View Full Version
Selasa, 26 Sep 2017

Tentang Cinta

Oleh: Luthfi Ichya Ulumuddin

Pokok ajaran agama adalah cinta. Dari rasa cintalah muncul sebuah iradah (kehendak), kemauan. Iradah[1] mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu, entah berbuat baik ataupun buruk.[2]

Cinta merupakan sumber segala denyut kehidupan. Darinya akan muncul pemikiran yang mengarah pada sikap yang akan dipilih, baik itu perkataan maupun perbuatan. Perbuatan meliputi dua; dhahir dan batin.[3] Perbuatan dhahir mudah untuk dikenali orang lain. Sedangkan yang batin, tidak mudah dikenali, inilah yang menjadi inspirasi perbuatan dhahir.

Seseorang hanya mampu mempersepsi (menilai) apa yang nampak saja. Karena ia tak mampu menjangkau dan menyelami apa yang tersembunyi didalam qalbu (batin).

Ruang lingkup agama Islam mencakup amalan hati seperti tashdiq (pembenaran), ikhlas, mahabbah (cinta), roja’ (pengharapan), dan khauf (takut).Termasuk juga syiar-syiar ibadah, seperti menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Semua itu dibangun berdasarkan ilmu dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Gejolak nafsu kadang menggelora dijiwa, akan tetapi dapat dikendalikan.lama-kelamaan akan membentuk dan muncul sebagai karakter iman secara reflek. Maka terbentuklah bangunan (sifat) akhlakul karimah dimana semua orang menginginkannya. Sumber dorongan untuk melakukan semua itu adalah rasa cinta kepada Allah (mahabatullah).

Kuat lemahnya mahabatullah beranding lurus sejauh mana seorang hamba mengenal Allah (ma’rifatullah). Ini salah satu alasan pentingnya ma’rifatullah baik meliputi dzat, nama-nama maupun perbuatan dan sifat-sifat-Nya (asma wa sifatullah). Semakin dalam ma’riatullah seseorang, semakin kuat pula rasa mahabbah kepada-Nya.

 

Peranan Cinta

Peran mahabbah begitu penting  dalam menghamba kepada Rabbnya, dan di dalam memperbaiki kualitas ibadah tersebut. Oleh karena itu, para salaf[4] sangat memperhatikan fluktuasi kalbunya. Kemanakah hati condong ? apakah lebih condong ke hal ma’ruf atau munkar ? Perhatian mereka terhadap hal tersebut melebihi perhatiannya terhadap amalan fisik. Mereka menyadari bahwa hati menentukan kualitas iman. Saat hati dalam keadaan buruk, imanpun menjadi lemah dan turun. Penderitaan yang hakikatnya adalah ujian keimananpun ia rasakan sebagai kepedihan yang tak terperikan. Larangan-larangan Allah begitu berat untuk di tinggalkan dikarenakan rasa mahabatullah yang  belum tumbuh ataupun masih merosot kualitasnya. Terlebih hawa nafsu yang bisa berkobar kapan saja sehingga ikut memberatkannya.[5]

Sebaliknya, bagi seorang hamba yang telah menyerap dan meresap rasa cintanya kepada Allah Swt, semua akan terasa ringan. Kuncinya ada rasa mahabbah dan juga ridho. Ridho dapat diperoleh dari mahabbah. Kita akan ridho melakukan apa saja demi apa yang kita cintai. Begitu juga dengan seorang hamba ridho melakukan semua yang Allah Swt perintahkan dan meningglkan apa yang di larang-Nya.

Seorang penyair mengatakan:

“Sesungguhnya cinta adalah mencintai apa yang dicintai oleh seseorang yang kita cintai”[6]

 

Al-Hubb fillah wa lillah الحب في الله

Allah menjadikan kalbu seorang hamba yang cinta kepada-Nya mencintai keimanan dan memandang indah keimanan itu. Seperti firman-Nya :

.... و لكن الله حبب اليكم الإيمان وزينه في قلوبكم ....

“Akan tetapi Allah-lah yang menjadikan kamu sekalian cinta kepada keimanan itu dan menjadikan indah di dalamnya.” (Al-Hujurat : 6).

Jika kalbu telah digenangi keimanan dan memandang iman itu indah, tak ada alasan lagi merasa berat dalam beramal. Ketika itu, hamba yang beriman tadi akan mencintai apa yang dicintai Allah Swt, dengan kalimat singkat (Al-hub fillah) mencintai sesuatu karna Allah. Pada keadaan ini tidak ada penghalang dalam hati seorang hamba untuk bergerak cepat menyambar apa saja yang ditawarkan untuk mendapatkan kecintaan-Nya.[7]

“Sesungguhnya cinta hakiki membawa kepada kebahagiaan abadi.....raihlah cinta yang berpahala”.[8] [syahid/voa-islam.com]

 

 

Catatan Kaki:

[1]  suatu keinginan (dorongan dari dalam jiwa) secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik atau buruk. (Abu Bakr al-Jabr, Minhajul Muslim).

[2]  أبو بكر جابر الجزا ئريٍ في كتاب منهاج المسلم في الباب الأخلاق

[3]  Akhlaq dan Adab.

[4]  Para pendahulu (ulama terdahulu).

[5]  Majalah Islam ar-risalah eds. 98 / Agustus  2009.

[6]  Kitab balaghoh, ‘Ilm balaghoh {علم بلاغة}

[7] Taqwa ; Taat (  طا عة الله)

[8]  Balaghoh Cinta


latestnews

View Full Version