Judul: Legenda 4 Umara Besar
Penulis: Indra Gunawan, Lc
Penerbit: Quanta
Cetakan: 2014
Tebal: 262 hlm
Peresensi: Sinta
“Sungguh miris, jika ternyata orang non-Muslim lebih paham sejarah kegemilangan Muslimin daripada orang-orang Islam sendiri. Padahal, sepertiga Al-Qur’an berisi tentang kisah-kisah, mengajarkan kita bahwa belajar sejarah merupakan cara efektif mengambil pelajaran, membangkitkan kesadaran.” (h. 111)
Legenda 4 Umara Besar. Saat melihat nama-nama di bagian sampul buku, hanya satu nama yang sangat familiar di kepala, yaitu Shalahuddin Al-Ayyubi. Jadi, melihat nama-nama lain diberi ‘gelar’ umara besar oleh buku ini, saya penasaran dengan sosok-sosoknya. Selain Shalahuddin Al-Ayyubi, profil yang ingin dituangkan adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Abu Ja’far al-Manshur, dan Abdul Hamid II. Nama-nama yang hanya saya kenal sepintas.
Dibuka dengan nama Muawiyah bin Abu Sufyan. Nama Abu Sufyan lebih saya kenal daripada Muawiyah karena memang lebih sering membaca sejarah awal Rasulullah dibandingkan dengan sejarah tokoh lainnya. Meski ayah Muawiyah adalah pembangkang di awal dakwah Rasulullah, tapi hijrahnya Abu Sufyan bersama keluarganya, berperan dalam perjuangan Islam di kemudian hari. Muawiyah sendiri dipilih oleh Rasulullah sebagai sekretaris, sekaligus salah satu penulis wahyu.
Muawiyah menjadi pemimpin sejak berdirinya dinasti Ummayah. Meski mendapat hujatan karena menentang khalifah Ali bin Abi Thalib, pemerintahan di eranya mampu meredakan sengketa dalam tubuh pemeluk Islam yang pada masa itu sedang panas. “Terbukti, umat yang tadinya tercabik-cabik kini kembali bersatu. Tak ada lagi pertempuran besar antar-Muslimin.”(h.30) Menurut penulis, meski sosok Muawiyah memiliki kekurangan seperti kehidupannya yang bergelimang harta, tapi banyak sekali sumber sejarah yang menyudutkan Muawiyah tanpa melihat lebih dalam pada masalah terjadi.
Sosoknya diceritakan sejak masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yaitu saat pendirian dinasti Ummayah, konflik dengan Ali bin Abu Thalib, hingga bagaimana Muawiyah menenangkan kembali kondisi umat Islam. Pada bab ini juga dijelaskan tentang alasan perpecahan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, yang luar biasanya tidak membuat keduanya saling membenci.
Berlanjut ke masa Dinasti Abbasiyah, dengan sosok Abu Ja’far Al-Manshur. Figur ini dipenuhi dengan intrik, pembunuhan dan penjegalan pihak pesaing, termasuk oleh Al-Manshur yang juga memilih membunuh pesaingnya untuk meraih kursi kekuasaan. Jadi apa yang membuatnya layak untuk disebut Umara besar?
...Saat membaca profil keempat Umara ini, pembaca juga disuguhi sejarah Islam era kedinastian hingga masa sekarang. Diharapkan dari buku ini ditemukan sosok pemimpin yang memiliki karakter kuat dan ketakwaan yang tinggi...
Penulis menuliskan, “Prinsipnya yang anti berleha-leha berbanding lurus dengan amalnya sepanjang 22 tahun bertakhta. Tahun demi tahun, pembangunan dan penyejahteraan rakyat digalakkan. Kemajuan ilmu pengetahuan disokong besar-besaran.” (h.66)
“Al-Manshur lebih berani merombak dan membongkar pasang sistem demi tercapainya pemerintahan yang ideal.” (h.90)
Pada profil Al-Manshur, dijelaskan juga bagaimana pergerakan Syiah pada era Abbasiyah. Pada bab ini, ada bagian yang membingungkan yaitu alur maju-mundurnya sulit diprediksi. Jadi, pembaca harus berpegang pada tahun dan peristiwa yang selalu ditampilkan di setiap bab profil tokoh.
Selanjutnya adalah Shalahuddin Al-Ayyubi. Sosok ini mengambil bagian terpanjang dari empat umara yang dikisahkan dalam buku ini. Kisahnya dimulai pada era sebelum Shalahuddin unjuk diri dalam pemerintahan Dinasti Zankiyah. Shalahuddin terlibat dalam kancah pertempuran sejak usai 27 tahun, dan menjadi orang kepercayaan dan kepanjangan tangan dari Nuruddin. Banyak nama yang muncul pada bab Shalahuddin ini. Beberapa hampir mirip seperti nama Nuruddin dan Najmuddin, ayah Shalahuddin. Jadi pembaca perlu berhati-hati atau jika perlu membaca ulang jika halaman sebelumnya bila terasa janggal.
Konflik sejarah antara Shalahuddin dan Nuruddin dibahas dalam buku ini. Sayangnya tidak disebutkan literatur apa yang digunakan penulis untuk membahas kedua sosok tersebut. Beliau mencoba membantah beberapa tudingan buruk sejarah pada diri Shalahuddin Al-Ayyubi. Pada saat yang sama, penulis memperlihatkan kemampuan Al-Ayyubi dalam mengelola pemerintahan.
Umara berikutnya adalah Abdul Hamid II. Sosok ini termasuk baru karena hidup pada abad ke-19. Saya terkesan dengan beliau, karena keberaniannya menentang pihak asing dan kaum Zionist, isu yang sampai saat ini masih melekat dalam sejarah Islam. “Namanya ditulis dengan tinta merah di buku-buku sejarah hanya gara-gara pembangkangannya pada konspirasi zionisme. Kaum Yahudi yang menguasai media massa dan informasi dunia mendeskriditkannya sebagai pemimpin haus darah karena tidak mengizinkan berdirinya Negara Israel di Palestina.” (h. 217)
Abdul Hamid harus berjuang, tak hanya berhadapan dengan pihak asing tapi juga pemerintahannya sendiri yang mendewakan konstitusi. Beliau harus maju-mundur dengan konstitusi karena pertimbangan kondisi negara. Bahkan, kejatuhannya juga dikarenakan protes dari rakyatnya sendiri, Gerakan Turki Muda, yang telah dijadikan boneka oleh kaum sekuler.
Saat membaca profil keempat Umara ini, pembaca juga disuguhi sejarah Islam era kedinastian hingga masa sekarang. Diharapkan dari buku ini ditemukan sosok pemimpin yang memiliki karakter kuat dan ketakwaan yang tinggi. Belajar dari sejarah menjadi salah satu poin berharga untuk membangkitkan kearifan dalam membangun pemerintahan yang berlandaskan pada ketaatan terhadap Allah swt. (riafariana/voa-islam.com)