View Full Version
Ahad, 14 May 2017

Memahami Rahmatam Lil 'Alamin

Oleh: Zaqy Dafa

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ (105) إِنَّ فِي هَذَا لَبَلَاغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ (106) وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)

“Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, kami Telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat. Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), Maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al Anbiyaa’:105-107)

 

Makna Rahmatan Lil 'Alamin

Syaikh Muhammad Najih menjelaskan tentang kandungan makna dalam ayat tersebut dalam pengajian tafsir beliau. Beliau pertama-tama menjelaskan bahwa pada lafadl أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ maksud ayat ini adalah Allah Ta’ala mewariskan daerah-daerah orang kafir kepada hamba-hambaNya yang shalih, yitu kaum muslimin yang kuat imannya dan berjihad untuk menaklukkan daerah tersebut. Janji Allah tersebut beserta seluruh isi Al Quran menjadi sumber inspirasi dan harapan bagi kaum muslimin yang mengamalkan ajarannya. (إِنَّ فِي هَذَا لَبَلَاغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ)

Lalu Syaikh Muhammad Najih menjelaskan tentang makna kedatangan Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat semesta alam). Beliau memaparkan bahwa yang dimaksud dengan rahmat dalam ayat tersebut adalah دفع العذاب  (menolak siksa), karena dengan kedatangan Rasulullah beserta ajaran Islam manusia dihindarkan dari siksa dunia yang ditimpakan kepada umat-umat sebelumnya seperti khasaf (ditelan bumi), isti’shal (genosida/pembunuhan massal), dan lainnya. Rahmat juga berarti jihad meninjau arti ayat sebelumnya bahwa Allah mewariskan tanah orang-orang kafir kepada kaum muslimin.

Setelah orang-orang memeluk Islam, maka Islam berkembang begitu pesat dan menjadi satu kekuatan peradaban yang mampu menaklukkan imperium-imperium besar dunia dalam waktu yang begitu cepat.  Tidak lama setelah Nabi wafat umat Islam mengusir tentara Romawi dan menduduki Syria. Di zaman Umar Ibn Khaththab kekaisaran Persia ditaklukkan dan Palestina dikuasai.

Pada awal abad ke delapan Spanyol dibawah kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth ditundukkan oleh Tariq bin Ziyad. Di Mesir Muslim dibawah komando Amr bin al-As memukul mundur pasukan Byzantium dan mengusai orang-orang Kristen Coptic. Pada abad ke 15 Konstantinople, salah satu bagian dari kekaisaran Romawi ditaklukkan panglima muda al-Fatih. Di dunia Melayu umat Islam mengusir kepercayaan animism, dinamisme dan agama-agama kultural lainnya.

Istilah-istilah mengusir, menduduki, menaklukkan, menguasai, mendesak dan sebagainya adalah bahasa politik dan bersifat negatif.  Tapi apa yang sebenarnya terjadi jauh dari kesan itu. Sebab ketika Islam masuk Syria orang-orang Kristen yang merasa selamat dari Romawi dan Yunani. Michael the Elder, Patriach dari Jacobus mengakui Tuhan telah membangkitkan putera-putera Ismail dari Selatan (maksudnya Muslim) untuk menyelamatkan kita dari Romawi.

Pada waktu Umar memasuki Yerussalem ia menandatangai perjanjian. Diantara isinya:gereja tidak akan dirubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu dan tidak seorangpun diantara mereka akan dianiaya. Orang tidak pernah konflik dengan umat Kristen. Justru konflik antar sekte di Gereja Holy Sepulchre, atau the Church of the Resurrection didamaikan orang Islam. Anehnya, Bernard Lewis, seorang politikus terkemuka yang menentukan kebijakan ppolitik luar negeri AS menganggap toleransi dalam Islam tidak ada asal usulnya. Ia mengatakan bahwa Muslim –dalam jumlah yang signifikan, baik yang fundamentalis maupun yang tidak adalah jahat dan berbahaya, bukan karena Barat membutuhkan musuh, tetapi karena mereka memang seperti itu. (The Crisis of Islam, hal. 24)

Padahal, realita yang ada justru peradaban kafirlah yang tidak toleran dan menjadi momok berbahaya bagi umat manusia. Setelah imperium Romawi diperintah oleh kuasa gereja, pada abad X mereka mebuat lembaga inquisisi yang merupakan instrumen teror dalam tubuh gereja Katholik yang paling jahat sampai abad XVII. Robert Held, dalam bukunya, Inquisition, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh gereja ketika itu.

Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagaialat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di daratan Katholik maupun Protestan Eropa.

Salah satu kisah paling mengerikan adalah pembantaian  kaum Protestan –terutama Calivinistis- di paris, oleh kaum Katholik tahun 1572 yang dikenal dengan “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan  10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk.

Pada masa Perang Salib (Crusade), kaum Kristen juga membantai umat Islam di Jerusalem habis-habisan tanpa ampun. Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum muslimin dan penduduk Jerusalem lainnya dengan menyatakan, “Belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yanh tahu berapa jumlah mereka yang dibantai.”

Diperkirakan penduduk Jerusalem yang dibantai pasukan Salib sekitar 30.000 orang. Hampir semua penduduknya dibantai. Laki-laki, wanita, anak-anak, tanpa pandang bulu dibantai di jalan-jalan, lorong-lorong, rumah-rumah, dan di mana saja mereka temui. Para tawanan pasukan Salib kemudian dipaksa membersihkan jalanan, rumah, dan halaman Haram al Syarif, dari puluhan ribu mayat manusia. Beberapa bulan setelah peristiwa pembantaian tersebut, bau mayat manusia yang membusuk masih menyengat udara Kota Jerusalem.

Anehnya lagi, istilah rahmatan lil ‘alamin digunakan sebagai slogan untuk memasarkan dan melegitimasi liberalisasi Islam oleh sebagian kalangan muslim yang dangkal pemahaman agamanya dan pro pemikiran orientalis Barat. Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, menulis makalah yang berjudul Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta.

Ia menulis, ““Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.”

Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin juga sering disalahpahami sebagai Islam yang toleran terhadap segala hal termasuk dalam masalah kemusyrikan dan kekufuran. Ulil Abshar Abdalla berkata, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang  paling benar.” Nurcholish Madjid menganggap pluralisme sebagai sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah.

Bahkan, Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogya, telah mampu melihat ‘surga’ yang memiliki banyak ‘kamar’ dan ‘pintu’ bagi tiap-tiap pemeluk agama apa pun, asal dia mampu membebaskan manusia dari kelaparan dan inhumanitas serta mau berdialog dengan pemeluk agama lain. Luthfi Assyaukani menganggap percaya kitab suci, Nabi, Malaikat, dan konsep agama hanya lainnya menjadi tidak penting.

Maka, Islam akan selalu menjadi rahmat bagi semesta tanpa harus mengorbankan keimanan dan ketakwaan. Islam dalam sejarah dunia akan selalu membawa nilai-nilai universal yang toleran dan membawa kedamaian bagi pemeluk agama lain tanpa harus mencampuradukkan kepercayaan dan akidah mereka. Wallahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version