View Full Version
Ahad, 11 Dec 2016

Maulid Nabi, Saatnya Introspeksi Sejauh Mana Rasa Cinta di Hati

Maulid Nabi, katanya sih momen mengingat Rasulullah SAW untuk kemudian meneladani seluruh perjalanan hidup beliau yang mulia dan tanpa cela. Okelah, bila ada yang butuh momen untuk berbuat demikian. Sah-sah saja, tak mengapa. Toh itu juga bukan perbuatan tercela. Tak usah lagi berdebat bid’ah atau tidaknya. Biarkan itu menjadi ranah mereka yang paham dalil dan faqih fid-dien. Yang mau maulidan silakan, yang tidak mau juga boleh saja. Yang penting kita tidak mudah bertengkar dan saling menuding saudara sendiri.

Di momen ini, saya hanya ingin melakukan introspeksi diri saja. Meskipun untuk itu juga tak butuh momen maulid juga sih. Introspeksi bisa dilakukan setiap hari, setiap malam dan pagi akan amal apa saja yang telah disiapkan untuk dibawa mati.

Mengingat Rasulullah SAW, selalu saja ada yang basah di hati dan juga mata. Selalu haru penuh rindu setiap membincang sosok mulia yang satu ini. Maka sebagaimana saat kita kasmaran yang selalu ingin menyebut namanya, begitu pula yang kita lakukan saat nama Rasulullah SAW disebut. Sholawat dan salam otomatis terucap sebagai tanda betapa cintanya kita padanya. Cinta yang sungguh besar setelah pada Allah yaitu pada RasulNya yang mulia.

Sejauh ini, rasanya hanya ini yang bisa kita lakukan. Tepatnya, yang bisa saya lakukan. Maksud hati meneladani seluruh perilakunya, apa daya godaan nafsu lebih banyak meraja. Istighfar tiap hari pun terlantun sambung-menyambung menyadari kelemahan diri.

Maksud hati ingin menjadi tetangganya nanti di surga. Apa daya masih sering kikir dan sayang harta saat seharusnya merasa mudah dan ringan dalam bershadaqah. Jangankan menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin, seringkali saya lebih mendahulukan keperluan diri yang itu seolah tak ada habisnya. Padahal menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin bisa menjadi wasilah untuk mendekatkan posisi kita dengan Rasulullah bagaikan jari telunjuk dan jari tengah. Tapi lihatlah pada diri, sejauh apa telah berusaha untuk menempati posisi salah satu jari tersebut?

...Maksud hati meneladani seluruh perilakunya, apa daya godaan nafsu lebih banyak meraja. Istighfar tiap hari pun terlantun sambung-menyambung menyadari kelemahan diri...

Itu yang ada hubungannya dengan diri. Lalu bagaimana yang ada hubungannya dengan orang lain? Amanah yang ada, sudahkah ditunaikan dengan segera? Ataukah lebih sering menunda-nunda dengan alasan karena masih banyak urusan lainnya? Duh....padahal jelas-jelas Rasulullah menyebut mereka yang tak amanah sebagai golongan orang munafik. Naudzubillah.

Urusan menjaga hati semurni beliau yang tercinta, susah sekali. Seringkali yang namanya iri hati, dengki, hasad, dan suudzon, diam-diam merayap kemudian menyergap dalam gelap. Di luar seringkali tampil sok bijak padahal kondisi hati masih saja butuh digarap. Sungguh kalau tidak mengharapkan syafaatnya di hari akhir nanti, berbekal amal yang cuma seuprit ini saja manalah cukup.

Jangankan urusan menjaga hati, menjaga yang jelas terlihat yaitu lisan saja susahnya bukan kepalang. Adakah orang yang tersakiti karena lisan ini tak terjaga? Atau mungkin lisan sih terjaga tapi ketukan jari-jemari kita yang menyusun banyak kata, apakah bersih dari menyakiti sesama? Bisa saja bukan menghina secara langsung, tapi menyindir dan nyinyir yang menjadi trend sosmed masa kini, jangan-jangan saya menjadi salah satu aktivisnya? Istighfar lagi dan lagi.

Saya pun kembali beristighfar, saat meniatkan hati menjauhi riba tapi sistem yang ada memaksa untuk memilihnya. Betapa sebagai diri yang lemah, seharusnya bersandar pada Allah semata tapi asuransi begitu menggoda jiwa. Dan istighfar itu akan semakin terus saya butuhkan karena ketika Islam dinista, si penista masih bisa berkeliaran dan tertawa-tawa seolah tak ada hukum yang sanggup menyentuhnya.

Seolah kering airmata menyaksikan betapa mudah sesama saudara seakidah diadu domba. Dan akan semakin kering airmata saat seharusnya menjadikan Allah dan Rasulnya sebagai pemutus perkara, kami terpaksa dan dipaksa menerima hukum buatan manusia apa adanya. Dan masih banyak lagi deretan istighfar dan deraian airmata yang itu bercampur antara rindu padamu dan rasa tak berdaya.

Tak berdaya membuktikan cinta kami. Tak berdaya membuktikan syahadat kami. Tak berdaya membuktikan al wala wal bara kami.

Ah...ternyata susah sekali. Karena cinta itu bukan asal ngaku saja, tapi lebih ke bukti nyata akan adanya rasa cinta itu di hati.

Ya Rasulullah, kami tertatih mengeja amal dalam upaya menteladanimu. Berulang kali diri ini terjatuh, tersungkur bahkan terluka tapi tetap tak pernah lelah menyusuri jalan yang pernah engkau tempuh. Mungkin cinta ini tak semurni cintamu pada umatmu, tapi paling tidak kami tak ingin membawa cinta palsu saat nanti akhirnya bisa berjumpa denganmu. Paling tidak, akuilah diri yang dhoif ini sehingga layak menjadi umatmu. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version