View Full Version
Selasa, 29 Aug 2017

Berkorban dan Berjuang, Dua Sisi Mata Uang untuk Bekal Akhirat

Menjelang Idul Adha, apa sih yang terlintas dalam benak? Yupz, pengorbanan. Sebagai remaja, kayaknya jauh banget deh ya dengan kosakata yang satu ini. Sebaliknya, remaja tuh sering merasa dirinya sebagai pihak yang dikorbankan. Gimana enggak kalau para orang tua sering kali ambigu terhadap posisi remaja sendiri.

Saat minta tambah uang saku, ortu merasa anaknya sudah seharusnya bersikap layaknya orang dewasa yang mengerti susahnya cari duit. Kamu dianggap bukan anak kecil lagi yang tahunya cuma minta tambah doku. Tapi saat kamu ingin memberikan opini terkait satu masalah, seringnya kamu dipandang sebelah mata. Mereka menganggap kamu masih kecil sehingga tak usah ikut peliknya masalah orang dewasa. Duh!

Jadilah remaja berada di posisi serba nanggung dan bingung. Mereka jadi korban yang sengaja dikorbankan untuk ambisi dan keegoisan orang dewasa. Pernah ngggak sih kamu berpikir seperti ini? Belum lagi sistem yang ada sengaja mengebiri remaja agar menjadi sosok yang bongsor di luar saja (secara fisik) tapi dalemnya kerdil (secara psikologis). Lantas remaja mencari pembenaran bahwa dirinyalah yang banyak dikorbankan, bukan berkorban.

Iya sih itu cuma becandaan istilah dikorbankan dan berkorban. Sejatinya dalam hidup selalu ada yang namanya berkorban bagi seseorang atau sesuatu yang kita yakini layak untuk mendapatkan pengorbanan kita. Contoh sederhana adalah kita mau berkorban mengurangi waktu main untuk belajar lebih rajin demi masa depan. Itu karena kita merasa bahwa cita-cita kita layak diperjuangkan.

...Sejatinya dalam hidup selalu ada yang namanya berkorban bagi seseorang atau sesuatu yang kita yakini layak untuk mendapatkan pengorbanan kita...

Nah, senyampang momen Idul Adha makna pengorbanan yang ada seharusnya tidak melulu masalah duniawi dong. Sejauh apa sih kita sudah berkorban untuk akhirat kita? Kalau diingat-ingat, amal juga masih segini-segini saja. Lalu amal utama apa yang akan kita ‘banggakan’ saat nanti menghadapNya?

Istilah berkorban ini sebetulnya yang membuat kita serasa ada pembatasan. Yang namanya berkorban itu susah ada rasa menikmati. Coba kita ganti sudut pandang dan istilahnya. Bukan lagi berkorban tapi semata-mata demi rasa sayang dan cinta kita padaNya. Rasa sayang dan cinta inilah yang menjadi kekuatan tersendiri untuk rela melalukan sesuatu tunduk dan patuh hanya karenaNya.

Kita mau melakukan hal-hal yang Ia perintah dan menjauhi segala sesuatu yang Dia larang itu semata demi cinta. Bilapun ada yang menyebutnya sebagai pengorbanan, rasa berkorban yang ada bukanlah karena tekanan. Ia muncul sebagai wujud rasa cinta yang membutuhkan konsekuensi. Kita salat, puasa, zakat, menjauhi riba, menutup aurat, menjaga pergaulan, bahkan hingga ke niat hati terdalam untuk satu ketika bisa diwafatkan dalam kondisi syahid, itu semua semata karena rasa mencintaiNya.

Cinta yang membutuhkan pembuktian yaitu salah satunya disebut dengan pengorbanan. Terlalu muluk menyamakan pengorbanan Nabi mulia seperti Ismail dan Ibrahim dalam amal pengorbanannya. Cukuplah kita mampu meneladani secuil dari semangat pengorbanan mereka berdua. Itu saja masih berjuang memurnikan niat agar tak ada riya dalam setiap amalan.

Tuh kan, sepertinya pengorbanan dan perjuangan itu memang dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Layak bila dari hari ke hari rasa lelah ada kalanya menghampiri. Karena sesungguhnya  hidup di dunia memang ladang amal untuk bekal di akhirat. Pertanyaannya, sejauh mana sih kita sudah berjuang dan berkorban untuk akhirat kita? Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang lalai berjuang dan berkorban untuk akhiratnya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version