View Full Version
Rabu, 30 Nov 2016

Ketangguhan Mualaf yang Menemui Ajal Demi Islam (Bagian 1 dari 2)

*Catatan indah perjalanan seorang sahabat*

Wajah gadis itu sedikit kaget saat kami bicara dengan ‘lolongan’ (istilah bahasa kode etik) yang hanya dipahami oleh orang-orang yang pernah dididik menjadi "pemikul salib". Ia datang untuk menyerahkan surat baptisnya pada kami. Ini memang salah satu tahapan pra syahadat yang harus ia lalui sebelum resmi masuk Islam.

Kami menggunakan pendekatan hukum dan etika agamanya sekadar untuk mengetahui "kapasitasnya" di agama sebelumnya. Ini penting untuk mengetahui sejauh mana ia berperan di barisan musuh untuk menghancurkan Islam. Ini juga selaras dengan dogma di ajaran sebelumnya dengan asumsi, "tidak ada serigala yang tidak membalas lolongan".

Setelah yakin akan kesungguhannya, kami pun memasukkan dia dalam proses pra syahadat. Ia adalah sosok yang istimewa. Bukan karena ‘kedudukannya’ di musuh yang membuat ia menjadi luar biasa, tapi ketangguhan mentalnya yang membuat kami terpaku. Itu kami ketahui saat memeriksa latar belakang kondisi psikologisnya yang membuat ia memilih Islam.

"Bukan bapakku yang menciptakan aku, tapi Tuhan! Jadi bukan bapakku yang harus kusembah, tapi Tuhan."

Rangkaian kata yang hampir musykil keluar dari lisan seorang anak SMU, zaman sekarang ini. Tapi kalimat itu benar-benar keluar dari mulut seorang anak perempuan yang berusia 17 tahun. Berhari-hari ia menemui tim kami dengan mencuri-curi waktu selepas pulang sekolah. Dengan rok pendek abu-abunya, ia pun menjalankan proses pra syahadat.

...Ia adalah sosok yang istimewa. Bukan karena ‘kedudukannya’ di musuh yang membuat ia menjadi luar biasa, tapi ketangguhan mentalnya yang membuat kami terpaku...

Kata-kata gadis tersebut mengingatkan kami pada kalimat yang keluar dari lisan sahabat yang agung, Ali bin Abi Tholib ra. Saat itu ia menjawab pertanyaan tendensius dari banyak pihak. Kenapa ia yang baru berusia 9 tahun seenaknya memutuskan mengikuti Rasululloh SAW tanpa meminta persetujuan dari bapaknya?

Sayidina Ali pun menjawab, “Tuhanku tidak bertanya pada bapakku saat ingin menciptakan aku. Kenapa aku perlu bertanya pada bapakku untuk memeluk Islam?”

Kata-kata tersebut tidak akan keluar dari orang yang tidak memiliki kematangan mental dan kecerdasan berfikir.

Begitu juga dengan gadis SMU ini. Kesungguhannya dalam memeluk Islam, ia buktikan dengan kesungguhan belajar memahami Islam yaitu proses terakhir pra syahadat yang harus ia lalui sebelum ia resmi bersyahadat.

Kesungguhan "gadis kecil" itu menjalani proses pra syahadat, membuat kami yakin bahwa ia bersyahadat bukan karena perkara emosional semata, tetapi lebih dari itu. Kematangan jiwa dan kecerdasannya berpikir, serta kepahamannya terhadap Islam adalah faktor yang memegang peranan penting yang membawa ia pada jalan kebenaran Islam. Formula inilah yang membentuk "kemantapan mental" dan berhasil menghancurkan jerat-jerat dogma dan fanatisme ajaran yang selama ini dianutnya.

Ketangguhannya kembali diuji saat keislamannya diketahui oleh orangtuanya.

Bersambung. (MCAS-riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi:Google


latestnews

View Full Version