Ada kalanya kehidupan memaksa manusia untuk sibuk mengejar dunia. Waktu yang ada seolah habis untuk urusan pekerjaan. Ruh pun terasa kering. Ibadah juga terasa kurang khusyuk bila tak bisa dibilang asal-asalan. Duh, naudzubillah. Tuntutan pekerjaan sedemikian besar sehingga merampas hampir seluruh waktu untuk fokus dan berkutat seputarnya saja. Sehingga tak jarang, terbersit hati ingin menyudahi.
Wajar...karena dunia memang ibarat fatamorgana. Dia dikejar untuk memuaskan dahaga, sejatinya ia tiada. Yang tersisa hanya lelah dan langkah pun tak tentu arah. Duh...meruginya. Saat keinginan untuk berhenti itu mendatangi, tariklah napas barang sejenak. Sebelum memutuskan, ambillah jarak. Berdirilah sedikit menjauh agar pandangan bisa melihat lebih luas. Inilah yang disebut momen introspeksi.
Lihatlah ke dalam diri terlebih dulu. Tanyalah hatimu, niat awal apa yang kau hunjam saat awal kakimu melangkah hingga di titik ini. Bab niat ini ibarat pondasi pada satu bangunan. Ia krusial menentukan kokoh tidaknya gedung yang akan kau bangun. Ajaklah orang-orang terdekat untuk menilai. Karena bagaimanapun hebatnya diri tetap tak sanggup melihat apa yang ada di ujung dahi. Butuh orang lain untuk mengatakannya dengan jujur, dan itu adalah orang yang menyayangi kita.
Sayang bukan berarti mengiyakan apapun kata orang yang disayang. Sayang adalah saat mengatakan apa yang harus dikatakan. Bagaimana kualitas diri di titik ini. Apakah aktivitas yang seolah menyibukkan dengan urusan dunia ini layak untuk dipertahankan? Benarkah ia melulu urusan dunia saja? Atau mungkin kedhaifan diri yang membuatnya seolah melulu materi dan tak ada urusan dengan ukhrawi?
...Setelah berlelah di siang hari, malam adalah saat untuk rekreasi. Bukan dengan pergi ke tempat pelesiran tapi bermunajat di heningnya malam dengan khusyuk adalah pelipur bagi jiwa yang letih...
Saya tiba-tiba teringat dengan Umar bin Khatab meskipun tak pantas juga rasanya membandingkan kualitas diri dengan beliau yang ahli surga. Tapi siapakah yang bisa ditiru setelah Rasulullah SAW kalau bukan para sahabat termasuk Umar bin Khatab?
Umar adalah sosok yang seperti singa ketika di siang hari dan ibarat rahib di malam hari. Selevel Umar, aktifnya laksana singa tentu selalu disertai oleh dzikrullah. Kesibukan mencari nafkah yang itu jelas untuk memenuhi kebutuhan duniawi anak dan istri, tidak lantas membuat lupa diri. Bila di setiap langkah diniatkan untuk memenuhi kewajiban sebagai suami dan demi meraih ridho Allah semata, maka ada nilai ibadah di sana. Setiap ikhtiyar yang dilakukan menjadi batu bata untuk meniti jannah sebagai tempat tujuan yang abadi kelak. Insya Allah.
Setelah berlelah di siang hari, malam adalah saat untuk rekreasi. Bukan dengan pergi ke tempat pelesiran tapi bermunajat di heningnya malam dengan khusyuk adalah pelipur bagi jiwa yang letih. Berat? Mungkin, karena bagi kebanyakan manusia malam adalah tempat untuk lelap dalam mimpi. Tapi bukankah saat diri telah berazzam untuk menjadi agent of change dalam masyarakat, itu artinya diri ini harus mau juga berubah dan berbeda dari orang kebanyakan? Dan hanya orang-orang terpilih saja yang mampu menikmati khusyuknya munajat dalam hening tahajud.
Lelah yang mendera bukan salah pekerjaan, tapi bisa jadi ada yang salah dalam manajemen diri. Karena sesungguhnya dalam berlelah mencari nafkah, ada Lillah yang berusaha untuk diraih dan dituju. Ketika lillah ini dijadikan tujuan dan fokus, insya Allah semua akan tertata sesuai dengan skala prioritas amalan. Saat manusia dengan segala keterbatasan merasa kesusahan, maka biarkan Allah yang menata hidup kita dengan caraNya. Selalu ada jalan bagi kegundahan hati yang muaranya adalah Ilahi. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google