View Full Version
Ahad, 04 Mar 2018

Dilan dan Ghouta, Saat Penguasa Sibuk dengan Roman Picisan

Oleh : Andi Haerani, S.Pd*

Sedihmu.. Sedihku juga
Lukamu.. Lukaku juga
Perihmu.. Perihku juga
Karena kita bersaudara 
Di manapun engkau berada 

Dunia Islam meradang.
Tapi penguasa hanya mengutuk dalam ucapan.
Ya Allah, Ghoutaku sayang Ghoutaku malang. 

Negeri paling subur kembali jadi korban rezim Bassar Assad laknatullah.

Muslim Ghouta tak hanya terusik tapi hendak terusir.

Di bumi Ghouta, bukan air hujan yang mengundang banjir.
Melainkan darah para syuhada yang terus mengalir.

Bukan gelegar petir dan guntur yang mengundang ketakutan.
Tapi dentuman bom dari pesawat tempur runtuhkan setiap bangunan.
Hingga warga sipil  tewas seketika.

Anak-anak tak berdosa pun jadi tumbal kekejaman mereka. Ya Allah laknatlah Bassar Assad dan para pendukungnya.

520 orang tewas. Mereka adalah saudara kami. Ratusan nyawa  itu telah terbunuh. Selebihnya, ribuan orang memar, lebam, cacat, buntung, kepala pecah,  sesak nafas hingga tersengal-sengal dan luka-luka lain yang tak terhitung. Mereka terus menjerit inginkan pertolongan.

Kondisi perih semakin mengiris hati saat tahu di sana tak ada makanan apalagi minuman.
Hanya gumpalan asap dan debu mengganjal paru-paru penambah derita. 
Antara satu dan yang lain saling melindungi sanak keluarga namun apa daya mereka hanya mampu berlari, mencari tempat bersembunyi. Tak ada kuasa mereka melawan dengan senjata.

Kepada siapa mereka berharap?
Jerit tangisnya selalu menunggu uluran tangan penguasa Muslim menyelamatkan.

Kerahkan para militer wahai penguasa muslim! Itu tanda kepada rezim Bassar Assad engkau menentang.
Itu tanda bahwa kalian berpihak pada kami, membela dan ikut berjuang.

Tapi tidak! Di negeri kita ini, saat Ghouta berduka penguasa justru sibuk dengan cinta Dilan. Bapernya penguasa negeri ini lebih  condong kepada cinta Dilan dibanding harus pedulikan derita Ghouta.

Padahal cinta Dilan juga adalah salah satu problematika negeri ini. Remaja  baper, tapi bukan pada tempatnya. Terlena dengan romantisme cinta yang tak seharusnya.

Sekiranya dalamnya cinta itu adalah untuk Ghouta. Kuyakin yang kini diam tak hendak membiarkan. Takkan santer opini bahwa itu urusan negara mereka. Ahh, nasionalisme berhasil meretas ukhuwah kita.

Berhentilah pikirkan cinta Dilan. Kita sedang berduka.
Bayangkan mereka yang tewas dan menderita  adalah saudara kita, yang lebih kental ikatannya dari ikatan keluarga.

Jadi, untuk kebebasan Ghouta harus berharap kepada siapa?
PBB? Ia tidak berdaya karena keberadaannya di bawah kaki negara adi daya. Beranikah mereka menentang majikan AS dan Rusia? Tidak akan!

Mustahil memang menunggu lelaki pemimpin bersahaja penuh wibawa, lagi tangkas selayaknya Khalifah Mu'tasim Billah di era now. Lelaki yang berani mengerahkan puluhan ribu pasukannya untuk melindungi kehormatan seorang muslimah. Lelaki yang sanggup menggetarkan musuh seketika, hingga kota Amuriya tunduk dan takluk saat itu juga.

Tanpa sebuah institusi negara yang diikat oleh ikatan akidah Islam,  derita Ghouta tak lebih dari retorika kosong tentang kebebasan dan kemerdekaan. Jauh harapan jika mengharap semata kepada penguasa yang ada saat ini ataupun kepada PBB.

Kita butuh institusi yang menjadi pemersatu atas seluruh negeri-negeri Muslim. Institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah serta bertanggung jawab penuh melindungi dan menjaga kehormatan seluruh umat di bawah naungannya hingga terwujudlah Islam sebagai Rahmatan Lil'alamin. Institusi itu adalah institusi yang dijanjikan dan selayaknya kita perjuangkan.

ثُمّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad). 

Ya...inilah yang sungguh harus diperjuangkan. Bukan cinta ala roman picisan versi Milea dan Dilan. Ghouta, cinta ini sungguh patut dialamatkan. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

*Penulis adalah anggota Revo writer

 


latestnews

View Full Version