View Full Version
Rabu, 14 Feb 2018

Umar Bin Khattab, Pemimpin Tanpa Pencitraan

Oleh: Indah Shofiatin (Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unair Surabaya)

Akhir-akhir ini sandal jepit dan kaos oblong sedang hits. Ramai sekali publik membahas kedua simple fashion item itu, baik di ruang media maupun di ruang nyata. Tak lain karena orang pertama di negeri ini sering diperbincangkan kebersahajaannya.

Pasalnya, sandal jepit dan kaos oblonglah yang menjadi ikon pemimpin merakyat dan bersahaja terbaru. Ya, Bapak Presiden terhormat kita dielu-elukan namun juga dipertanyakan karena tampak mengenakan keduanya atau salah satunya di saat memancing, meresmikan acara penting, naik kereta api, dan momen-momen lain yang ditangkap kamera bak paparazzi. Bila gaya berpakaian tertangkap kamera yang demikian memang sudah biasa sebelumnya, tentu tak jadi bahan pembahasan.

Sayangnya citra kesederhanaan model baru ini baru muncul menjelang tahun panas politik, 2019. Inilah yang menarik, korelasi pemimpin dan pencitraan untuk meraih hati rakyat (baca: agar terpilih kembali).

Cobalah tengok dan bandingkan pemimpin zaman now dengan sepenggal biografi Umar Bin Khattab (rodhiallahu ‘anhu), salah satu Khalifah terbaik kaum muslimin, berikut ini:

Suatu malam saat keliling kota untuk blusukan rahasia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anh mendengar anak-anak menangis. Setelah beliau temukan sumbernya, ternyata tangisan itu dari tempat seorang wanita yang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan kala paceklik melanda hijaz.

Mengetahui kejadian tersebut, seketika beliau pergi menuju gudang makanan di kota, lalu memanggul sendiri sekarung gandum dengan tergesa menuju rumah keluarga yang kesulitan itu. Bahkan saat seorang pegawainya menawarkan untuk memanggulkan gandum itu, sang Khalifah menolak sambil bertanya, “Beranikah kamu menggantikan memanggul tanggung jawabku di akhirat kelak?”.

Lalu beliau mendatangi rumah itu, memasakkan gandum itu untuk mereka, makan malam bersama mereka, bahkan menghibur sang anak hingga tertidur. Umar bin Khattab tidak menceritakan tentang siapa dirinya kepada keluarga itu. Tak satupun anggota keluarga itu tahu bahwa yang sedang membantu mereka adalah seorang penguasa tertinggi kaum muslimin, Khalifah Umar Bin Khattab ra. Karena Umar yang mengatur negara dengan Islam tidak menghendaki pujian manusia, melainkan pujian dan keridhoan Allah saat dirinya berlaku adil kepada semua rakyatnya.

Di dalam penggalan shirah beliau yang lain, bahkan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum merasa kesulitan untuk mengusulkan kepada Khalifah Umar bin Khattab agar menerima kenaikan tunjangan hidup beliau sebagai Amirul Mukminin, kala harga-harga di pasar mulai merangkak naik. Begitu sulitnya menyampaikan usulan yang menyangkut kesejahteraan keluarga Umar ini, Utsman radhiyallahu ‘anh sampai mengusulkan untuk menyampaikan usulan ini lewat putri beliau, Hafshah binti Umar karena mereka takut beliau murka atas usulan mereka. Benar saja, saat Hafshah radhiyallahu ‘anha menyampaikan usulan itu kepadanya, beliau murka.

“Siapa yang mengajarimu untuk menanyakan usulan ini?”,

“Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu”, jawab Hafshah.

“Demi Allah, andaikata aku tahu siapa yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu!”, dengan tegas Umar menolak.

Inilah gambaran pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya. Pemimpin yang sederhana karena takut tidak bisa menyamai ketinggian derajat kedua sahabatnya di mata Allah, Rasulullah dan Abu Bakar. Pemimpin yang memilih hidup sederhana karena ingin mengikuti kesederhanaan hidup dua orang sahabat yang paling dicintainya karena Allah. Pemimpin yang takut akan siksaan Allah bila tidak memimpin dengan adil, bila tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya hatta tak mempedulikan sejahteranya sendiri. Pemimpin yang menangis saat rakyatnya menangis, yang merasa paling bertanggung jawab saat rakyatnya masih ada yang menderita. Inilah pemimpin sederhana yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang tampil bersahaja demi pencitraan.

Rakyat negeri ini memang selayaknya sudah hapal dengan berbagai wujud politik pencitraan. Berbagai gaya pencitraan yang membuat penilaian rakyat keblinger sudah pernah dirasa dan diderita. Sudah bukan zamannya lagi kita tertipu dengan politik tipu-tipu ala pencitraan sinetron atau iklan. Ini zaman menjadi muslim yang cerdas, yang menimbang bukan dengan kulit tapi dengan kualitas. Siapapun orangnya, bila mampu memimpin dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah layaknya Khulafaur Rasyidin, dialah pemimpin umat.

Dari manapun golongannya, bila kesederhanaannya muncul karena takut kepada Allah dan mengkhawatirkan nasib rakyat hingga sulit tidur dan sulit makan, dialah pemimpin yang dicinta. Bagaimanapun fisiknya, terlihat perlente, priyayi, atau ndeso, asalkan kebijakannya yang ilahiyah membawa kebaikan bagi seluruh rakyat bahkan seluruh alam, inilah pemimpin yang ditunggu dan digugu, yang ditaati dan di hati tanpa perlu sibuk pencitraan sana-sini.

Sayangnya, pemimpin sekualitas ini hanya akan terlahir dari jiwa yang tercelup iman, yang terbalut dengan takwa, dan terdidik untuk menjalankan seluruh syariat Allah, tanpa pilih dan tanpa terkecuali. Seraya kuat tekad dan usahanya untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dalam kepemimpinannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Inilah pemimpin sekaliber Umar Bin Khattab. Tidak akan terlahir pemimpin yang kita rindu ini, bila politik negeri kita masih digentayangi citra manusia dan kepentingan golongan kaya dan para penguasa. Para Khalifah, hanya akan muncul dalam era Khilafah. Saat umat menyadarinya, di titik itulah Umar bin Khattab abad baru akan muncul. Di negeri kita tercinta, dengan segala ketulusan dan ketaatannya. Insya Allah. [syahid/voa-islam.com]

 


latestnews

View Full Version