View Full Version
Selasa, 25 Jul 2017

Membela Palestina, Kemanusiaan atau Kebaikan?

Oleh: Seif Asadayni

"Kami membela Palestina mengambil isu kemanusiaan (humanity). Terlalu sayang kalau hanya disempitkan menjadi isu membela Islam."

Pernyataan macam itu ternyata benar-benar ada dan diucapkan oleh sebenar-benarnya manusia. Bukan rekaan, bukan karang-karangan. Terbaca seperti ucapan berdaya tampung jiwa yang besar dus wadah pikir nan lebar. Tapi sejatinya mundur selangkah menjadi manusia 'muspro', sia-sia pembelaannya kecuali sebagaimana niatnya: membela manusia karena manusia.

Manusia kian banyak saja yang tertipu dan menipu dirinya: netral adalah bijak, bijak adalah adil, dan adil adalah kebenaran universal. Sangar sekali. Dan karenanya Islam adalah sempit.

Teman, aktifislah! Tapi terampillah menata niat. Kau tak akan berkurang sangar hanya dengan membalik ucapan menjadi semacam begini: "Kami membela Palestina atas nama membela agama dan umat Islam. Terlalu sayang kalau hanya dikaburkan menjadi isu membela kemanusiaan (humanity)."

Aih, elok nian, bukan?

Sungguh amal itu, terang Sang Utusan, bergantung niatnya. Dan seseorang akan mendapatkan apa-apa yang sesuai dengan yang diniatkan.

Pada dasarnya, manusia jenis apapun bisa menjadi baik. Laki maupun perempuan, tua maupun muda, cerdas maupun, agak-agak. Bahkan Muslim maupun kafir. Ya! Muslim maupun kafir. Tapi baik itu bermacam-macam bobot dan nilainya. Karena itu "baik" dalam Bahasa Arab terdapat 5 kosakata yang berbeda: thayyib, khair, ma'ruf, ihsan, dan shalih. Secara bebas akan saya ringkas keterangannya demikian...

Thayyib itu baik dalam fisik.

Khair itu baik dalam sifat.

Ma'ruf itu baik dalam sikap.

...Manusia kian banyak saja yang tertipu dan menipu dirinya: netral adalah bijak, bijak adalah adil, dan adil adalah kebenaran universal...


Ketiga kebaikan di atas, bisa dimiliki oleh Muslim maupun kafir. Karena itu jika ada Muslim yang membatasi amalnya dengan "kebaikan universal", maka rugilah ia. Sebab tidak ada yang membedakan dirinya dengan kafir. Bahkan kafir boleh jadi lebih baik darinya dalam fisiknya, dalam sifatnya, dan dalam sikapnya.

Karena itu ada kebaikan yang keempat, yaitu ihsan. Ihsan adalah kebaikan yang disandarkan pada niat beribadah kepada Allah. Ihsan adalah kebaikan yang ditiupkan ke dalamnya ruh yang dengannya mengandung bobot dan nilai ibadah kepada Tuhannya. Dalam sabda Nabi, ihsan juga diartikan: kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Adapun berikutnya, shalih, adalah kebaikan yang terangkum dari keempat jenis kebaikan di atas. Wallahu a'lam.

Suatu ketika Umar bin Khaththab lewat di depan rahib di sebuah gereja. Melihatnya, Umar pun menangis. Maka Sang Rahib bertanya, "Ada apakah gerangan hingga engkau menangis, hai Amiral Mukminin?" Umar bin Khaththab menjawab, "Ketika melihatmu, aku teringat dengan ayat yang berbunyi, 'Aamilatun-naashibah, tashlaanaaran haamiyah... (bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah: 3-4)."

Ayat tersebut berkisah tentang sia-sianya kebaikan, yang meskipun dikerjakan dengan kepayah-payahan, tetapi toh berakhir di neraka kesengsaraan. Yaitu kebaikan-kebaikan yang tertolak karena salahnya tujuan dan atau kelirunya pelaksanaan. Karena itu tatalah niat dalam setiap amal. Landaskan setiap amal pada iman, karena iman adalah kunci pertama diterimanya amal sebelum niat dan cara yang sesuai dengan tuntunan. Jangan pernah jadikan imanmu sebagai embel-embel tanpa bobot. Tawar, hambar, dan ambyar!

“Siapapun yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh Kami akan mengaruniainya kehidupan yang baik dan membalasnya dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version