Oleh : Retno Dwi Prastiwi*
Pertama kali membahas tentang muallaf, dadakan yang nyangkut di kepala adalah sosok ustadz mata sipit Felix Siauw. Sosok ini unik. Dia bukan terlahir dari rahim seorang muslimah. Bahkan ia terlahir di tengah-tengah keluarga yang tidak memiliki keimanan kepada Allah SWT sedikit pun.
Apa jadinya kalau kita di posisi ustadz Felix dulu? Ia memantapkan diri untuk bersyahadat saat tak ada dukungan dari keluarganya. Sebaliknya, cercaan yang sering ia terima. Dukungan paling dekat itu datangnya dari mahasiswa muslim di kampusnya saja. Selebihnya tidak.
Menjadi muallaf itu memang greget-greget sedap. Karena sejak sebelum ia bersyahadat, sudah terjadi benturan pemikiran. Lalu dengannya, seseorang akan berpindah untuk menetap dari akidah yang lama ke akidah yang baru. Disamping itu, mereka juga harus memahami betul bahwa mengambil akidah Islam tidak semata-mata dengan melisankan syahadatnya saja. Tapi setelahnya akan ada konsekwensi syahadat.
Kalau muallaf saja punya aktivitas berpikir untuk memeluk dienul haq Islam, maka kita yang mukallaf sudah semestinya punya kesadaran bahwa standar hidup itu dikembalikan kepada Islam sepenuhnya. Jangan mau kalah dong dengan ketaatan seorang muallaf. Sebab, dengan bersyahadatnya seseorang, maka dengan itu pula tak hanya lisannya saja, bahkan hati, sikap hingga matinya pun akan berkiblat kepada Islam.
Lihatlah ustadz Felix Siauw kini. Aktivitasnya tak jauh-jauh dari Islam, keislaman dan mengislamkan pemikiran kaum muslimin itu sendiri. Lisannya terjaga, bisnisnya melejit sebab memang berkah Allah-lah yang ia cari, pemikirannya oun cemerlang, masyaa Allah. Ini masih ustadz zaman now.
Bagaimana lagi dengan para ulama yang dulu pernah hidup didalam naungan negara bersistemkan Islam ? Imam Syafi’i misalnya. Usia 7 tahun saja dia sudah hapal Alqur’an. Ini keren atau keren banget? Beda dengan kids zaman now yang di usia belia justru sibuk menghapal nama anggota K-Pop bergengsi abad ini. Duh, seperti remaja kehilangan identitas saja.
Identitas Islam : Dibidik!
Namun beda dengan dewasa ini. Identitas seorang muslim justru dijadikan sebagai standar intoleransi. Masih ingat dengan salah satu toko kue coklat besar di Makassar yang akhir tahun lalu menolak memberikan ucapan selamat Natal ? Sebenarnya fenomena ini tidak termasuk yang masih ‘hot’, namun ada sisi menarik yang bisa dikupas dari sini.
Bagi seorang muslim, tidak perlu menunggu menjadi juragan kue untuk menunjukkan identitas keislamannya. Siapapun dia, saat ia bersyahadat, maka bentuk identitasnya pun pasti sama seperti muslim lainnya. Hal sesederhana identitas ini ternyata penting. Lihat saja efek yang diberikan tersebab fenomena toko kue Makassar ini.
Mulai dari seorang sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Dr. Robertus Robet yang mengatakan bahwa hal ini merupakan bentuk politik identitas ekstrim yang berujung pada segregasi dan enklavisasi sosial. Hingga cibiran-cibiran pedas dari dunia maya turut serta hadir memenuhi ‘undangan’ panggung rasisme katanya.
Seperti yang dikutip dari cuitan salah seorang netizen, ia mengatakan bahwa, “Saya menghargai komitmen anda tidak menyediakan ucapan Natal karena bertentangan dgn keyakinan anda. Andapun hrs menghargai bahwa kami tidak akan mengkonsumsi produk anda. Karena buat kami haram mengkonsumsi produk rasis.” (voaindonesia.com).
Padahal, secara intelektualitas, tidak ada kaitan yang pasti antara sikap toko kue tersebut dengan kondisi perpolitikan di negeri ini. Pengaitan isu ini justru membawa polemik baru. Faktanya, tidak hanya toko kue yang menolak memberikan ucapan selamat Natal. Tapi selama ia seorang yang telah bersyahadat, maka memaknai toleransi dengan tidak mengganggu aktivitas agama lain saja itu sudah cukup. Tidak perlu memberikan ucapan selamat atas perayaan agama lain.
Nah, mari kita flash back dan cerna kembali. Mulai dari ide menolak pemimpin kafir, solat berjama’ah di Monas hingga yang tidak mengucapkan selamat Natal pun akhirnya dijadikan modal untuk meraup opini umum bahwa ide-ide ini adalah bagian dari tindakan intoleransi yang anti Pancasila atau anti NKRI.
