Oleh: Yana Nurliana
Ramai berita pekan ini tentang ditolaknya kehadiran Ustadz Khalid Basalamah di Surabaya. Ketika dipindahkan ke tempat lain di sekitaran Sidoarjo, tetap ditolak oleh sekelompok ormas lokal.
Sedih sekali.
Tiba-tiba saya teringat obrolan saya dengan Supir GoCar saat mudik ke Balikpapan beberapa bulan lalu. Supir taksi Online yg mengantar saya dari kawasan Balikpapan Barat ke Bandara.
"Boleh tanya-tanya ndak, mbak?" tanyanya memecah mellow saya yg akan berpisah kembali dengan tanah kelahiran.
"Boleh Pak."
"Ibu aliran Islamnya apa?"
Saya senyum. Pertanyaan to the poin khas orang Balikpapan yang tak suka basa-basi, kayak saya.
"Jangan marah ya, Bu.Jadi ceritanya, saya punya anak remaja, kelas 2 MTS, cowok. Dia selalu sholat di masjid. Bahkan Subuh itu mesti. Pernah suatu hari dia kesiangan, dan ndak ke mesjid. Seharian dia merajuk. Saya juga jarang melihat dia nongkrong sama teman-temannya gitu, malam minggu di rumah aja. Paling nonton TV atau denger radio. Saya khawatir," Pak Supir terus melanjutkan ceritanya.
"Masalahnya dimana pak?”
"Saya takut dia ikut aliran aliran sesat kayak berita-berita di TV itu na.."
Ah! Sudah dapat poinnya. Poin, bahwa media di negeri ini sudah berhasil merusak imej bahwa 'anak masjid' identik dengan target aliran Islam radikal.
"Pengennya anak saya kayak saya dulu aja. Ndak papa lah bandel bandel dikit biar tau arti hidup. Merokok, mabuk, pacaran, normallah itu, namanya juga anak muda!"
...Kejadian di Surabaya membuat rasa marah saya menjadi geli. Bagaimana bisa kajian sunnah malah lebih menakutkan saat acara-acara lain yang berbau maksiat seliweran di berbagai baleho di Surabaya...
Kaget? Saya ga terlalu kaget mendengar curhatan si Bapak. Jadi ingat film yg saya tonton s̶e̶m̶b̶u̶n̶y̶i̶-̶s̶e̶m̶b̶u̶n̶y̶i̶ bareng temen SMA dulu. American Pie yg dibuat berseri. Meski dikemas pop dan berbalut gaya hidup bebas khas Amerika, film itu menggambarkan jelas kekhawatiran orang tua yang cemas karena anak-anak mereka masih perjaka, padahal sudah menjelang pesta Prom Night (Pesta Kelulusann SMA). Bahkan di salah satu scene digambarkan ada salah satu orang tua yg menyediakan video-video bokep untuk menstimulasi anaknya.
Begitu aibnya hidup bermoral dan 'normal'.
Tepat! Mirip ya? Kita sudah tiba di zaman ketika dunia mulai kebalik-balik.
Salah satu sepupu saya yang duduk di SMA Negeri terbaik di Jombang, pun pernah 'mendapat' keluhan yg sama. Ibunya diwawancarai oleh wali kelas perihal celana cingkrang sepupu saya yg tidak biasa. Juga perihal penolakan dan sikap kritisnya pada aktivitas-aktivitas sekolah yang dianggapnya tidak sesuai sunnah.
Semua disampaikan sang wali kelas tentang betapa 'berbeda'nya sepupu ABG saya dengan remaja lain yang gaul dan kekinian ala remaja alay.
*
Kejadian di Surabaya membuat rasa marah saya menjadi geli. Bagaimana bisa kajian sunnah malah lebih menakutkan saat acara-acara lain yang berbau maksiat seliweran di berbagai baleho di Surabaya. Seksi dancer di berbagai club malam, diskusi-diskusi pluralisme yang begitu dekat dengan Komunisme, acara outbond berbalut kampanye Anti Aids dan Narkoba yg begitu nyata mendukung LGBT, dan lain lain.
Nyatanya, ormas tersebut kalem-kalem aja. Kemaksiatan terasa lebih diterima daripada kajian dakwah yang sejatinya lebih banyak membahas masalah akhlak.
*
Betapa dunia semakin tua, berIslam menjadi semakin menantang. Gigit kuat dengan gigi geraham. Pegang erat, meski panasnya seperti menggenggam bara api. Biar saja menjadi asing. Karena selalu ada ALLAH. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google