“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”(QS. Al Baqarah: 216)
Ayat di atas bisa jadi sering kita baca saat tilawah, kita dengar saat pengajian atau bahkan kita ucapkan saat menasehati orang lain. Tapi pernah nggak sih kita sendiri merasakan berada dalam kondisi sebagaimana ayat tersebut?
Saat kita menyukai sesuatu atau seseorang, qadarullah kita tak bisa meraihnya. Sekuat apapun kita berusaha tetap saja tak mungkin teraih ketika ia belum menjadi takdirnya. Ambil contoh sederhana tentang keinginan masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Belajar dengan rajin dan berdoa juga sudah, tapi tetap saja tidak lolos ujian. Banyak faktor mempengaruhi bila mau ditelisik satu demi satu. Sederhana kata sih belum rezekinya.
Memang, hasil tak pernah mengkhianati usaha. Ada kan istilah itu? Maksudnya apabila bersungguh-sungguh tentu akan menuai hasil dari kesungguhan itu. Tapi jangan lupa pula bahwa tanpa izin dari Allah sebesar apapun kesungguhan itu tak ada artinya.
Kan sudah memaksimalkan doa juga. Iya, tapi ingat nggak sih bahwa seringkali kita berdoa itu meminta sesuatu yang baik menurut versi kita. Bagaimana menurut Allah? Nah, ingat-ingatlah ayat di atas. Jarang kita berdoa meminta sesuatu atau seseorang yang itu baik menurut Allah dan kita patuh serta rela menerimanya. Lebih banyak kita mendikte Allah minta ini dan itu. Betul atau benar?
...Tak perlu sedih berlarut. Yakin bahwa Allah telah menyiapkan pengganti yang jauh lebih baik daripada yang telah pergi. Bukankah Allah itu sesuai persangkaan hambaNya?...
Begitu juga saat seseorang yang menurut kita itu sudah pasti yang terbaik untuk jodoh, apa iya menurut Allah begitu?
Dia kan memenuhi semua kriteria 4 hal seseorang dinikahi sebagaimana yang pernah dianjurkan oleh Rasulullah. Agamanya tidak diragukan. Dia pengurus salah satu jamaah dakwah. Dia juga sopan dan baik agamanya.
Bisa jadi itu memang benar. Tapi belum tentu yang baik-baik itu, baik pula untuk menjadi jodohmu. Bukan berarti lalu kamu memilih seseorang yang tidak baik untuk pendamping hidup. Bukan itu maksudnya. Tapi lihatlah, introspeksi diri. Apakah kamu cukup baik juga untuk mendampingi seseorang yang katamu baik itu? Atau mungkin apa yang menurutmu baik, menurut Allah juga baik?
Tak usah resah dengan hasil. Toh kamu tak akan ditanya tentang siapa yang jadi jodohmu. Tapi kamu lebih akan dimintai pertanggungjawaban akan proses dalam menjemput jodoh itu. Jadi tak perlu larut saat orang yang kamu harapkan menjadi bagian di masa depan, ternyata harus mundur di tengah proses yang sedang berjalan. Ingat, yang dihisab adalah caramu menyikapinya.
Tak perlu sedih berlarut. Yakin bahwa Allah telah menyiapkan pengganti yang jauh lebih baik daripada yang telah pergi. Bukankah Allah itu sesuai persangkaan hambaNya? Jangan biarkan dirimu berprasangka buruk karena itu sama saja dengan doa untuk dirimu sendiri.
Teruslah pupuk prasangka baik pada Allah dan segala rencanaNya. Sungguh Ia Mahatahu yang terbaik bagi segenap makhlukNya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google