View Full Version
Rabu, 24 May 2017

Peran Mahasiswa Dalam Negri Darurat Pedofilia

Oleh: Ayunin Maslacha 
 
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surabaya)
 
 
Suatu hal yang tak terduga telah terjadi di Palmerah, Jakarta Barat. Detik.com (28/4/2017) memberitakan terjadi kasus pencabulan anak dibawah umur berinisial AGA (4) oleh pemuda bernama Friyono (22) dirental Playstation didaerah itu.
 
Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia tahun 2015, terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30% kekerasan seksual dan sisanya kekerasan lainnya. Dibulan Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Sebanyak 298 kasus itu menduduki peringkat paling tinggi anak berhadapan dengan hukum. Diantaranya ada 24 kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik. Pada sembilan kelompok kluster, anak pelaku dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai sebesar 36 kasus.
 
 
Apa Yang Akan Terjadi?
 
Dampak negatif dari kekerasan seksual terhadap anak bisa dalam jangka pendek maunpun jangka panjang. Dalam jangka pendek, bisa berdampak pada emosional dan fisik korbannya. Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi dimasa dewasa, bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik pada anak (Levitan et al, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie et al, 2000).
 
Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman disekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, dan yang lainnya.
 
Dalam jangka panjang menurut Weber dan Smith (2010) mengungkap bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual dimasa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual dikemudian hari. Inilah yang dimaksud siklus pedofilia, abused-abuser cycle, yakni korban pelecehan atau kejahatan seksual (abused) pada masa kecil, tumbuh dewasa menjadi predator dan pelaku pelecehan atau kejahatan seksual (abuser) terhadap anak. Jika hal ini tetap terus berlanjut, tentu menjadi ancaman yang mengerikan bagi generasi masa depan bangsa ini. 
 
 
Apa Penyebabnya?
 
Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial, terutama kemiskinan (pikiran-rakyat.com, 22/6/2015).
 
Dari berbagai pihak menyebut beberapa faktor penyebab pelecehan atau kejahatan seksual terhadap anak. Di antaranya: 1. rendahnya penanaman ajaran agama serta longgarnya pengawasan di level keluarga dan masyarakat; 2. kebebasan perilaku dan abainya masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual; 3. kegagapan budaya; tayangan sadisme, kekerasan, pornografi dan berbagai jenis tayangan meruskan lainnya ditonton, namun minim proses penyaringan pemahaman; 4. Kurangnya perhatian orangtua dan keluarga terhadap anaknya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang bersifat mencegah kejahatan pelecehan seksual.
 
Adanya permasalahan yang sama dan terus berulang menjadi bukti ketidak efektifan hukum yang berlaku dalam memberikan efek jera. Banyak faktor yang saling berkaitan menjadi penyebab kejahatan ini. Namun faktor-faktor diatas hanyalah cabang dari akar permasalahan yang sebenarnya. Yakni, pemberdayaan masyarakat yang bercorak kapitalistik. Dimana apa yang ditanamkan dalam mindset masyarakat adalah upaya-upaya yang sebatas materi atau pembangunan fisik. Sementara disegala sisi kehidupan terterapkan sistem sekuler-liberal yang melemahkan kekuatan moral dan spiritual.
 
 
Saatnya Mahasiswa Berkontribusi
 
Mahasiswa dengan peranannya sebagai agent of social control, tentulah berpendapat permasalahan semacam ini patut dijadikan sorotan. Memberantas kejahatan pedofilia tidak cukup dengan solusi parsial, tapi lebih membutuhkan solusi fundamental. Jika begitu, maka hal ini berhubungan dengan kebijakan yang dibuat dan diterapkan oleh negara. Karena mustahil mahasiswa memiliki kuasa untuk merubah kebijakan sedangkan kuasa itu sepenuhnya ada dalam genggaman para penguasa.
 
Adapun sumbangsih pemikiran yang bisa diberikan untuk memperbaiki kebijakan negara adalah: 1. Negara menerapkan kurikulum yang berbasis aqidah Islam. Sebabnya, pendidikan Islam mampu membentuk kepribadian yang bertaqwa, yang mampu menentukan sikap untuk memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya sesuai hukum-hukum Islam karena tidak bertentangan dengan moralitas manusia.
 
Dalam hal ini, bukan berarti memaksa non-muslim untuk beragama Islam, hanya pembentukan kepribadian saja, 2. Negara mensosialisasikan hukum-hukum Islam tersebut baik secara langsung mendatangi rumah penduduk, dengan media mainstream dan dengan media sosial untuk mengedukasi masyarakat secara umum, 3. Negara optimal menggerakkan cyber police untuk memberantas pelaku penyebar konten pornografi diinternet, 4. Negara menerapkan sanksi yang membuat jera, para pelaku sodomi ataupun homoseksual dijatuhi hukuman mati juga dalam rangka memberhentikan siklus pedofilia dan homoseksual.
 
Hal ini sangat mustahil dilakukan ketika negara ini masih memberlakukan sistem politik yang sekuler-liberal, karenanya ini hanya akan bisa terwujud jika konsep sistem politik berganti, dan menerapkan Islam disegala sisi kebijakan negara.
 
Bergeraklah mahasiswa! Teruslah mengontrol kondisi masyarakat dan sikap wakil rakyat, berikan nasihat terbaik bagi para pemimpin. Negri ini membutuhkan ide-ide yang mampu mengurai tali permasalahan yang membelenggunya. [syahid/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version