Oleh: Shafayasmin Salsabila*
Ada udang di balik batu. Nampaknya pribahasa klasik ini menjadi kesepakatan umum dalam masyarakat zaman now. Pasalnya paham materi terlanjur menjangkiti cara pandang sebagian besar manusia yang hidup di era modern ini.
Bahasa kerennya 'No free lunch'. Sebuah kebaikan yang dimotivasi oleh hasrat keduniawian. Ada tujuan meraih manfaat yang lebih besar di balik sikap 'mulia' seseorang.
Contoh terdekat, begitu sangat nyata. Pada musim menjelang kampanye, akan bermunculan manusia-manusia berwajah malaikat. Senyum yang mengembang serta janji-janji manis digelontorkan. Masyarakat kelas bawah pun menjadi target untuk mendapatkan simpati demi mendongkrak tingkat elektabilitas sebagai jalan meraih kemenangan dalam pemilihan.
Mereka dirangkul dan diajak berdialog dari hati ke hati. Dibangunkan mimpi tentang kesejahteraan yang selama ini mereka cari. Harapan pun dilambungkan amat tinggi dengan menawarkan solusi yang diyakini akan dapat mengurai benang kusut problematika wong cilik.
Ini bukan sekali dua kali. Legit diawal, getir di akhir. Habis manis, sepah dibuang. Tak jarang setelah menang dan menjabat, rakyat dihempaskan sembari diberi pukulan bertubi-tubi. Kebijakan yang memanjakan pemilik modal, serta menzalimi rakyat beruntun disahkan. Rakyat suka atau tidak, tak jadi soal. Seolah merasa dibuang setelah manfaatnya hilang.
Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam wajah dunia Islam saat jayanya. Pada masa kekhilafahan, jabatan pemimpin justru dianggap sebagai musibah. Seperti yang dialami oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana saat beliau di bai'at maka keluarlah kalimat istirja' yakni 'Innalillahi wainna ilayhi rojiuun'.
...Pada musim menjelang kampanye, akan bermunculan manusia-manusia berwajah malaikat. Senyum yang mengembang serta janji-janji manis digelontorkan...
Bagaimana tidak dikatakan musibah, jika keberadaannya sebagai pemimpin umat, sangat rentan terjerumus dalam kesalahan. Ada rakyat yang jumlahnya banyak, yang butuh untuk diriayah (diurusi, red).
Rosul Saw bersabda : 'Setiap pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu.' (HR. Muslim)
Hingga dua tahun masa kepemimpinannya, masyarakat mencapai taraf kesejahteraan. Sampai tidak ada satu pun dari warga negara yang mau menerima zakat. Begitulah buah manis kepemimpinan dalam sistem islam, dimana khalifah hanya memimpin dengan aturan syariat dan bersungguh-sungguh mengurusi kepentingan rakyat karena sadar akan amanah besar yang diembannya. Amanah tersebut tidak hanya akan dipertangungjawabkan di dunia namun kelak akan disidang di hadapan Allah Ta'ala.
Sebenarnya, apa yang membedakan fenomena kepemimpinan di masa lalu dan masa kini adalah terkait sistem yang diberlakukan.
Demokrasi adalah sistem yang ongkosnya mahal. Banyak mahar yang harus dibayarkan. Hingga wajar bagi yang terpilih untuk menjadikannya sebagai ajang balik modal bahkan meraup banyak keuntungan. Rakyat? Aah belakangan.
Mengapa sistem demokrasi, yang -notebene- buatan akal manusia yang serba kurang dan terbatas ini, masih saja dipertahankan? Sedang kitapun sama-sama tau, ada sebuah sistem yang lebih menjanjikan? Wajar jika rakyat menginginkan perubahan, tidak mau selamanya berputar dalam lingkaran setan.
Dan bagi siapapun yang hendak menjadikan dirinya sebagai pemimpin, alangkah baiknya untuk merenungkan hadits berikut terlebih dahulu.
Abu said (abdurrahman) bin Samurah r.a. berkata,
Rasulullah Saw telah bersabda kepada saya: 'Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika jabatan itu didapat karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (HR. Bukhari muslim)
Hadits diatas mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita mencari dan mengejar amanah dan jabatan itu, maka niscaya Allah tidak akan membantu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanah itu, maka justru Allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu sendiri.
Jabatan tak usah dikejar, pencitraan pun tidak diperlukan. Cukup dengan iman serta ketakwaan, kedudukan mulia adalah keniscayaan. Wallahu a'lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah anggota Revowriter Indramayu
Ilustrasi: Google