Assalamu'alaikum Sahabat voa-islam yang dirahmati Allah.
Insya Allah mulai Kamis ini, akan ada cerita bersambung untuk rubrik smart-teen. Rencananya cerber ini akan hadir setiap hari Senin dan Kamis.
Sebetulnya ini naskah novel yang sudah sempat di-acc oleh salah satu penerbit mayor di Indonesia. Tapi karena satu dan lain hal, novel itu masih rapi tersimpan di sudut hati, eh salah maksudnya tersimpan rapi di folder komputer. Nah, daripada lumutan mending ditayangkan saja buat sahabat voa-islam yang setia dengan rubrik smart teen.
Kalian boleh share kok asal tetap cantumkan sumbernya ya. Belajar sedari dini untuk jujur dan menghargai jerih payah orang lain. Yakin deh orang jujur itu mujur dan yang pasti disayang Allah dong.
Langsung aja deh, cuss nikmati bagian pertama dari novel yang berusaha ideologis tapi tetap romantis ini. Ehemmm....
- - -
The Twin Heart
Karya: Ria Fariana
Bab 1 (Bagian Pertama)
2019
“Hi Dave, jangan lupa nanti malam,” Erik menyapa Dave yang sedang mengambil buku di lokernya. Dave cuma mengangkat tangannya tanda mengiyakan. Di tengah kesibukannya mengambil barang-barang yang diperlukan, ada seorang gadis menghampirinya. Dave menoleh dan tersenyum sekilas pada gadis itu.
“Dengan siapa nanti malam Dave?”
“Entahlah,” Dave hanya mengangkat bahunya.
“Okay, jangan lupa artikel jatahmu dikumpulkan minggu ini yah?” Gadis itu pun berlalu. Dave menarik nafas panjang dengan lega.
Sharon cantik, tapi entahlah ada sisi batinnya yang mengatakan bahwa wanita hanyalah sumber kerusakan. Dogma itu sudah ditanamkan puluhan tahun oleh gereja. Tapi sisi hatinya yang lain juga berusaha jujur bahwa ia memang cantik. Seharian itu sulit sekali bagi dirinya untuk berkonsentrasi. Bayangan Sharon, keinginannya untuk berbincang lebih lama dan juga dogma pelayanan terhadap Tuhan silih berganti berebut porsi di benaknya.
Break berikutnya sebelum masuk kelas lagi, Dave menuju kafetaria kampus. Dipesannya coffee cream tanpa gula. Dibawanya cangkir itu agak ke sudut yang terhindar dari lalu lalang mahasiswa lainnya. Dia ingin sendiri.
Di tegukan keduanya, ada satu sosok menepuk bahu Dave sebelum ia mendaratkan pantat tepat di depannya.
Mike.
Temannya sedari kecil.
“Dave, how’s life treating you?” Michael menanyakan kabarnya.
“Bad, since you’re here,” jawab Dave kalem. Tapi Mike malah tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Dave melanjutkan meminum kopinya yang sempat tertunda dengan kedatangan Mike.
“Datang nggak nanti malam?” Mike berusaha memecahkan kebisuan. Yang ditanya cuma mengangkat bahu sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Setelah tegukan terakhir, ia pun beranjak.
“Duluan, Mike,” katanya sambil menepuk bahu temannya itu sebelum berlalu. Mike pun tetap duduk di sana untuk beberapa saat. Malas ia mengikuti mata kuliah berikutnya.
“Hi the twin Brown, sendirian saja nih? Mana kembaranmu?” sapa Maja,si cantik dari Swiss yang suka memanggil mereka dengan julukan the twin Brown.