Jika dipersempit, justru identitas muslim hari ini dijadikan standar intoleransi. Tidak hanya identitas para masyarakat akar rumputnya saja, tapi para ulama pun tidak terlepas dari pelabelan ulama anti Pancasila yang berujung pada kriminalisasi ulama.
Alhasil tercetuslah sebuah kesimpulan singkat, bahwa perpecahan di bumi pertiwi ini adalah perpecahan yang bersumber dari ide-ide ‘intoleran’. Sehingga, solusi satu-satunya adalah menghapuskan ide-ide tersebut dengan terus memberangusnya. Jika ide-ide tersebut lenyap, maka hilanglah perpecahan.
Hal seperti ini sangatlah keliru. Sebab, nyatanya pendefenisian intoleran hanya bergantung pada sebelah pihak saja. Jika ini direalisasikan justru akan menghilangkan identitas dari muslim tersebut. Sebab yang dibidik adalah kekhasan yang muncul sebagai keislamannya.
Jika tidak ada lagi identitas yang melekat kepadanya, maka apa yang bisa menjadi pembeda antara muslim dan kafir ? Fitrahnya seorang muslim, identitas yang muncul dari syahadat ini adalah kekhasan yang sesuai dengan fitrahnya manusia. Jika diberangus, maka ia akan kehilangan sebagian dari konsekuensi syahadatnya. Dan ini justru hanya akan memberikan rasa gelisah.
Islam Menjaga Identitas
Islam adalah sekumpulan aturan yang darinyalah terpancar kesejahteraan untuk seluruh isi bumi. Tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah saja, tapi Islam turut serta mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Begitu kompleksnyalah Allah memberikan aturan hidup sebagai kompas menuju kampung akhirat. Maka tak heran jika Islam mampu memberikan identitas bagi sesiapa yang mengambilnya. Menjadikan orang yang mengembannya begitu mulia, tak hanya dihadapan manusia tapi yang terpenting adalah dihadapan Ilahi.
Identitas seorang muslim tidak akan terjaga kecuali dengan adanya naungan negara. Sebagaimana Imam Al Ghazali pun mengibaratkan bahwa agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama sebagai asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Yang dengan inilah kemuliaan itu bisa didapat.
Maka, sangat wajar jika hari ini diskriminasi identitas justru dialami oleh kaum muslimin bahkan saat ia menjadi mayoritas di negerinya sendiri. Sebab, negara hari ini memang tidak mengambil Islam sebagai asas untuk mengatur urusan ummat.
Berbeda jauh dengan penjagaan identitas yang dilakukan oleh seorang Khalifah di masa Kekhilafahan Abbasiyah. Disaat seorang budak muslimah dari Bani Hasyim di Amurriyah meminta perlindungan dari sang khalifah. Saat sedang berada di pasar, seorang Romawi jahil mengaitkan ujung pakaiannya. Sehingga saat wanita itu berdiri dan berjalan, tersingkaplah auratnya. Spontan, muslimah itupun teriak dengan teriakan yang fenomenal hingga kini, “Waa Mu’thasim..!”. Dimana Al Mu’thasim katanya. Hingga akhirnya kabar ini terdengar hingga ke khalifah Al Mu’thasim Billah yang berada di Baghdad.
Tidak tanggung-tanggung, khalifah mengirimkan pasukan yang diriwayatkan panjangnya luar biasa. Saat barisan terdepan pasukan itu telah berada di kota Amuriyah, Romawi, barisan paling belakangnya masih berada di perbatasan kota Baghdad. Secara geografis, jarak antara kedua kota ini adalah 1093 km. Jadi kalau kamu jalan kaki dari Baghdad, butuh lebih kurang 222 jam untuk bisa tiba di Amurriyah.
Begitu mulianya identitas seorang muslimah di mata negara. Dan begitu pentingnya peran negara dalam menjaga identitas manusia. Hanya negara yang menerapkan Islam-lah yang paham betul apa saja konsekuensi atas kepemimpimannya. Sehingga ia mampu menjadi perisai bagi warga negaranya. Mulai dari perisai atas aqidahnya hingga perisai atas identitasnya.
Menggunakan sistem islam sebagai asas kehidupan adalah solusi tuntas dari penjagaan atas identitas manusia. Bahkan tak hanya kaum muslimin, tapi Yahudi juga Nasrani turut hidup berdampingan dibawah naungan negara adidaya Daulah Khilafah Islamiyah sebagaimana Al-Mu’thasim Billah menaungi seluruh warganya secara total. Wallahu’alam bisshowab. (rf/voa-islam.com)
*Pemerhati Remaja, Founder Aisyah Corner