View Full Version
Senin, 09 Apr 2018

The Twin Heart 4: Sketsa Senja part B

Assalamu'alaikum Sobat Muda voa-islam yang salih dan salihah,

Kali ini Dave dan Sharon serius berbicara tentang masa depan mereka....eits bukaaannn. Mereka masih sibuk berbicara tentang topik majalah kampus yaitu seputar kebangkitan Islam. 

Lalu Sharon yang mengalami pengalaman baru saat mewawancarai seorang muslimah. Hmmm...pengalaman apa itu ya? 

Yuk cuss langsung aja digeber di bawah ini. Have a nice read :)

Salam

------------------------

The Twin Heart - Bagian 4

Sketsa Jiwa (part B)

 Oleh: Ria Fariana

“Dave, wait,” Sharon berlari-lari sepanjang koridor untuk mengejar langkah lebar Dave. Mendengar suara Sharon, Dave melambatkan langkahnya dan menoleh. God…forgive me! Entah Sharon yang hari ini tampil mempesona, ataukah mata Dave yang silau melihatnya. Tuhan, kembalikan akal sehatku, rutuk batin Dave gemas. Dengan rok bawah jeans warna biru gelap panjang menutupi mata kakinya, dan kemeja sportif serta rambut diikat ekor kuda membuat Sharon semakin terlihat cantik di mata Dave. Wajah Sharon begitu bersih dari make up, tapi terlihat berbinar. Matanya yang bagai bintang kejora itu selalu penuh kelip.

“Jadi, bagaimana menurutmu, Dave?” akhirnya Sharon menutup kalimatnya.

“Oh…eh…uh...apa? Sorry, Sharon. Bisa kamu ulangi kalimat tadi?” Dave salah tingkah. Sharon tertawa memperlihatkan barisan rapi giginya. Dan Dave sibuk menenangkan deburan jantungnya. Terkadang ia menyesal mempunyai sekretaris redaksi seperti Sharon.

“Aku punya tetangga baru. Mereka suami istri, newly wed, baru menikah. Guess what? Yang perempuan asli Indonesia, menikah dengan orang Amerika.”

And?” Dave masih belum tahu arah pembicaraan Sharon.

“Ini suatu kebetulan yang bagus, Dave. Topik majalah kita bulan depan kan tentang Prediksi kekuatan Islam dalam skala dunia. Dan Asia Tenggara terutama Indonesia adalah basis kekuatan itu. Remember?”

“Dan kita sudah punya dua narasumber. Selain Indah, nama tetanggaku itu, kita punya Shahril dari Malaysia.”

“Bagaimana dengan tetanggamu yang dari Timur Tengah itu? Kamu bilang sering berbincang dengan mereka. Sumber kita akan semakin banyak.”

“Iya sih, cuma di bahasan majalah kampus kali ini, kita akan fokuskan pada mereka yang berasal dari Asia Tenggara dulu. Menurut prediksi banyak pakar, wilayah ini ditengarai sebagai cikal bakal bangkitnya Islam ideologis. Jangan abaikan jumlah penduduk muslim terbesar dunia ada di Indonesia, Asia Tenggara juga.”

“Oke, berarti fokus topik kita akan diisi wawancara dari kedua orang ini. Bagus juga. Sumber kekuatan Islam saat ini memang terpusat di Asia Tenggara, selain juga didukung secara penuh oleh kekuatan Timur Tengah.”

“Bukan hanya Timur Tengah. Kelompok dakwah yang gencar dengan ide Khilafah ini menyebar di seluruh penjuru dunia. Di Eropa gerakan mereka cukup bagus. Inggris, Jerman dan Denmark adalah negara-negara kondusif. Belum lagi Rusia dan beberapa negara kecil bekas pecahan Uni Sovyet. Romantisme wilayah Kaukasus dan Balkan yang dulu sempat di bawah naungan Khilafah menjadi hal yang harus diperhitungkan juga.”

“Jangan lupa Amerika sendiri. Semakin banyak orang mempelajari Islam kemudian memeluknya. Belum lagi mahasiswa-mahasiswa yang gencar berpropaganda di kampus,. remember?”

“Bukan propaganda, mereka menyebutnya dakwah.”

Whatever. Berarti kebangkitan Islam bisa dari mana saja. Cuma memang prediksi terkuat masih Asia Tenggara.”

Dave mulai menangkap maksud Sharon.

“Baik, kita mulai lakukan pendekatan saja dengan mereka. Deadline kita sudah semakin dekat. Aku duluan Dave, See ya tomorrow,” Sharon melangkah pergi lebih dulu. Dave memandang sosok itu hingga hilang bayangnya di balik tikungan. Ditariknya nafas, berat.

*****

            Sharon ada di ruang tamu Indah. Dipandangnya sosok teduh itu yang terbalut rapat oleh dua potong kain yang dipakainya. Baju terusan panjang seperti longdress tapi lebar sehingga tidakmembentuk tubuh, menjulur hingga menutup kakinya dan secarik kain untuk menutup kepalanya sempurna hingga dada. Terhanyut Sharon mendengarkan Indah bertutur dengan aksennya yang unik. Pengucapan huruf ‘r’ begitu jelas tapi eksotis. Lepas dari semua itu, sikapnya yang anggun dan ramah terhadapnya begitu menyejukkan.

