Oleh: Usamah Al-Faatih
Seorang yang terlahir muslim patutlah bersyukur atas nikmat keislaman yang mereka rasakan sejak lahir. Nikmat islam merupakan nikmat terbesar yang dapat menyelamatkan manusia dari api neraka. Karena hanya islam agama yang diridhoi oleh Allah SWT.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Ali ‘Imron ayat 19,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”
Menjadi seorang muslim juga bukanlah sekedar gelar biasa. Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima dan lakukan. Layaknya seorang sarjana yang mendapat gelar S1, banyak hal yang harus ditempuh dan dilakukan dalam mendapat gelar tersebut bahkan mempertahankannya.
Kita yang terlahir dari orang tua yang beragama islam, sangatlah mudah mendapat gelar tersebut. Tidak seperti sahabat Rasulullah SAW, Salman al-Farisi yang menempuh perjalan panjang dalam mencari hidayah Allah SWT sampai pada akhirnya ia berlabuh dalam dermaga keislaman. Kita juga tidak seperti Umar bin khottob yang pada mulanya sangat membenci islam, sampai pada masa hatinya diluluh lantahkan dengan bacaan ayat suci Al-Qur’an sehingga ia serahkan seluruh jiwa dan raganya demi islam. Gelar muslim ini pun juga tidak cukup sampai kita mendapatkannya saja, tapi berlanjut terus dan harus kita pertahankan hingga ajal menghampiri.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 132,
وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Seorang muslim setidaknya memiliki dua kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka selama hidup di dunia, yaitu menjalani perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Artinya kita mesti senantiasa memposisikan diri kita sebagai hamba di setiap aktivitas yang kita lakukan. Karena sejatinya seluruh ibadah yang Allah SWT perintahkan kepada kita semata mata demi mengharap ridho dari-Nya.
Menjalankan segala perintah Allah SWT tentu kita akan menemukan berbagai macam godaan dan ujian keimanan, karena syaiton laknatulloh alaihi pasti tidak rela melihat manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Hal tersebut membuat kita harus tetap bertahan dan istiqomah berada di jalan-Nya. Karena jika kita bertahan, ridho dan rahmat Allah akan tetap menaungi kita, namun jika kita tidak bertahan, kita akan terbuai dan terjerumus dalam siksaan neraka.
Dalam mempertahankan keistiqomahan beribadah kepada Allah SWT, setidaknya ada lima tahap yang dapat kita lakukan, yaitu :
Muroqobah artinya merasa selalu diawasi. Artinya dalam tahap ini, kita harus merasa selalu diawasi oleh Allah SWT. Sehingga kita akan berpikir kembali ketika kita ingin melakukan kemaksiatan. Karena sesungguhnya Allah SWT itu melihat setiap amalan yang kita kerjakan.
إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Mu’ahadah artinya kita mengingat bahwa dulu, sebelum ruh kita ditiupkan kepada jasad, kita semua pernah membuat kontrak perjanjian untuk tetap taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan kita juga untuk tetap patuh kepada Allah SWT. Dan bentuk perwujudan kontrak tersebut setidaknya di ikrarkan secara lisan dengan mengucapkan kedua kalimat syahadat dan juga kalimat, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.” serta di amalkan dengan beribadah kepada-Nya
Setelah kita sadar dan mengingat bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi kita, tahap selanjutnya yaitu kita senantiasa melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Setiap malam sebelum tidur, kita dianjurkan untuk mengevaluasi amalan yang telah kita lakukan di hari itu, kita cek satu per satu, apakah amalan yang kita lakukan itu menambah keimanan dan pahala kita atau justru malah mengurangi atau bahkan merusak keimanan. Hal tersebut perlu kita lakukan, agar keesokan hari kita tidak mengulang kesalahan yang sama.
Dalam tahap ini, kita berada pada tahap dimana kita menyesal atas kemaksiatan dan kelalaian yang telah kita lakukan. Penyesalan itu dapat kita wujudkan dengan memberikan sanksi atau hukuman untuk diri kita. Dalam konteks ini, sanksi diberikan bukan untuk menyiksa dan mendzolimi diri, tetapi sanksi inimerupakan bentuk ikhtiar dan keseriusan kita agar tetap istiqomah berada di jalan-Nya.
Dan yang terakhir adalah mujahadah yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam tahap ini, membutuhkan kesabaran, keinginan yang tinggi, dan kemauan yang keras untuk tetap istiqomah.
Mujahadah merupakan sarana menunjukkan ketaatan kita sebagai hamba Allah SWT dan bentuk ikhtiar kita dalam menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berikhtiar dan berupaya secara optimal
Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 105,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Mujahadah adalah bentuk keseriusan kita untuk tetap komitmen menjalankan segala perintah-Nya. Maka dari itu, kita sebagai orang muslim sejatinya tetap terus berikhtiar untuk menjadi seorang muslim yang bukan hanya sebatas gelar semata, melainkan menjadi muslim yang seutuhnya, muslim yang taat, tunduk, patuh dan istiqomah berada di jalan-Nya. [syahid/voa-islam.com]