Tak aneh sebetulnya ada warna kulit lain selain ras kaukasia di Amerika, karena tempat ini sudah jadi melting pot, tempat pertemuan semua suku bangsa di seluruh dunia. Tapi yang aneh adalah nama Dave dan Mike yang sama sekali tidak seperti nama mereka umumnya yang berkulit coklat seperti Tedjasukmana, Harjokusuma, atau nama-nama sejenis itu. Sebaliknya mereka bernama David Shaw dan Mike Campbell dan orang tua mereka masing-masing juga bermata biru, kulit putih, rambut pirang. Khusus untuk David yang lebih akrab dipanggil Dave, ia dibesarkan dalam suasana gereja yang taat dengan mayoritas pastor yang ada juga ber-ras Kaukasia.
Kontras sekali dengan kondisi mereka berdua yang kulitnya sawo matang, mata hitam, begitu juga dengan rambut. Sudah sejak lama mereka menyadari bahwa orang tua yang telah begitu baik dengan mereka bukanlah orang tua kandung. Jati diri mereka masih terus ada dalam pertanyaan yang belum terjawab.
“Hello….are you here?” Maja menggerak-gerakkan tangannya tepat di depan mata Mike. Mike pun sadar bahwa ia telah melamun cukup lama tadi.
“May, kenapa sih kamu nyebut kami the twin Brown? Kami kan jelas-jelas dari keluarga yang berbeda. Dave dan aku juga gak bisa disamakan. Ia jelas-jelas calon pastor, sedangkan aku kan masih doyan cewek cantik,” Mike protes juga pada Maja.
“Yee..suka-suka dong, tapi kalian berdua emang cocok kok. Kembar kan gak selalu harus sama. Kalian berdua saling melengkapi. Yang satu pendiam, cool, cuek, yang satu rame, ngocol dan kadang suka gila hehe,” Maja pun memberikan alasannya. Asal!
“Mike, ke pesta bareng aku yuk!” ajak Maja. Belum sempat Mike menjawab, ada seseorang datang.
“Hi guys, boleh gabung kan?” tanyanya ramah.
Sharon, gadis yang tadi bertemu Dave di loker, juga aktivis media kampus yang selalu sibuk mengejar berita.
“Ada berita baru apa?” tanya Mike.
“Dari dalam kampus sendiri tak ada yang penting. Cuma heboh pemilihan ratu kampus yang bikin eneg. Heran, bagaimana mungkin Amerika bisa maju dengan mengandalkan kemolekan tubuh wanitanya?” Sharon mulai meluapkan kekesalannya.
“Trus?”
“Kekuatan India dan China yang mulai menggeser dominasi Amerika dalam perekonomiannya.”
“Gak begitu tertarik ah.” Mike yang cenderung malas berfikir serius, memotong.
“Jangan begitu Mike. Berarti, prediksi Samuel Huntington tentang clash civilization yang diprediksi di awal abad 21 semakin terbukti. Benturan peradaban antara timur dan barat.”
“Yup. Dan kekuatan Islam sebagai sebuah peradaban lama berusaha menemukan bentuknya lagi di era modern ini. Uniknya, dia mampu menjembatani perbedaan timur dan barat.”
“Kenapa begitu?”
“Islam bukan hanya didominasi oleh timur lagi. Lihat dunia barat. Semakin diminati saja agama satu ini. Bahkan lebih dari itu, Islam dianggap mereka bukan sekedar agama, tapi the way of life.”
Hening. Masing-masing sibuk dengan pikiran di benak masing-masing.
“Lalu apa lagi?” Maja memecahkan keheningan.
“Yang sudah basi adalah keseriusan pemerintah memerangi terorisme.”
“Apa hubungannya dengan kampus kita?”
“Secara langsung memang tidak ada. Tapi secara tidak langsung, teman-teman kita yang muslim terkena imbasnya. Apalagi muslimah berhijab. Mereka diperlakukan tidak adil oleh bagian administrasi, belum lagi pertanyaan-pertanyaan konyol yang ditujukan ke mereka.”
“Baguslah, siapa tahu mereka ada sangkut pautnya dengan para teroris itu.”
“Heh…Mike. Jangan asal kalau bicara. Kamu tidak pernah tahu kan siapa mereka itu? Look at you, kamu juga bisa diduga teroris.”
