Oleh: Ayunin Maslacha
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surabaya)
Diberitakan dalam Kompas.com (30/03/2017) terdapat 6 mahasiswa komplotan perampok toko jejaring ditangkap oleh Satreskrim Polresta Yogyakarta saat mereka melakukan aksinya di Kabupaten Sleman, Bantul, dan kota Yogyakarta.
Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol Tommy Wibisono dalam jumpa pers, Rabu (29/03/2017) berucap, “Mereka membawa senjata tajam, dan pistol mainan. Menodong karyawan dan mengancam, sekaligus meminta uang dikasir dan mengambil barang-barang seperti rokok”. Dari pengakuan para pelaku, uang hasil merampok tersebut digunakan untuk senang-senang, seperti membeli minuman keras.
Kasus pemuda atau pelajar dengan tindakan kriminalitas tidak hanya terjadi kali ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, selang waktu terjadinya kejahatan (crime clock) sebesar 00.01’36” (1 menit 36 detik) pada tahun 2014. Hingga tahun 2017 ini, kasus kriminalitas dikalangan terpelajar masih terjadi dan selalu hangat menjadi buah bibir.
Keadaan Yang Tak Berubah
Ironis, negri hukum ini masih melahirkan pemuda dengan perilaku yang tak beradab. Padahal sudah sangat klise terdengar bahwa pemuda adalah harapan bangsa, pemimpin masa depan, juga agen perubahan. Namun sayangnya, tidak semua jiwa pemuda memiliki kesadaran itu. Lantas, dimana kesadaran para pemuda itu teralihkan?
Gaya hidup Hedonisme, adalah jawaban yang sesuai dengan kondisi kebanyakan pemuda saat ini. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “hedonismos” dari akar kata “hedone” berarti kesenangan. Menurut Burhanuddin (1997:81) Hedonisme adalah sesuatu itu dianggap baik, sesuai dengan kesenangan yang didatangkannya. Disini jelas bahwa sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan, dan tidak menyenangkan, dengan sendirinya dinilai tidak baik. Orang-orang yang mengatakan ini dengan sendirinya menganggap atau menjadikan kesenangan itu sebagai tujuan hidupnya dengan cara apapun. Hal ini menjadi wajar dilakukan, khususnya di kalangan pemuda, karena tolak ukur kebahagiaan yang sesuai arus zaman kini adalah ketika hak-hak kebebasan tiap individunya terpenuhi. Kebebasan dalam segala hal, seperti berekspresi, berpendapat, berkepemilikan tanpa ada batasan yang stagnan.
Tentu hal ini menjadi masalah yang patut dianggap serius. Banyak pihak melibatkan diri untuk turut merumuskan solusinya. Mulai dari warga sipil hingga aparat negara. Pemerintah Indonesia sendiri sudah merumuskannya dalam pasal 187 KUHP dan pasal 170 KUHP tentang hal-hal yang termasuk jeratan tindak kriminal. Berapa sudah tulisan-tulisan yang mengudara dari warga sipil yang tak sedikit perihatin atas masalah dalam negrinya, terlebih perhatian mereka terhadap pemuda. Semua menginginkan yang terbaik bagi bangsa ini. Lantas mengapa kriminalitas itu masih saja terjadi?
Bukan Lagi Solusi Yang Tambal Sulam
Adanya peraturan sebagai solusi untuk menghukum tindakan kriminal dirasa tidak cukup jika tidak ada peraturan untuk mencegah penyebabnya. Kriminalitas terjadi dikalangan pelajar atau pemuda bukan lahir dengan sendirinya. Ada beberapa faktor, seperti: kecanduhan minuman keras, narkotika, pergaulan bebas, broken home, kesulitan ekonomi, dan sebagainya. Dengan kata lain, mereka bertindak kriminal karena kondisi sekitarnyalah yang membentuk mereka bersikap demikian.
Pemerintah Indonesia sendiri, tidak benar-benar melarang peredaran minuman beralkohol, melainkan hanya mengatur peredarannya. Tidak ada jaminan efektifitas saat aktivitas real jual-beli minuman beralkohol dilaksanakan. Karena setiap aktivitas komersil hanya menghendaki keuntungan. Tanpa mempertimbangkan kerugian ditengah masyarakat. Termasuk dalam bisnis narkoba yang mampu menjadi awal atau tempat persemayaman kasus pergaulan bebas. Sehingga mudah kita jumpai pertemanan dikalangan pemuda atau masyarakat pada umumnya tanpa memperhatikan lagi batasan antara laki-laki dan perempuan yang tak memiliki ikatan apapun. Wajarlah terjadi perzinahan, aborsi, kekerasan/pelecehan seksual, eksploitasi perempuan, perselingkuhan ditambah kesulitan ekonomi hingga terjadilah broken home. Masih adanya kasus-kasus ini menunjukkan kelemahan hukum.
Semua itu karena lunturnya pemahaman tentang hakekat pemuda sebagai manusia yang diciptakan Allah. Manusia tidak sekedar dicipta, namun juga diatur oleh Sang Pencipta. Aturan Sang Pecipta itulah Agama. Sementara untuk mengatur kondisi atau keadaan masyarakat sangat bergantung pada kebijakan penguasa yang ada. Lantas, masihkah kita turut aktif menyokong keterpisahan antara kebijakan penguasa (politik) dan agama?
Maka pemuda, hadirkanlah kembali kesadaran akan hakekat kita sebagai makhluk yang diciptakan. Menjadi fitrah bagi manusia untuk tidak bisa benar-benar bebas, karena setiap yang diciptakan pastilah membutuhkan aturan dan akan selalu berputar dalam arena peraturan-Nya. Yang mampu kembalikan aturan itu adalah pundak-pundak kokoh para pemuda, yang ditunggu-tunggu, yang diharap-harapkan rakyatnya membawa cahaya yang berawal dari titik lalu meluas seperti semesta saat terpapar sang surya. Sudah saatnya pemuda bangkit dengan Islam kaffah. Jika tidak pada kalian wahai pemuda, dimana lagi rakyat menaruh harapan? [syahid/voa-islam.com]
Pemuda dan Masa Depan Negara