View Full Version
Senin, 23 Oct 2017

Mencontoh Korea untuk Menjadi Pribumi di Negeri Sendiri

Saya selalu punya ketertarikan pada artikel dan bacaan yang kaitannya tentang strategi inovatif di balik maraknya gelombang budaya Korea Selatan yang telah sukses "menghantam" dunia, termasuk telah menghantam Indonesia bertubi-tubi.

Sampai-sampai di buku "Korean Cool" karangan Euny Hong, Jurnalis Korea yang berdomisili di Amerika, namun menghabiskan masa kecil dan remajanya di Korea Selatan, dengan bangga ia menyebut : Jika abad 20 adalah rra Amerika dengan serangan budaya Jeans Levi's dan rokok Marlboro yg mendunia maka abad 21 adalah abadnya Korea Selatan dengan Kpopnya (buku ini legit banget, aku membacanya berulang kali).

*

Aku selalu tertarik pada kisah kemajuan negeri gingseng ini. Salah satu alasannya karena penasaran. Indonesia dan Korea Selatan punya "masa start" yang sama dan latar belakang dijajah yang "sama". Kita bahkan merdeka hanya beda beberapa hari saja. Mereka merdeka 15 agustus 1945, kita merdeka 17 Agustus 1945. Namun mengapa percepatan mereka luar biasa banget? Jauh ninggalin kita. Kan jahat! 

*

Jawabannya selalu sama : karena kecintaan mereka pada produk dalam negeri, pada produk pribumi negeri sendiri. Dalam buku Cool Korean digambarkan bahwa tahun 1985-an, saat penulisnya masih setara SMP, distrik GangNam tempat dia tinggal, masihlah sebuah kota yang cukup tertinggal, miskin, banyak hutang, dan belum maju.

Uniknya, ada larangan keras di sekolah mereka untuk menggunakan produk produk impor. Membeli barang buatan lokal korea, adalah kewajiban! Sekolah bahkan sering inspeksi, sidak mendadak dan acak untuk memastikan bahwa tak ada murid yang melanggar aturan "wajib cinta produk dalam negeri".

Murid murid akan berkeringat dingin membuang alat tulis mereka yang bukan made in Korea. Pensil mekanis buatan jepang, kotak pinsil merk Amerika, kotak makan plastik produksiThailand (ini lebih parah, Thailand adalah negara yang lebih miskin daripada Korea, maka guru akan 2x lebih melotot dan memukul jika mengetahui bahwa murid mereka menggunakan produk dari negara yang lebih miskin).

"Kita harus membantu negara agar bisa membayar hutang luar negeri!"

Begitu saja para guru menjelaskan, tanpa detil memberi tahu apa kaitan ekonomis antara "anti produk asing" dengan hutang lunas.

*

Tapi lihatlah hasilnya sekarang. Siapa yang ada di depan. Mereka si Para Pecinta Produk Dalam Negeri itu!

Bagaimana dengan kita?

Mottoku adalah "A wise traveler never despises his own country."

Maka ketika setiap yang mengritik pemerintah dianggap menebar kebencian, sekarang lihatlah sekeliling. Bahkan yang teriak cinta NKRI saja, berteriaknya sambil minum kopi Starbak, dan terus mengoceh untuk mendukung pembangunan reklamasi bagi warga asing, dan pasang badan untuk Meikarta yang kelak akan dihuni oleh orang-orang kaya safety player.

So, teruslah berpikir bahwa negeri ini baik baik saja!

Yana Nurliana
Pribumi

Caption Foto:
Itu toko di samping Hostel kami, jualan penanak nasi elektrik. Jangan salah fokus yaaa...

(riafariana/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version