“Jaga mulutmu!” Mike mulai terlihat emosi.
“Sorry, Mike. Kamu yang jaga mulutmu. Jangan pernah mendakwa seseorang tanpa bukti.”
“Sudahlah Mike. Sharon benar, terkadang kita menelan bulat-bulat apa kata pemerintah kita tentang teroris. Siapa tahu, teroris sebenarnya adalah mereka yang berjas dan berdasi di pemerintahan itu. Ingat kan peritiswa penyerangan ke Afghanistan dan Irak atas nama memerangi terorisme?” Maja ikut menyela.
“Bulshit sekali memang si George W Bush itu!” Mike membenarkan dengan geram.
“Lalu, yang terbaru apaan nih?”
“Prediksi berdirinya Khilafah Islam yang dilansir NIC 11 tahun lalu mulai menemukan bentuknya.”
“Khilafah Islam? Apa pula itu?”
“Mike…Mike, makanya jangan suka dugem aja kamu itu. Isu Khilafah kan sudah jadi opini umum dunia, pro dan kontra. Ide menjadikan dunia dalam satu kepemimpinan umum,” Maja mencoba menjelaskan.
“Apa hubungannya dengan kampus kita?”
Untuk hal ini Maja memandang Sharon.
“Tidakkah kalian perhatikan semakin banyak teman-teman kita masuk Islam? Lalu orasi-orasi dan penyebaran bulletin di hampir setiap sudut kampus tentang Islam yang mampu memberikan solusi bagi semua masalah yang muncul. Hallo…where are you? Bahkan kongres dan senat pun menjadikan isu ini sebagai agenda khusus untuk dibahas di sidang parlemen.”
Dave dan Maja pun memandang Sharon dengan takjub.
*****
Amerika di tahun 2018, bagaikan raksasa ompong yang mulai limbung karena terkena penyakit komplikasi yang akut. Hutang ke PBB yang sudah mencekik leher, turut campur urusan dalam negeri negara lain menyisakan kebencian dan mengobarkan semangat perlawanan dari warga setempat, terorisme yang mengancam warga Amerika di mana pun mereka berada, bahkan dalam negeri sendiri sudah tak aman. Putra-putra bangsa pun berubah menjadi teroris karena frustasi dengan banyak kebijakan. Belum lagi bobroknya moral mulai warga di kelas gang sempit hingga berdasi di apartemen milyaran dollar. Moral tak diindahkan. Wanita-wanita tunasusila ada di mana-mana, sulit membedakannya dengan wanita baik-baik karena pakaian mereka yang sama, seakan kembali ke peradaban di jaman Flinstone. Anak-anak yang tak jelas ayahnya semakin mendominasi struktur penduduk. Kriminalitas semakin menggila. Harga nyawa seperti membunuh nyamuk saja. Remaja-remaja gila pesta. Apa yang tersisa dari Amerika?
Dave menghentikan ketikannya di layar komputer itu. Ditariknya nafas panjang. Yah, apa yang tersisa dari Amerika?
Di satu sisi, gerakan Islam ideologis semakin menjamur. Mereka tidak hanya menjalankan ibadah ritual saja, tapi sudah mulai menyebarkan konsep bernegara mereka dengan nama Khilafah. Dan gilanya lagi, gerakan mereka mengglobal. Bukan hanya Amerika, Eropa, Asia bahkan Indonesia yang mempunyai muslim terbesar di dunia bahkan sudah siap-siap ke arah sana. Indonesia? Entah kenapa, setiap menyebut negara kepulauan ini jantungku berdegup lebih kencang. Seakan ada magnet kuat yang berusaha menarikku ke sana. Jiwa petualangku digoda. Haruskan aku merambah ke sana? Gold Glory Gospel yang telah mengalir dalam aliran darahku bisa tersalurkan.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya.
Mike.
Dibukanya slot rantai di pintu untuk membiarkan Mike masuk.
