View Full Version
Jum'at, 08 Dec 2017

Kids Zaman Now = Generasi Micin, Yes or No?

Sobat muslim, kecanggihan teknologi di tengah arus globalisasi mempermudah seseorang untuk mengakses informasi. Media yang dipakai adalah fitur jejaring sosial yang kian beragam. Hal tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya dengan semakin banyaknya fitur jejaring sosial, itu artinya mempermudah masyarakat Indonesia untuk terhubung dengan dunia luar.

Mereka yang tidak bisa memilah mana yang baik dan buruk bisa jadi terjerembab ke dalam hal-hal yang negatif. Kondisi tersebut menjadikan dirinya semakin jauh dari adat ketimuran bahkan semakin jauh dari Allah SWT. Astaghfirullahal’adzim.

Sobat muslim, saat ini istilah Kids Zaman Now sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah tersebut kian viral dengan banyaknya perilaku remaja yang semakin hari kian memprihatinkan. Dengan bangganya, perilaku-perilaku tak wajar tersebut mereka unggah ke akun media sosial. Seperti kumpulan remaja yang mencekoki hewan di taman safari dengan minuman keras, sejoli remaja di Minahasa yang bunuh diri akibat cinta yang tidak direstui, dan banyak lagi perilaku tak pantas lainnya dari remaja yang kini menjadi sorotan.

Saat ini, kita kerap sekali menjumpai remaja di bawah umur memposting kemesraannya dengan pacar yang usianya juga tak beda jauh dengannya. Selain itu, postingan remaja yang tampil tak senonoh dengan memperlihatkan auratnya juga sering kita saksikan saat ini. Ribuan perilaku buruk tersebutlah yang menjadi perbincangan masyarakat Indonesia saat ini, hingga melahirkan istilah “Kids Zaman Now”. Tak jarang generasi ini disebut juga dengan Generasi Micin.

Micin atau penyedap rasa diketahui sangat berbahaya bagi kesehatan apabila dikonsumsi secara berlebihan dan terus menerus. Hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan otak dan menyebabkan organ-organ penting dalam tubuh terganggu. Istilah generasi micin merujuk pada remaja saat ini yang dianggap bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.

Lebih absurdnya, masyarakat menganggap bahwa hal demikian terjadi karena generasi zaman now itu terlalu banyak mengkonsumsi micin atau penyedap rasa. Hal ini tak bisa langsung kita iyakan saja. Faktanya, micin juga memiliki manfaat apabila dikonsumsi sewajarnya. Sayangnya, istilah micin saat ini disandingkan dengan konotasi negatif.

Sobat muslim, tahukah kita bahwa di samping banyaknya remaja yang kerap kali melakukan tindakan bodoh, juga banyak sekali remaja yang menuai prestasi dan bermanfaat bagi orang lain. Tak usah jauh-jauh deh, saya langsung ambil contoh teman sejurusan saya. Ia berasal dari Bontang. Saat ini ia telah menghafal 30 juz Al-Qur’an. Di SMAnya dulu ia mendapat gelar sebagai siswa berprestasi karena mampu menghapal 15 juz dalam waktu 1,5 tahun.

 

...Olok-mengolok antar generasi ini tak elok dilakukan terus-menerus. Di dalam Islam, kondisi ini sudah disinggung juga kok. Kita tak boleh mengolok pihak lain karena bisa jadi yang diolok lebih baik daripada yang diolok...

Perguruan tinggi saya saat ini sebenarnya memberikan beasiswa kepada mahasiswa hafidz dan hafidzah. Tetapi teman saya yang satu ini, tidak mau maju ke depan ketika mahasiswa penghafal Al-Quran dipersilahkan maju. Banyak teman-teman saya lainnya juga tidak tahu bahwa dia ini merupakan seorang hafidzah, kecuali teman-teman terdekatnya. Ketika saya tanya mengapa ia enggan maju ke depan, jawabannya justru membuat saya tertegun.

Ia beranggapan bahwa menjadi seorang hafidzah adalah pilihannya. Ia tak ingin menjadikan hafalannya untuk dijadikan aji mumpung agar bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Ia juga berkata bahwa menjadi hafidzah adalah beban berat karena ia harus menjaga hafalannya di tengah zaman yang semakin dekat dengan kemaksiatan ini.

Contoh lain datang dari teman saya satu perguruan tinggi. Di usianya yang masih muda, ia diangkat sebagai Duta Literasi. Ia juga pernah menjadi student exchange di Amerika dan Kanada. Ia pun juga penulis buku yang memuat tentang kisahnya sebagai student exchange.

Dari kedua contoh teman saya di atas, layakkah mereka disebut dengan generasi micin? Sebenarnya banyak sekali contoh remaja inspiratif lainnya yang ingin saya tuliskan dalam artikel ini. Tetapi dari dua contoh kids zaman now di atas sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua kids zaman now itu berperilaku negatif. Apalagi parahnya generasi saat ini disebut dengan generasi micin.

Bukan hanya di Indonesia, masyarakat Amerika Serikat pun menyebut kids zaman now dengan istilah “the dumbest generation” atau generasi yang paling bodoh. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati dalam wawancara yang disiarkan Radio PRFM, Minggu 26 November 2017 lalu.

Olok-mengolok antar generasi ini tak elok dilakukan terus-menerus. Di dalam Islam, kondisi ini sudah disinggung juga kok. Kita tak boleh mengolok pihak lain karena bisa jadi yang diolok lebih baik daripada yang diolok sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat 49:11.

 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”

Sobat muslim, apakah kita diam saja dengan sebutan generasi micin yang disandangkan pada generasi kita? Sedangkan kita tahu bahwa setiap perkataan entah itu baik ataupun buruk merupakan sebuah doa. Maukah kita senantiasa didoakan sebagai generasi yang tak bermoral? Generasi yang tidak memiliki etika? Maukah pula kalian mendoakan generasi kalian sendiri sebagai generasi yang tak beradab?

Marilah kita bersama-sama menghapus ungkapan buruk tersebut dengan saling menasehati satu sama lain dan berusaha menjadi lebih baik. Tidak perlu kita nyinyir dengan mencela perilaku orang lain, tetapi diri kita sendiri malah tak mencerminkan identitas sebagai muslim. Tak perlu juga saling menghina dengan sebutan-sebutan buruk karena hal itu justru membuat hal buruk tersebut menjadi lebih buruk. 

Bukankah tugas kita sebagai seorang muslim adalah saling menasehati? Bukan saling nyinyir dan berkata buruk terhadap generasi kita sendiri. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version