View Full Version
Kamis, 29 Jun 2017

Pelajaran Agama dihapus, Bentuk Sekulerisasi Nyata

Oleh: Yati Sulastri, S.TP*

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy kembali mengeluarkan wacana yang mengagetkan anggota Komisi X DPR RI yaitu dihapuskannya pendidikan agama di sekolah. Ia beralasan nilai agama di rapor siswa akan diambil dari pendidikan di Madrasah Diniyah, masjid, Pura, atau gereja. Ini seiring dengan akan diberlakukannya 5 hari jam belajar.

Sebenarnya apa alasan dari pemerintah untuk menghapus pelajaran agama? bukankah justru yang menjadikan siswa itu memiliki ahlak yang baik itu tergantung dari pendidikan yang paling mendasar yaitu agama? atau benar benar telah terjadi sekulerisasi yang begitu akut di negeri yang mayoritas muslim ini?

 

Issu Lama

Kalau ditelusuri, ide penghapusan pelajaran agama di sekolah ini bukanlah ide baru. Hal ini sudah lama digagas oleh Prof.Musdah Mulia seorang politikus PDIP sekaligus Eksekutif Megawati Institute, dalam akun face booknya. Tokoh ini mengambil contoh Singapura yang sudah 22 tahun mengambil kebijakan menghapus pelajaran agama, justru signifikan membentuk penduduk yang tertib, disiplin dan toleran. Berbeda dengan Indonesia, katanya lebih lanjut, pemerintah mewajibkan pelajaran agama di sekolah, malah justru yang terjadi Indonesia dikenal dengan negara terkorup, bahkan tidak luput di kementrian agama.

Setidaknya perlu dicermati, ada hal yang bisa digarisbawahi dari pernyataan Musdah Mulia ini, yaitu relevansi tidak ada pelajaran agama dengan toleransi dan sikap yang baik pada siswa. Justru ketika diajarkan tentang agama, maka akan muncul sikap saling membenarkan agamanya yang akan berujung kepada konflik. Ini yang akan penulis kritisi.

 

Sekulerisasi Pangkal Kerusakan

Apabila kita cermati output siswa saat ini, memang sama sekali tidak menunjukkan terealisasinya tujuan pendidikan nasional. Yang banyak justru adalah siswa yang terlibat kriminal, pergaulan bebas, narkoba, terpapar pornografi dan masih banyak kasus yang menimpa anak didik kita. Hal ini sangat miris sekali mengingat mereka adalah calon pemimpin kelak. Meskipun tidak bisa kita pungkiri, masih ada segelintir siswa yang mampu menunjukkan prestasi nyatanya di bidang yang dia geluti yang cukup membawa harum nama Indonesia.

Namun sudah menjadi rahasia umum, kalo pendidikan saat ini sudah tidak mampu mencetak generasi berkualitas. Apa sebenarnya akar permasalahannya? Tentu saja jawabannya tidak hanya lingkup sekolah saja, karena yang membentuk karaktek anak adalah lingkungan dimana dia tinggal. Mulai dari rumah, sekolah dan negara. Ketiga elemen ini yang akan berperan penting mencetak generasi muda. Saat ini semua elemen penting ini sudah terjangkiti sekulerisasi di segala bidang kehidupan. Mulai dari keluarga yang sudah tidak lagi mementingkan aqidah atau nilai nilai agama, hingga orang tua pun menjejali anak dengan kebebasan, konsumtivisme hingga tumbuh menjadi anak manja, tidak mandiri bahkan hanya materi orientied yang dikejar.

Begitu pula dengan sekolah, yang sudah memisahkan antara sekolah umum dengan agama, atau adanya sekolah di bawah Dinas Pendidikan dengan Sekolah di bawah Departemen Agama, ini sudah ada upaya sekulerisasi. Sehingga jam pelajaran agama di sekolah umum hanya seperti sebuah formalitas belaka. Siswa hanya cukup dikenalkan agama sebagai pengetahuan belaka tanpa ada nilai yang diserap dalam kehidupan. Yang terlahir adalah siswa yang tidak takut akan akhirat, tidak takut mati bahkan tidak takut kepada Allah SWT. Begitu pula dengan sekolah di bawah naungan Depag, materi keislaman memang banyak, namun mereka tidak mampu mempraktekkan nilai nilai islam itu karena lingkungan sekitarnya sudah sekuler bahkan cenderung terbawa arus yang dianggap modernisasi padahal justru menyesatkan. Maka wajar justru yang sering terdengar bukan prestasi, tapi 'bencana' loss generation.

Apalagi bicara negara, sudah jelas Indonesia bukan negara agama, maka wajar kemudian banyak kebijakan yang tidak didasarkan kepada agama. Wajar pula banyak kebijakan yang justru membuat rakyat terkesan dibiarkan dalam kemaksiatannya. Misalnya pornografi yang semakin merajalela, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang kurang tegas terhadap pelaku pornografi atau media media yang berbau porno tetap beredar. Akibatnya banyak generasi muda menjadi penikmat pornografi ini. Naudzubillah.

Racun sekulerisasi, yang memisahkan agama dari kehidupan ini, justru yang menjadi biang kerok runtuhnya nilai ahlak pada generasi. Maka ketika ada wacana penghapusan pelajaran agama, bukankah ini upaya semakin mensekulerkan anak didik? tanpa bekal iman, bagaimana anak didik kita bisa punya standar benar dan salah? bahkan bagaimana bisa menghadapi tantangan zaman yang semakin kuat?

 

Perlu adanya Integrasi

Kata kunci ketika kita menginginkan generasi memiliki karakter yang baik, disiplin, dan cerdas, adalah perlu adanya integrasi yang benar antara iman, ilmu juga sistem yang ada. Iman akan menjadi pedoman dasar untuk menentukan benar salahnya suatu perbuatan, ilmu akan mendukungnya, dan sistem dari negara akan membentuk lingkungan yang kondusif agar perilaku tetap baik.

Sehingga penulis tidak sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Musdah Mulia, bahwa dengan penghapusan pelajaran agama akan terbentuk perilaku yang baik, justru yang terjadi adalah sebaliknya, malah akan memunculkan generasi yang tidak punya prinsip, dan mudah terbawa arus negatif. Maka dari itu bapak Mentri yang terhormat mohon untuk meninjau kembali wacana yang Anda gulirkan, demi keselamatan generasi dan masa depan bangsa ini. [syahid/voa-islam.com]

 

*Penulis adalah seorang guru di Mts.Nurul Ilham Cikancung. Domisili di Perum Bojong Badak Endah Blok B No.246 RT.05 Desa Cikasungka Cikancung Bandung.


latestnews

View Full Version