika ada kekuatan lain yang hendak menghalangi gerakan revolusi masjid.
Mulai dari yang sederhana
Menggalang kekuatan untuk sebuah gerakan, bukan sesuatu yang mudah. Tetapi tidak juga sulit. Di kalangan remaja masjid, dapat dimulai dengan penelusuran bakat dan minat. Ini berfungsi untuk menjaring ”kepentingan” di kalangan remaja.
Dengan sendirinya, ketika remaja masjid, minat dan bakatnya telah terakomodasi, otomatis akan ”terpanggil” untuk selalu dekat dengan masjid. Untuk memulainya bisa melalui pembentukan tim nasyid, tim vokal group, musikalisasi puisi, teater dan lain sebagainya.
Tetapi, sebuah catatan yang mesti dikedepankan adalah, kaum tua tidak harus buru-buru ”mematahkan” semangat kalangan muda. Sebab satu kali saja ada ”suara miring” yang dituduhkan kepada ramaja masjid, maka upaya penggalangann ini akan terkikis dan gagal. Maka dalam hal ini juga dibutuhkan dorongan kaum tua, yang selama ini masih merasa kurang percayaterhadap remaja masjid.
Dengan niat untuk melakukan revolusi masjid, setidaknya kaum tua membuang jauh-jauh tuduhan ketidakpercayaan terhadap kaum muda. Sebaiknya ”membiarkan” kaum muda untuk melakukan programnya sesuai dengan kesepakatan mereka, sambil terus melakukan pendampingan.
Sementara, dalam penggalangan kekuatan remaja masjid bersama masyarakat ini, harus terlebih dahulu menjauhkan pemikiran pemilahan, antara ”remaja pemabuk” dan ”remaja alim”. Biarkan saja bergulir, sehingga akan tercipta dengan sendirinya secara alamiah.
Sebab, ”memukul” dengan doktrin diawal, bagi remaja yang belum kenal dengan masjid, akan menjadi sebuah tekanan psikologi. Bukan tidak mungkin jika ini terjadi, remaja yang sebelumnya ingin dekat dengan masjid kemudian malah berlari dan enggan masuk masjid. Jadi sebenarnya, keenaggan remaja masuk masjid bukan lantaran kalangan remaja ini nakal, melainkan justeru sebagai akibat kenakalan orang tua, yang membiarkan mereka berbanjar panjang dengan botol minuman keras diluar masjid, tanpa ada upaya pendekatan persuasif.
Padahal dengan memulai menggalang kekuatan melalui remaja masjid, sebuah gerakan revolusi masjid secara perlahan akan terwujud. Siapa yang bertugas untuk memulai. Bukan anda. Bukan saya. Tetapi kita, sekarang juga! [syahid/voa-islam.com]