Oleh: Tatang Hidayat*)
Aksi Bela Islam yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2016 atau yang dikenal aksi 212 sudah di depan mata. Aksi yang tentunya sulit dilupakan bagi para peserta aksi, begitupun dengan saya sendiri. Namun yang saya soroti dalam Aksi Bela Islam 212 adalah kisah heroiknya aksi jalan kaki santri Ciamis ke Jakarta.
Ketika saya melihat beberapa kali tayangan aksi apalagi saat momen sambutan dari masyarakat selama yang dilewati santri Ciamis membuat air mata ini tidak mampu untuk terus membasahi pipi. Bagaimana tidak, ketika kita seorang manusia yang memiliki hati nurani melihat peristiwa yang menyentuh hati nurani, sangat langka dan mungkin tidak akan terulang di depan mata tidak tersentuh juga ?.
Santri yang awalnya merupakan kaum yang dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Namun, dengan peristiwa ini membuktikan bahwa kaum santri yang dalam hal ini diwakili santri Ciamis bisa menjadi tokoh utama dalam membangkitkan ruhul jihad umat untuk membela al-Qur`an dan dengan peristiwa tersebut menandakan bahwa ghirah Islamiyyah umat ini masih ada.
Namun, aksi heroik jalan kaki santri Ciamis ke Jakarta dalam rangka membela al-Qur`an ternyata dinyinyir sebagian kecil orang yang tidak setuju dengan sikap tersebut. Sebelum keberangkatan santri Ciamis ke Jakarta ada spanduk di sekitar Ciamis yang dipasang entah oleh siapa yang memiliki pesan bahwa santri itu tugasnya memperbanyak mengaji jangan banyak aksi.
Apakah benar pernyataan seperti itu ? Lantas bagaimana seandainya santri tersebut diajak aksi atas perintah dan restu Kyai ? Apakah santri harus ikut perintah Kyai atau membangkang kepada Kyai? Jika santri turun ke jalan dan melakukan aksi apakah status mereka tetap santri atau bukan santri ? Apakah santri yang turun aksi 212 mereka tidak ngaji ?
Jika boleh berpendapat, justru turun aksinya Santri Ciamis bela-bela jalan kaki ke Jakarta karena santri Ciamis itu suka ngaji dan mengamalkan apa yang didapat dari mengaji diantaranya membela agama bukan menyinyir perjuangan ulama.
Bahkan, dengan turun aksinya santri Ciamis seharusnya jika kita memang benar seorang santri harusnya berterima kasih kepada mereka, karena santri Ciamis telah mengangkat harkat martabat kaum santri dengan membuktikan bahwa ruh jihad kaum santri masih ada.
Berkat aksi santri Ciamis justru umat semakin mengenal dengan yang namanya santri, bahwa santri bukanlah kaum yang dipandang sebelah mata. Tetapi, santri juga bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam ikut serta memperjuangkan agama. Bahkan dalam sejarahnya justru Ulama dan Santrilah yang menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan negeri ini dari segala bentuk penjajahan.
Memang benar tugas santri adalah mengaji, namun ketika ada perintah dari Kyai untuk membela agama maka santri tidak bisa menolak untuk menyambut seruan itu. Dalam hal ini, Aksi Bela Islam 212 adalah salah satu bentuk untuk membela agama. Pertanyaannya, apakah sikap santri Ciamis salah ketika turun aksi ? lantas menuduh kepada santri yang turun aksi 212 untuk ngaji lagi ?
Berbagai tuduhan dan nyinyiran kepada santri Ciamis sebelum keberangkatan Aksi Bela Islam 212 ternyata dijawab telak oleh santri Ciamis beberapa bulan kemudian. Mengapa demikian, karena Kafilah Kabupaten Ciamis berhasil meraih Juara Umum pada ajang Musabaqoh Qiroatil Kutub (MQK) VI Tingkat Provinsi Jawa Barat, yang berlangsung di Pondok Pesantren Al Ittihad Kabupaten Cianjur 22–26 Juli 2017. Sedangkan di posisi kedua ditempati Kabupaten Tasikmalaya dan ketiga menjadi juara bersama antara Kabupaten Bandung dan Kota Tasikmalaya (galamedianews.com, 27/07/2017).
