View Full Version
Sabtu, 03 Dec 2016

Saat si Koko dan Penjual Tauwa Ngobrol tentang 212

Pagi hari, hanya sehari setelah aksi 212 yang sukses dan berakhir damai. Setting kejadian adalah di satu kota yang ratusan kilometer dari Jakarta dan lintas provinsi. Momennya adalah saat antri membeli wedang tauwa. Saya entah antrian nomor berapa dan menunggu dengan sabar si bapak penjual melayani satu demi satu bungkusan untuk dibawa pulang.

“Kemarin itu, ngapain orang sebanyak itu pergi ke Jakarta,” seorang bapak beretnis Tionghoa tiba-tiba berkomentar. Wah ini, melenceng dari jalur pertauwa-an. Begitu pikir saya. Tapi biar saja, mau kemana arah komentar dia yang ujug-ujug atau tiba-tiba tersebut.

“Iyo, rame banget,” si bapak penjual tauwa merespon.

“Soalnya, mereka itu dapat duit 250 ribu. Kalau gak dapat duit, mana mau susah-susah datang ke Jakarta wong gak ada apa-apa.”

“Iya. Dengar-dengar sih begitu. Wong yang berangkat itu para pengangguran.”

“Iya, kalau gak pengangguran mana mau berangkat. Lumayan kan, 250 ribu?”

“Padahal ya, gak ada hasil apa-apa. Nuntut Ahok? Paling juga tetep aja begitu, gak diapa-apakan.”

“Iya, ya wes ya Pak.”

Werrrr....si Koko pun berlalu setelah menerima 8 bungkus tauwa. Pantas bisa ngobrol lama, 8 bungkus. Eh, tapi saya tak hendak membicarakan bungkusan tauwa tadi. Saya lebih tertarik menelaah isi diskusi antara si bapak penjual tauwa dengan si Koko.

Ada beberapa poin yang bisa saya simpulkan dari fragmen nyata di atas.

-          Opini yang dipunyai si Koko mirip benar dengan opini yang dihembuskan haters aksi 212. Tapi terhadap si Koko, saya punya banyak stok permakluman.

-          Pertama, bisa jadi dia non muslim (kalau saya bilang kafir nanti banyak yang protes meskipun faktanya gak jauh beda). Saya sangat memaklumi bila ada orang yang bukan beragama Islam nyinyir hingga level benci dengan aksi 212 yang tujuan utamanya adalah menuntut ditegakkannya keadilan bagi penista agama dalam hal ini Ahok.

...Yang susah saya pahami adalah orang-orang di luar sana yang katanya berpendidikan dan punya akses informasi sangat luas tapi tetap saja bersuara miring dan nyinyir...

-          Eh, bagaimana kalau ternyata si Koko itu Muslim? Oh, mungkin saja dia belum tahu bahwa menggunjing saudara sendiri apalagi taraf memfitnah itu berdosa. Didoakan saja.

-          Alasan kedua, mungkin si Koko tidak melihat TV atau membaca berita dengan benar. Eh tunggu dulu. Bilapun dia telah nonton TV dengan benar dan baca berita di surat kabar baik online ataupun cetak, apakah media-media itu sudah memberitakan 212 dengan benar pula?

-          Selalu ada bias pada media, itu tak bisa dipungkiri. Salah satu media yang selalu memojokkan umat Islam saja menyebut jumlah massa yang hadir cuma 50.000. Jangan-jangan, media ini yang diikuti oleh si Koko sehingga mudah saja mengalikan 250.000 x 50.000. Coba kalau dia tahu ada 7 juta lebih manusia yang yang katanya pengangguran dan rela dibayar 250 ribu. Kira-kira berapa trilyun duit yang harus dikeluarkan ya?

-          Alasan berikutnya, bisa jadi lingkungan pertemanan si Koko tidak ada satu pun yang pro aksi 212 atau paling tidak bersikap netral dalam menilai sehingga tidak ada fitnah sebagaimana yang dilontarkan oleh para Ahok dan para fansnya.

-          Eh, si bapak tauwa kenapa juga mengiyakan saja celoteh si Koko? Hmmm mungkin memang dia juga tahunya sebatas itu karena minimnya informasi yang sampai padanya. Tak mengapa, saya sangat bisa memaklumi diskusi ala orang-orang yang terbatas akses informasinya ini. Yang susah saya pahami adalah orang-orang di luar sana yang katanya berpendidikan dan punya akses informasi sangat luas tapi tetap saja bersuara miring dan nyinyir.

Terlepas dari telaah kecil-kecilan di atas, ada doa dilarungkan dari jauh agar si penista agama dihukum selayaknya. Pun selalu ada banyak doa dan cinta bagi saudara-saudara seiman yang telah bersatu dalam harmoni 212.

Eh tapi ada yang tertinggal dari obrolan pagi tersebut. Analisis si bapak penjual tauwa yang menutup diskusi singkat membuat saya kepikiran sampai seharian.

“Nuntut Ahok? Paling aja tetap begitu dan tidak diapa-apakan.”

Entah kenapa, saya merasa si bapak penjual tauwa terlihat begitu cerdas pagi itu. Apakah anda pun merasa demikian? (riafariana/vos-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version