Oleh: Andhika Dwijayanto
Kemarin Chris Cornell, sekarang Chester Bennington. Mereka kaya, sukses, terkenal, tapi tidak bahagia. Ujung-ujungnya depresi lalu bunuh diri.
Selaku pendengar setia Linkin Park dari SD (courtesy to my ol' sis), saya cukup mengetahui apa yang dialami Bennington sejak kecil. Pelecehan seksual, penyalahgunaan obat-obatan, hingga kecanduan alkohol. Lagu-lagu Linkin Park banyak membahas soal permasalahan Bennington itu. Setelah sekian tahun, pasca Linkin Park mengeluarkan album studio ketujuhnya, Bennington akhirnya menyerah dan mengikuti mentornya, Cornell.
Kasus ini (dan jutaan lainnya) setidaknya mengajarkan kita dua hal. Pertama, ukuran kebahagiaan bukanlah kekayaan maupun kesuksesan. Apa yang kurang dari Bennington? Salah satu vokalis paling bertalenta di industri musik rock, bersama band yang dikenal di seluruh penjuru dunia. Tapi dia masih merasa depresi juga.
Menurut Dr. Paul Pearsall, sebagaimana dikutip dalam buku The Model, yang seperti itu disebut sebagai Toxic Success. Kesuksesan beracun. Dia sukses, tapi dia tidak bahagia. Ini yang lebih banyak menimpa orang kaya. Sebaliknya, kemiskinan belum tentu membuat orang sengsara. Buktinya, indeks kebahagiaan warga Yogyakarta adalah yang paling tinggi di Indonesia, walau ketimpangan ekonominya justru yang paling buruk.
Kedua, tatanan hidup kapitalisme adalah tatanan hidup berbasis materi, alias materialisme. Kenikmatan tertinggi adalah dengan kepemilikan materi berlimpah. Orang bisa dikatakan bahagia kalau memiliki materi berlimpah. Tapi diri mereka kosong. Jiwanya gusar, gelisah. Seperti tidak tahu arah hidup. Ini tidak bisa dipungkiri, karena kapitalisme sendiri dibangun atas dasar sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan.
Naluri dasar manusia adalah naluri beragama. Bisa dipahami bahwa memisahkannya dari tatanan kehidupan justru akan membawa permasalahan. Manusia dibentuk jadi seperti anak ayam yang kehilangan induk. Hidup tidak tenang, stres, depresi, akhirnya jatuh ke hal-hal terlarang (obat-obatan, alkohol). Believe me, it's a daily affair in the Western world.
Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang lurus. Mereka yang meyakininya dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tidak akan seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka tahu apa itu bahagia, dan mereka akan punya tujuan hidup, yakni akhirat. Mengenal Islam dengan kaffah akan membawa manusia dalam kebahagiaan yang tidak bisa ditemukan dengan mengikuti jalan hidup kapitalisme.
Ah, andai Bennington mengenal Islam. Mungkin nasibnya tidak akan seperti ini. Tapi dia sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, meninggalkan Linkin Park dengan lubang besar yang entah bisa diisi atau tidak. Sekarang masalah justru pada kita, kaum muslimin. Masih mau mempertahankan peradaban kapitalisme yang tidak bisa membawa kebahagiaan ini? (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google