Oleh: Ana Harisatul Islam
Baru saja kita berpisah dengan tahun 2017. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di setiap penghujung tahun, dunia seakan wajib merayakannya. Misalnya saja di Australia, yakni satu dari tiga negara pertama yang merayakan tahun baru 2018 paling mengesankan sedunia. Pemerintah Sydney setidaknya telah menggelontorkan uang hingga 7 miliar dolar Australia (sekira Rp73 miliar) untuk menggelar pesta kembang api, dengan melibatkan 14 ton kembang api.
Momen pergantian tahun Masehi selalu menjadi momen spesial bagi dunia, dengan berbagai perayaan hingga berlarut di penghujung malam. Euforia tahun baru dunia inipun tak terkecuali juga dilakukan oleh Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Ya, Indonesia mengadopsi kalender Gregorian, sama seperti mayoritas negara-negara di dunia, sehingga 1 Januari juga merupakan tahun baru bagi Indonesia.
Bolehlah kita menengok bagaimana sejarah berbicara tentang momen yang dianggap spesial ini. Penentuan 1 Januari sebagai tahun baru, ternyata secara historis, awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), tahun 1582 diresmikan ulang pemimpin tertinggi Katolik, Paus Gregorius XIII, yang kemudian diadopsi hampir seluruh negara Eropa Barat Kristen sebelum mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (wikipedia).
Perayaan tahun baru Masehi di Barat dirayakan secara beragam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja, maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga, bahkan tak jarang orang-orang ditemukan di pinggir-pinggir jalan dalam kondisi tak sadarkan diri karena terlalu banyak minum.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, perayaan tahun baru Masehi secara khusus memang sangat erat dengan hari raya kaum kafir, yakni hari paling spesial bagi umat Kristiani. Maka, sebagai seorang muslim yang memiliki identitas kemusliman, harusnya kita tidak latah dengan ikut serta merayakannya, apalagi hingga memasukkannya sebagai agenda rutin tahunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, setiap tahunnya Indonesia mengimpor lampu natal dan kembang api untuk merayakan Natal dan tahun baru. Itu artinya, Indonesia pun menjadikan perayaan tahun baru Masehi sebagai agenda spesial.
...sebagai seorang muslim yang memiliki identitas kemusliman, harusnya kita tidak latah dengan ikut serta merayakannya, apalagi hingga memasukkannya sebagai agenda rutin tahunan...
Miris memang, pantaslah jika disebut latah yang berulang. Negara dengan mayoritas penduduk muslim, yang dituntut mempertahankan identitas kemuslimannya baik ketika berfikir dan berbuat, ternyata rela melepaskan identitasnya, dengan menyulap menjadi budaya non muslim dalam satu malam yang terus berulang di setiap tahunnya.
Bukankah semua orang jelas mengetahui, bahwa perayaan tahun baru Masehi merupakan tradisi yang berasal dari umat Kristiani?. Sebagai kaum muslim, sebagaimana penjelasan para ulama, dilarang ikut serta memeriahkannya. Dalil keharamannya ada 2 (dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr fi a’yâdihim). (M. Shiddiq Al Jawi, 2013).
Selain diharamkan secara syar’I, jika kita lihat, perayaan tahun baru Masehi juga merupakan propaganda budaya liberal barat. Budaya serba bebas yang diusung barat dengan menyerahkan segala aturan kepada hawa nafsu manusia, meniadakan agama ikut campur dalam mengatur kehidupan, sangat jelas terlihat pada perayaan tahun baru tersebut.
Sudah jamak diketahui, perayaan tahun baru Masehi adalah perayaan yang menghabiskan biaya sangat besar sampai miliaran rupiah. Hal itu demi menciptakan berbagai sarana hiburan menjelang pesta kembang api. Tak hanya itu, pesta seks, mabuk-mabukan, dan kegiatan amoral lainnya pun senantiasa mewarnai tahun baru Masehi tersebut.
Ini merupakan bukti nyata bahwa perayaan tahun baru Masehi, juga merupakan sebuah propaganda liberalisasi budaya. Budaya serba bebas yang tidak memperhatikan halal dan haram tersebut, terus menerus disosialisasikan dengan berbagai cara, salah satunya media. Umat muslim pun latah dengan budaya liberal tersebut.
Akhirnya, ketika latah terhadap budaya di luar Islam tersebut terus berulang, kepribadian Islamnya pun mulai tergerus, akidahnya semakin dangkal, pemahamannya terhadap aturan Islam semakin hilang, sehingga banyak hukum syara’ yang dia lalaikan.
Maka, sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim menggenggam erat identitas kemusliman kita, meninggalkan kelatahan-kelatahan terhadap budaya di luar Islam. Jangan biarkan latah terus berulang. Karena sejatinya, latah hanya menjangkiti orang-orang yang tidak memiliki identitas pegangan, bukan kepada umat muslim yang memiliki identitas kemusliman. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google