View Full Version
Rabu, 07 Feb 2018

Yang Asing dan Terasing

Oleh: Nur Aulia Risqi, S. E.

Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145).

Rasulullah beratus tahun lalu telah mengingatkan kita lewat hadist diatas betapa dulu Islam datang sebagai sesuatu yang sama sekali asing dan kelak di akhir zaman akan menjadi sesuatu yang asing sebagaimana awal kemunculannya. Ia tidak dikenal dengan baik kecuali oleh sedikit orang dan tidak diterapkan sesuai dengan yang disyariatkan kecuali sedikit dari manusia dan mereka asing.

Lalu siapakah dan apakah sesuatu yang asing ini? Yakni orang-orang yang menegakkan syariat Islam ketika yang lain meruntuhkannya.

Tentu kita belum lupa bagaimana ketika awal Islam hadir di Mekah, ketika itu berjalan sebuah kehidupan yang penuh kejahiliahan: orang-orang menyembah berhala, biasa mabuk-mabukkan, perzinaan dimana-mana, perjudian marak, dan riba merajalela, anak-anak perempuan dibunuh. Lalu kemudian Islam hadir menghentikan semua kejahiliahan itu dan mengubah keadaan. Perempuan dimuliakan, zina dan khamr dilarang, berhala dihancurkan dan pada akhirnya Islam berhasil tersebar dalam berbagai wilayah dari Andalusia hingga Nusantara.

Kini kita kembali pada keterasingan syariat Islam, dan terasingnya kaum muslimin yang teguh menerapkannya. Bagaimana masyarakat asing dengan jilbab, khimar, celana cingkrang, jenggot panjang dan juga kajian. Belum lagi bagaimana ummat begitu asing dengan beragam syariat. Mulai dari hukuman rajam yang dibilang melanggar hak asasi, hingga khilafah yang dikriminalisasi.

Secara perlahan praktek berislam, syariat Islam, terkikis dan hilang dari kehidupan, kecuali separuh darinya, yaitu ibadah. Separuh yang lain, yakni muamalah, tunduk dan putuh pada sistem asing tergantikan sistem riba, keblinger dengan demokrasi yang diunggulkan. Bahkan kini sulit membedakan kehidupan Muslim dan non-Muslim: uangnya, perbankannya, cara berdagangnya, mall dan supermarketnya, cara berinvestasinya, konstitusinya, cara berpakaiannya, makanannya bahkan aspirasi hidup dan cara berpikirnya.

Serupa dengan zaman Nabi dulu ketika semua menengak khamr, menyeru keharaman khamr adalah asing. Ketika di sekolah-sekolah diajarkan untuk menabung di bank dan berutang-piutang dengannya, menyatakan bahwa bank adalah biang riba yang haram, adalah asing. Ketika semakin banyak orang merasa nyaman belanja dengan kartu kredit di supermakket, mengatakan cara itu bertentangan dengan syariat, adalah asing.

Ketika kita mendakwahkan jilbab syar’i ditengah gempuran mode barat yang bajunya terbuka sana sini adalah asing. Ketika kita serukan memilih pemimpin kafir saat asing dan aseng mengkampanyekan dan memfigurkannya sebagai seseorang yang baik adalah asing. Itulah era kita kini. Ketika kita menyeru kebaikan tapi nampak asing bagi sebagian besar orang.

Tetapi, berbahagialah orang-orang asing ini, kata Nabi SAW. Sebab itu pertanda kita berada dalam jalan yang benar: menegakkan syariat, ketika yang lain merusakkannya. Sudah tentu, sesuatu yang telah menjadi asing, meski sebelumnya merupakan kelaziman, harus kembali diserukan kepada ummat. Cara terbaik untuk itu, tentu saja lewat dakwah. Kini saatnya kita berperan. Menyampaikan kebenaran.  Bukankah kita telah diperintahkan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar?

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf fan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Al -Imran : 104)

Waktu kita sungguh sangat terbatas. Maka mari menjadi asing. dan berbahagialah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version