“Hi Dave, malam minggu cuma di rumah saja. Sekali-kali dong keluar kamar ,menikmati surga dunia. Jangan cuma pacaran dengan komputer mulu. Eh…jangan-jangan kamu kencan virtual yah? Huahahaha, Dave yang alim akhirnya menemukan pacar di dunia maya,” Mike tergelak-gelak sambil bergulingan di atas kasur Dave. Dibiarkannya saja Mike dalam kondisi itu. Ia mabuk. Bau mulutnya jelas masuk ke indera penciuman Dave.
“Kalau kamu kau muntah, sudah tahu kan letak toilet?” Dave berkata pelan sambil terus menatap layar komputer di depannya.
“Jangan khawatir Dave, aku gak bakal muntah. Aku cuma minum sedikit kok.”
Sedikit? Sedikit sudah seteler itu. Sedikitnya Mike, banyaknya Dave.
Sambil terhuyung-huyung, Mike mencoba mendekati Dave untuk tahu apa yang ada di hadapannya.
“Cuma tulisan? Aku kira site porno hahahaha.”
Dave diam.
“Situs apa, Dave?”
“Khilafah.com. Buat bahan mading minggu besok.”
“Hhhh...mikirin mading, aku bahkan belum menyelesaikan tugas kuliah.” Mike berjalan kembali ke ranjang dan langsung mendengkur.
Dave membiarkan komputernya menyala dan ia berjalan ke luar kamar. Dihirupnya udara malam dari lantai dua ini. Cerah, penuh bintang. Di luar sana masih penuh hura-hura malam minggu menjelang dini hari ini. Masyarakat Amerika yang hedonis. Religi telah tercabut beberapa abad yang lalu. Yang tertinggal hanya kehampaan dalam kalbu masing-masing penghuninya. Ditangkupkannya kedua telapak tangan ke wajahnya sambil menyandarkan siku ke tembok pembatas berisi bunga-bunga kecil di tengahnya. Rambutnya yang tebal dan hitam tertiup angin. Dipejamkannya matanya dalam-dalam. Dibukanya mata, dipandangnya lagi langit hitam bertabur bintang.
Betapa Maha Indahnya Engkau, Tuhan. Sungguh, ingin kubaktikan seluruh hidupku hanya untuk malayaniMu, menjadi gembalaMu. Batin Dave semakin syahdu dengan memandang keindahan langit yang terbentang di hadapannya. Tapi, masih ada yang mengusik diri ini, ya Bapa. Darimanakah aku berasal? Kulitku yang sawo matang, sungguh kontras dengan kondisi Amerika yang ada. Meski banyak imigran-imigran kulit hitam tapi beda. Meski banyak pendatang dari daratan Cina sehingga mereka membentuk grup perkampungan pecinan, tetap beda. Meski penduduk asli Amerika adalah suku Indian yang katanya berkulit merah agak sawo matang seperti kulitku, juga tetap tak sama.
Siapakah aku, David Shaw yang besar di belantara Amerika ini? Yang memilih mengabdikan hidupnya hanya untuk mencintaiMu, Sang juru Selamat dunia? Bila ada secercah terang tentang siapa adanya diriku, pasti kan kukejar hingga ujung dunia. Meski entah berapa juta kali Pastor Antonius meyakinkan bahwa aku yatim piatu dan tak tentu rimba siapa orang tuaku, tapi salahkah bila kusangksikan itu? Aku ingin tahu kubur ibuku bila ia memang telah tiada. Kerinduanku padanya seperti kerinduanku pada sosok Maria, sang perawan suci yang melahirkan juru selamat.
Ditundukkannya kepalanya yang semula menengadah memandang bintang. Ada bening di kedua kelopak itu. Aku begitu mencintaiMu. Aku sungguh ingin membaktikan hidupku hanya untukMu. Dipejamkannya mata sejenak tapi langsung dibukanya lagi. Kelebat bayang Sharon tiba-tiba melintas di benaknya. Forgive me, God. Dave menyilangkan doa demi bapa, Yesus, dan roh kudus, untuk menghilangkan bayangan Sharon dari benaknya.
