View Full Version
Senin, 18 Sep 2017

Kehilanganmu adalah Takdir Indah yang Harus Dilewati

Kehilangan orang yang disayang, selalu saja menyisakan rasa ‘lubang’ di hati. Seperti rumah yang sebelumnya berisi banyak penghuni, tiba-tiba saja kosong. Kita merasa sepi dan sunyi. Tapi rasa kehilangan berbeda dengan sepi dan sunyi yang biasa. Kehilangan yang sangat bisa membuat seseorang merasa sendiri dan tak ada satu orang pun yang peduli padanya.

Kehilangan orang yang dikasihi dan disayangi bisa membuat orang yang ditinggalkan merasa limbung. Kondisi fisiknya baik-baik saja, tapi hatinya...ada lubang menganga yang ditinggalkan begitu saja. Itulah mengapa, saat seseorang kehilangan orang yang disayangi entah karena meninggal atau perceraian, harus ada seseorang yang menemani orang yang ditinggalkan tersebut. Selain empati, perlu ditunjukkan pada dia yang hatinya sedang ‘berlubang’ bahwa ada orang yang peduli dan sayang padanya.

Manusia, selalu ada momen datang dan pergi. Orang yang peduli pun tak selamanya mendampingi. Itulah pentingnya tertanam keyakinan bahwa ada yang selalu sayang, tak peduli apapun kondisinya. Allah SWT. Ya...Allah selalu ada dan tak akan pernah pergi. Bila keyakinan seperti ini telah tertanam, maka kehilangan seberat apapun, akan lebih mudah untuk ditanggungkan.

Sejatinya kehilangan adalah sunatullah kehidupan. Entah barang atau manusia selama dia bersifat fana maka dia akan pergi juga satu ketika. Segala yang bernyawa juga pasti mati di akhir hidupnya. Pernikahan yang seindah impian, ternyata harus berakhir dengan perceraian. Bahkan seseorang yang belum  menikah pun, harus menghadapi kehilangan saat taaruf tak bisa dilanjutkan.

...Manusia, selalu ada momen datang dan pergi. Orang yang peduli pun tak selamanya mendampingi. Itulah pentingnya tertanam keyakinan bahwa ada yang selalu sayang, tak peduli apapun kondisinya. Allah SWT...

Kadar kehilangan ini tak sama antara satu individu dengan individu lainnya. Ada seorang muslimah, satu bulan menjelang pernikahannya, calon suami kecelakaan dan meninggal. Ia pun menyikapi kehilangan dengan menutup diri di sisa usianya. Ia tak lagi mau berbicara dan keluar dari kamar selama puluhan tahun. Ia menyikapi kesedihan dengan menikmati setiap detiknya dan merusak badan serta jiwanya.

Dalam kondisi yang kurang lebih sama, muslimah yang lain menyikapi kehilangan dengan sabar. Rasa sakit dan lubang menganga dalam hati itu sama, hanya penyikapan saja yang berbeda. Dengan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di kolong langit ini adalah kehendak Allah, dia  bisa bersabar. Allah tak akan menghisab sesuatu di luar kuasa manusia. Kematian yang mengakibatkan kesedihan tak akan dihisab oleh Allah. Apa yang dilakukan manusia dalam menyikapinya, itulah nanti yang akan ditanya.

Karena itu, amalan inilah yang seharusnya kita pikirkan untuk dilakukan. Apakah kesedihan itu akan mendominasi kehidupan kita sehingga melalaikan tugas sebagai khalifatullah di muka bumi, ataukah bangkit dari keterpurukan dan kompromi dengan rasa kehilangan. Di ranah inilah manusia nantinya akan dimintai pertanggungjawaban.

Tulisan ini untuk kalian semua yang saat ini sedang dirundung duka dan lubang di hati masih menganga. Entah itu karena kematian, perceraian, proses taaruf atau khitbah yang tak dilanjutkan, woles saja karena itu semua itu adalah fase kehidupan yang memang harus dilalui.

Menangislah bila ingin menangis. Berdukalah bila ingin berduka, asal jangan lama-lama. Hidup ini terlalu indah untuk terus menenggelamkan diri dalam duka tak bertepi. Saat Allah ‘mengambil’ seseorang yang kita sayang, entah dengan ajal atau perceraian ataupun pembatalan, yakinlah ada seseorang terbaik yang sedang dipersiapkanNya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version