Oleh: Rismayanti Nurjannah
"Banned". Begitulah Facebook secara sepihak menghapus konten-konten yang menurutnya terlarang untuk ditampilkan. Bahkan ada yang sampai ditutup akunnya hingga batas waktu tertentu. Ah, herannya kok hanya postingan-postingan tertentu saja yang mereka hapus, misal postingan tentang kaum LGBT. Akun dakwah pun tak luput jadi targetan mereka. Alasannya, mengandung unsur hate speech, katanya.
Sementara, di sisi lain postingan-postingan yang sangat gamblang menistakan agama tertentu, sebutlah Islam malah dibiarkan bebas berkeliaran di timeline. Wajar saja jika menuai kecaman dari kaum muslim. Karena Facebook sebagai media sosial harusnya "netral", bersikap fair kepada semua golongan. Pasalnya pengguna Facebook pun bukan kalangan tertentu saja.
“Banyak akun-akun Facebook bernuansa Islami diblokir tanpa alasan. Contoh, akun FPI bedah rumah hanya memuat isu bedah rumah dan akun pembela Rohingnya, tapi dihapus FB. Dibilangnya konten Anda mengandung tindakan kriminal,” kata Ali, koordinator unjuk rasa di depan kantor perwakilan Facebook (ragamlampung.com, 12/01/2018).
Sikap Facebook yang demikian jelas menunjukkan kepada siapa mereka berpihak dan ide apa yang hendak mereka usung. Otoritas yang dimiliki Facebook soal pemblokiran jelas berpengaruh besar dalam penyebaran ide-ide rusak di tengah-tengah masyarakat. Media sosial memang media yang paling efektif untuk menyebarkan pemahaman.
Paradoks Demokrasi
Katanya negara ini menganut kebebasan berpendapat. Bukankah kebebasan berpendapat itu sendiri tertuang dalam UU? Jika benar, Facebook rupanya telah mengkhianati UU yang berlaku. Ah sudahlah, kalau bahas soal khianat-mengkhianati tampaknya sudah jadi rahasia umum negeri ini. Tak peduli UU mana yang dilanggar, asal hati senang kantong tenang, tabrak saja yang penting sang tuan wuenak tenan. Begitulah kira-kira parodi di negeri ini.
Entahlah berapa banyak "ide demokrasi" yang dilanggar di negeri ini. Rasanya demokrasi hanya sekedar mantra guyonan saja yang dipakai kala dibutuhkan. Pun dengan para pengusungnya. Kita bisa melihat bagaimana kemunafikan mereka dalam mengejawantahkan demokrasi.
Lihat saja ketika Hamas menang Pemilu Palestina, AS pun menolak demokrasi. Sebab, hasilnya tak sesuai dengan kehendak AS. Pun dengan PBB, tak ada contoh nyata demokrasi di tubuhnya. Jika memang ada, kenapa sejak awal PBB berdiri, Barat memaksakan sistem "aristokrasi" dimana kewenangan hanya milik "The Big Five" (AS, Rusia, Perancis, Inggris, Cina)?
Demokrasi hipokrit? Ya. Karena pada faktanya memang demikian. Penuh dengan dualisme, berstandar ganda. Entah standar mana yang mereka gunakan. Selama ini kita hanya melihat wajah demokrasi yang sarat dengan kejanggalan. Lantas, wajah demokrasi yang sesungguhnya itu seperti apa? Apakah memang yang selama ini mereka tampilkan. Jika memang begitu faktanya, apakah masih pantas demokrasi dipertahankan sebagai sistem politik ketatanegaraan?
Tak perlu kita latah dengan peradaban Barat. Seolah-olah kita terkena sihir Huntington, kemudian dengan lantangnya kita meneriakkan "Islam sesuai dengan demokrasi" dan demokrasi seolah menjadi berkah yang harus ditakdiskan. Terlalu berlebihan, bahkan mungkin tidak perlu demikian. Kita justru perlu merenungi apa yang diungkapkan Aristoteles, yang menyebut bahwasanya demokrasi itu pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi.
Wallahu a'lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah anggota komunitas Revowriter