Inilah sebagai bentuk aktualisasi ngjai santri Ciamis dengan aksi dan prestasi. Justru turun aksinya Santri Ciamis bela-bela jalan kaki ke Jakarta karena santri Ciamis itu suka ngaji dan mengamalkan apa yang didapat dari mengaji diantaranya membela agama bukan menyinyir perjuangan para ulama. Karena, mengaji bukanlah untuk memenuhi kepuasan intelektual semata, tetapi dari mengaji itu bagaimana bisa berbuah amal dalam rangka memperjuangkan agama.
Dari peristiwa ini, menjadi pelajaran bagi kita semua bagi orang-orang yang suka nyinyir kepada perjuangan yang dilakukan oleh Ulama dan santri untuk melakukan introfeksi diri. Daripada nyinyir terhadap perjuangan Ulama dan santri, lebih baik kita bertanya kepada diri sendiri, apa yang sudah kita lakukan untuk perjuangan agama ?
Berbicara tentang santri, maka kita akan menemukan bahwa ciri khas santri ketika bertemu dengan orang lain adalah lebih mengedepankan adab daripada hafalannya, santri akan lebih mengedepankan sikap tawadhu daripada kesombongannya. Meskipun ia sudah mengaji kitab I’anatut Thalibin, namun ketika ditanya belajar fiqhnya sudah sampai mana, maka ia akan menjawab masih belajar kitab Safinatun an-Naja. Ketika ditanya sudah sampai mana ilmu bahasa arabnya, maka santri yang benar-benar santri akan menjawab masih belajar Jurumiyyah, padahal dalam kenyataannya ia sudah hafal kitab Al-Fiyah.
Jika ditanya sudah sampai mana ilmu akhlaknya ? maka seorang yang menjiwai jiwa santri akan menjawab masih belajar kitab Akhlak Lil Banin, meskipun dalam kenyataannya ia sudah belajar kitab Ihya ‘Ulumuddin. Maka dalam dunia santri, tidak akan ditemukan antara santri yang satu dengan santri yang lain merasa paling santri dan menuduh yang lain untuk ngaji lagi dengan alasan karena perbedaan dalam menyikapi pendapat dan sesuatu yang terjadi.
Santri Ciamis hakikatnya telah melanjutkan perjuangan santri-santri terdahulu, bagaimana Ulama dan santri dalam sejarahnya selalu menjadi garda terdepan dalam membela negeri ini dari segala bentuk penjajahan. Sejarah perjuangan Ulama dan santri kembali terulang dalam membangkitkan semangat umat dalam berjuang.
Terbukti, ruhul jihad yang dilakukan santri Ciamis dalam aksi jalan kaki Ciamis ke Jakarta mampu membangkitkan semangat umat dalam aksi bela Islam 212. Tentunya ini membuktikan bahwa ruhul jihad kaum santri masih ada, dan umat menantikan kembali kaum santri dalam menorehkan sejarahnya untuk membela Islam.
Ulama dan santri dalam sejarahnya senantiasa mengemban risalah Allah sekaligus membumikan dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Mereka senantiasa berusaha membebaskan umat manusia dari kesewenang-wenangan politik, kezaliman sosial, kerusakan moral dan keburukan hawa nafsu manusia. Mereka senantiasa mengajak umat manusia untuk menyembah hanya kepada Allah. Dari ketidakadilan kepada keadilan Islam. Dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat. [syahid/voa-islam.com]
*) Ketua Badan Eksekutif Koordinator Daerah Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BE Korda BKLDK) Kota Bandung