Perlahan dari ufuk timur, matahari terbit dengan indahnya. Semburat merahnya yang muncul perlahan-lahan, menepiskan embun di pucuk dedaunan, sungguh mempesona. Dave selalu takjub dengan fenomena alam ini. Itulah sebabnya ia jarang tidur sebelum matahari terbit karena begitu sayang ia melewatkan moment ini. Ketika dengan perlahan tapi pasti matahari semakin tinggi, tak tahan Dave untuk tidak bersimpuh. Segenap pujian dipanjatkannya.
Setelah beberapa saat , ia bangkit dan berdoa, menyilangkan tangan di dadanya. Masuk ke kamar, dilihatnya Mike masih pulas. Diambilnya handuk dan mulai mandi. Siap-siap ke geraja di minggu pagi yang cerah ini. Sambil bersiul-siul ceria, Dave mandi dan mengambil alkitab untuk dibawa.
“Mike, bangun. Ikut ke gereja yuk!”
“Males ah, ngantuk. Salam aja sama Tuhan, dia pasti ngerti kok,” jawab Mike cuek.
Dasar! Dave menggerutu sendiri.
Keluar dari Cottage mahasiswa itu, di jalan setapak menuju gereja, Sharon datang menghampiri dari cottage putri. Heran juga, seingatnya Sharon tak tinggal di asrama mahasiswa. Dave pura-pura tidak melihatnya dan berjalan dengan cepat.
“Dave, tunggu! Kita ke gereja yang sama kan?” Mati kutu. Dave akhirnya harus berjalan beriringan dengan Sharon sepanjang perjalanan.
“Aku menginap di kamar Katie tadi malam. Ia menolak waktu kuajak ke gereja.” Seakan tahu apa yang ada di benak Dave, Sharon menjelaskan tanpa diminta. Sama seperti Mike, batin Dave. Ia bahkan nitip salam ke Tuhan. Dasar manusia-manusia produk sekuler. Dave sibuk mengalihkan pikirannya dari gadis yang dengan santai melangkah di sampingnya ini. Ah…kenapa jantungku berdetak lebih cepat bila berdekatan dengan gadis ini, gerutu batin Dave. Padahal ia tidak secantik Angel, juara ratu kampus tahun ini. Atau se-seksi Cameron, yang sudah tergila-gila padanya sejak lama.
Sharon beda. Ia cerdas dan kritis, juga mandiri. Bajunya tidak berlebihan, bahkan cenderung sederhana dan selalu sportif. Cuma dalam moment pergi ke gereja saja ia memakai rok panjang semata kaki dan blus yang sopan. Beda dengan gadis lain yang berpakaian seksi meski acara ke gereja juga.
“Dave, artikel kamu yang dimuat Student’s voice tentang komunitas muslim di Amerika, bagus. Obyektif. Kebetulan aku punya tetangga muslim dari Timur Tengah. Kami sering berbincang, sehingga aku tahu tulisanmu memang obyektif.”
Dave merasa sulit untuk berbicara. Padahal ia ingin sekali berdiskusi banyak hal dengan gadis cerdas ini. Ketika Sharon akan membuka mulut lagi, untunglah gereja tinggal beberapa langkah di depan.
“I’ll see ya,” Dave tersenyum padanya dan melangkah ke mimbar. Ia menjadi wakil misa minggu ini. Di pintu gereja, kakinya sempat tertahan sebentar. Patung Yesus besar di depannya, telah menyentakkan kesadarannya kembali.
“Tuhan, hidupku tlah kudedikasikan untukmu saja. Jauhkan kecenderungan saya pada dunia dan perempuan yang bisa menjauhkanku dari-Mu. Amin.” Setelah menyilangkan tangan di kepala dan dada, Dave mantap untuk memulai misa dan mengenyahkan bayang Sharon dari dalam benaknya.
#Bersambung Senin yaaa....
Ilustrasi: Google