“Sharon, kapan-kapan berkunjunglah ke Indonesia. Indonesia di bayangan mayoritas masyarakat dunia terutama Amerika berbeda dengan kenyataan aslinya di sana. Tak lagi ada yang namanya tanah subur rakyat makmur. Itu tinggal sejarah. Dari segi alam, Indonesia hampir seperti Ethiopia, negeri makmur di abad tujuh Masehi ketika Khilafah Islam menaunginya, tapi berubah total ketika Kapitalis mulai masuk dan menyedot semua sumber dayanya. Indonesia saat ini tak jauh beda. Privatisasi semakin parah, semua milik swasta. Rakyat harus membeli mahal semua kebutuhan pokoknya, termasuk air yang sangat vital. Andai saja udara bisa diperdagangkan mungkin untuk satu hirupan harus membayar sepersekian rupiah. Kasihan rakyat.”

Indah bercerita panjang lebar.

“Oh…kasihan Sharon juga. Maaf kalau bosan mendengar penuturan saya,” Indah baru sadar kalau Sharon memandangnya takjub sedari tadi tanpa mengucap sepatah kata pun.

“Saya tidak bosan. Bahkan sebaliknya, saya begitu tercengang dengan penuturanmu. Ada seorang teman bertutur tentang Bali. Ia bilang Bali tak seindah cerita yang pernah didengarnya dari kedua orang tuanya dulu. Tak ada lagi pantai yang bersih, semua kotor dan tercemar. Bahkan gaya hidup mereka pun tak jauh beda dengan orang-orang barat. Mereka tak lagi punya kekhasan budaya lagi. Mengenaskan.”

“Yah, begitulah.”

“Lalu bagaimana dengan agama mayoritas di sana? Apakah Islam tetap sebagai acuan normatif atau ada langkah untuk formalisasi?”

“Secara kenegaraan masih sekuler. Tapi syukurlah kesadaran masyarakatnya untuk menjadikan Islam sebagai ideology atau way of life mulai marak.”

Tiba-tiba Indah menghentikan kalimatnya.

“Sharon, maaf yah saya tidak bisa membicarakan hal ini denganmu.”

Why?”

Indah tergagap, bingung ia mau menjawab.

“Apakah karena takut kalau saya intel yang berusaha mengorek data darimu tentang gerakan Islam di Asia Tenggara?” akhirnya Sharon berusaha menemukan jawabnya.

Indah tetap terdiam.

Sharon mengeluarkan kartu press-nya dari dalam dompet. Indah menerimanya tapi masih ada bimbang di wajahnya.

“Saya tidak menyalahkan kekhawatiran itu. Saya pun tak akan memaksa untuk bercerita bila memang belum percaya. Karena sungguh, rasa percaya tidak bisa dipaksakan.” Sharon pun lalu berpamitan pulang.

“Datanglah kapan pun kamu ingin datang,” Indah melepas Sharon di pintu depan. Sharon tersenyum dan melambaikan tangannya.

            Sesampai di rumah, gadis itu langsung masuk ruangan khusus dalam kamarnya dan berdiri di depan layar lebar tipis, sejajar dengan tembok. Dengan remote control, ditekannya tombol ON. Dicarinya gelombang saluran Dave di sana. Ternyata ia on line juga.

“Dave, aku jadi tak yakin lagi kita bisa mengejar deadline.”

Why?

“Pasang webcam dulu dong.”

“Untuk apa?”

“Tak adil saja kamu bisa melihat aku sedang aku tak bisa memandangmu.”

Dave tersenyum. Senyum yang tak bisa dilihat Sharon karena webcam sengaja belum dinyalakan Dave.

“Tunggu sebentar.”

Webcam Dave menyala. Sharon yang semula cuma berhadapan dengan gelombang abstrak di layar, kini ia bisa memandang sosok Dave di sana. Ada senyum di bibirnya yang indah. Dan itu hanya membuat Dave sulit bernafas.

Okay, it’s much better. Indah, tetanggaku itu sulit percaya padaku.”

“Kenapa bisa begitu? Biasanya orang akan mudah percaya padamu. Dan kamu selalu menemukan cara membuat orang untuk percaya.”

“Itu masalahnya. Indah sepertinya bukan sekedar muslim biasa yang menikah dengan orang Amerika dan ikut suami. Dia beda.”

“Beda bagaimana?”

Feelingku ia beda, itu saja. Tapi entah beda seperti apa aku sendiri belum tahu.”

“Oya, bagaimana dengan Shahril? Ada kemajuan?”

“Aku belum ketemu dengannya. Mungkin besok.”

“Oke, wish you luck. Aku mau tidur dulu, lelah.”

Okay.”

“Tak inginkah kau mengucap selamat tidur padaku, Dave?

“Good night. Have a nice dream.”

“Aku akan memimpikanmu” Sharon memberi senyuman pada layar monitor di depannya yang kemudian dihantarkan oleh gelombang elektromagnetik listrik ke monitor di depan Dave. Saat itu juga gelombang elektromagnetik dalam dirinya semakin menguat. Dave segera menekan tombol OFF dan menghilang dari tampilan layar. Meski pada faktanya, getar listrik dalam aliran darahnya tetap tak mau OFF apalagi menghilang. Sebaliknya, ia semakin menguat dan berontak. Dave pun mengerang dalam diam. God, help me.

#Kamis, insya Allah akan hadir lagi dengan Dave dan Sharon. See ya... ^_^

Link kisah sebelumnya:

http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2018/04/05/57125/the-twin-heart-3-sketsa-senja/#sthash.LGNRvSPW.dpbs

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version