Oleh: Amalidatul Ilmi
(Ketua Lembaga Dakwah Kampus Al-Mustanir UIN Sunan Ampel Surabaya)
Perjuangan pemuda muslim dapat ditunjukkan melalui berbagai macam cara. Sebagai muslim tentunya cara yang digunakan tidaklah sembarangan, namun harus tetap dalam koridor syari’at Islam.
Kembali kita menengok pada sejarah kebangkitan Islam diraih oleh tangan-tangan para pemuda yang aktif berkontribusi untuk mendedikasikan hidupnya demi Islam. Ketekukan mereka dalam menuntut ilmu selalu mendorongnya untuk menyebar luaskan ilmunya kepada umat.
Salah satu cara yang dilakukan oleh para pemuda muslim dalam membangkitkan umat adalah melalui literatur. Islam mewajibkan sorang muslim harus produktif. Seperti hadits Rasulullah SAW “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat diantara manusia yang lainnya.”
Telah ada suatu masa ketika buku dinilai dengan emas. Harga buku tersebut dibayarkan oleh Negara dengan seberat buku yang ditulis. Kemudian dipasarkan dengan cuma-cuma atau harga minimal sekadar mengganti ongkos cetak buku. Sedangkan penulisnya tidak lagi menerima bayaran dari penerbit atau royalti.
Hal ini terjadi pada masa Khalifah Al-Makmun yang memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke bahasa Arab. Semua orang berhak bahkan wajib menyebarkan buku-buku tersebut ketika isinya adalah kebaikan dan untuk kemuliaan kaum muslimin. Setiap orang berhak menggandakan dengan cara apapun.
Pemuda Islam Berkarya
Tidak ada penulis maupun penerbit yang merasa dirugikan karena konsumen menggandakan tanpa izin. Justru malah sebaliknya, mereka akan sangat mendorong setiap orang untuk sama-sama saling membantu menyebarkan, memproduksi buku dan isinya tersebut. Karena ini merupakan salah satu bentuk dakwah menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Tidak akan ada pula orang yang berteriak-teriak menuntut ganti rugi karena bukunya digandakan tanpa izin. Alasannya adalah hak cipta, padahal intinya ia berteriak karena dirugikan secara materi. Hal ini sangat biasa dan sering kita jumpai saat ini pada sistem Kapitalisme. Karena saat ini memang segala sesuatu selalu dinilai secara materi.
Meskipun hak cipta selalu didengungkan dalam sistem ini, nasib pengarang tetap juga sama saja tidak ada perhatian dan perlindungan yang lebih kepada mereka. Hanya segelintir pengarang yang karyanya best seller saja yang hidup layak. Itupun juga terlepas dari tanggungan pajak ini dan itu (m.voa-islam.com).
Berbeda dengan sistem Islam yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Kaya tidaknya seorang ilmuan tidak bergantung pada laku tidaknya karya tersebut di pasaran. Namun, pemimpin dalam hal ini Khalifah telah memberi imbalan lebih dari cukup kepada penulis, pengarang, penerjemah dan ilmuan demi agar mereka dapat hidup layak.
Apabila kehidupan terjamin maka konsentrasi dan dedikasi bisa lebih fokus untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demi kemajuan Islam dan kaum muslim. Maka tak heran apabila saat itu kekhilafahan Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi mengalahkan peradaban yang lainnya pada zaman itu.
Dibandingkan dengan zaman saat ini, penulis, penerjemah dan ilmuwan bernasib terbalik. Karena sistem yang ada jauh lebih menghargai kemolekan tubuh daripada ilmu pengetahuan. Profesi menjadi selebritis penghibur layar kaca jauh lebih dihargai mahal daripada mereka yang memeras keringat demi kemajuan bangsa. Pemuda saat ini pun juga sedikit yang menaruh perhatiannya kepada literatur.
Sayangnya masa keemasan yang ada kala itu kemudian meredup dan digantikan oleh masa keemasan bangsa barat, yaitu bangsa Eropa, yang membuat literatur dan fasilitas dikuasai mereka. Sehingga karya dan penemuan muslim menjadi tidak banyak diketahui.
Hal ini terjadi karena kaum muslim dan para pemuda mulai enggan melahirkan karya dan hanya memilih sebagai penikmat hasil para ilmuwan yang ada (4Muda.com).
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqoddimah memaparkan suatu teori yang dikemudian hari dikenal sebagai teori siklus.
Teori ini berbicara tentang gambaran kualitas generasi dalam setiap peradaban yang mengalami putaran tahapan mulai dari generasi perintis, generasi pembangun, generasi penjaga tradisi, generasi penikmat dan terakhir generasi perusak.
Generasi Perintis adalah generasi yang memiliki semangat juang tinggi, pantang menyerah, cerdas, dan berkomitmen besar dalam membangun peradabannya.
Generasi Pembangun adalah generasi yang masih mewarisi semangat dan ruh perjuangan pendahulu mereka. Biasanya pada masa merekalah sebuah peradaban akan mencapai puncak kemajuannya.
Generasi penjaga tradisi adalah generasi yang semangat untuk mengembangkan sebuah peradaban sudah tidak seperti para pendahulunya, walaupun masih terbilang eksis. Di mulai dari sinilah sebuah peradaban menjadi stagnan, tidak lagi berkembang, namun masih memiliki eksistensi kewibawaan.
Generasi penikmat adalah generasi yang hanya menikmati apa yang sudah di beli oleh para leluhurnya dengan keringat dan darah. Maka, kezaliman dan ketidakadilan mulai tampak dimana-mana.
Terakhir generasi penghancur, yakni generasi yang melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi kelima ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu. Menurut Ibnu Khaldun proses putaran ini berlangsung sekitar satu abad (Muqoddimah Terj.: 207-211).
Pada akhirnya dunia hanya mengenal para penemu barat beserta kesuksesannya sehingga para kaum muslim sendiri tidak begitu mengetahui bahwa ilmuwan muslim pernah menjadi yang terdepan di muka bumi ini.
Wahai Pemuda Muslim ketahuilah bahwa musuh-musuh Islam semakin gencar menggerus potensi pemuda muslim untuk semakin menjahui nilai-nilai Islam. Mereka tidak henti-hentinya membuat makar dan mencoba menghancurkan Islam dengan membajak potensi pemuda muslim.
Kita pemuda muslim sebagai pelopor perubahan hakiki untuk peradaban Islam. Islam membutuhkan tangan-tangan kita untuk menolong dan memperjuangkannya agar aturan islam dapat diterapkan kembali ditengah-tengah umat sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Produktivitas pemuda muslim hendaknya dipersembahkan untuk Islam dan perjuangan dakwahnya. Bukan untuk nilai-nilai lain yang justru bertentangan dengan Islam. Apalagi sekedar membuang waktu, membunuh masa muda dengan hura-hura.
Tak perlu ragu mengembangkan potensi muliamu melalui literatur. Karena darimu akan lahir karya-karya pemuda muslim yang peduli dengan peradaban dan umat ini. Berkaryalah wahai pemuda muslim, hiasi perjuangan ini dengan kreativitas, cita rasa dan vitalitasmu. Kalianlah wahai Pemuda Muslim Pelopor Perubahan Hakiki. [syahid/voa-islam.com]