Assalamu'alaikum sobat remaja salih dan salihah,
Di bagian yang lalu, kisah Dave sudah sampai pada mimpi buruk yang sering menghampiri tidurnya. Ombak, anak kecil bernama Ahmad dan satu pantai indah yang dia sendiri tak tahu dimana.
Sharon, masih dengan sifat ceria menjadi partner Dave dalam berkarya di majalah kampus. Bagaimana sih kelanjutan kisah mereka?
Yuk, capcus aja langsung baca bagian berikutnya. Selamat membaca ^_^
Salam
--------------------------
The Twin Heart - Bagian 5
Menggambar Lampau (part A)
Oleh: Ria Fariana
Seorang anak kecil berlari-lari di tepi pantai. Minggu yang cerah. Kaki kecilnya yang telanjang terbenam sebagian di lembutnya pasir pantai. Basah hingga ke lututnya. Ia tertawa gembira bersama beberapa teman yang lain. Ada yang main layang-layang, ada yang bermain pasir, ada yang sekedar bermain kejar-kejaran satu sama lain. Bahkan ada juga yang ikut ayahnya melaut untuk mencari ikan.
“Ahmad, ayo kejar aku,”
“Ahmad, bantu abah mengangkat ikan asin ini, nak”
Ahmad..
Ahmad….
Ahmad terlihat begitu riang gembira bermain-main di tepi pantai.
Aku pun tersedot oleh keriangan yang ditularkan anak kecil yang dipanggil Ahmad itu. Kuikuti kemanapun ia berlari. Dan kuikuti tawanya saat ia tertawa. Begitu juga saat ia berteriak. Pun saat ia jatuh di atas lembutnya pasir pantai, aku pun juga terjatuh bersamanya. Kami tertawa bersama-sama. Hingga akhirnya penasaranku tak tertahan lagi, aku mendekati sosok kecilnya. Ia memunggungiku. Ketika lama tak juga ia berbalik, kupanggil namanya. Ia diam saja. Kupegang pundaknya yang telanjang dada, dan kubalik tubuh mungil itu. Wajah itu mendongak memandangku dengan senyum terukir di bibirnya. Senyum itu, kenapa aku serasa begitu mengenalnya? Bibir itu, tulang pipi itu, hidung itu, hingga akhirnya mata itu. Aku menatap mataku sendiri dalam sosok mungil itu.
Hap…aku tergeragap, terkejut dan berusaha lari. Tapi mata itu terus mengikutiku. Tolong..tolong…aku berlari sekuat tenaga
“Dave, bangun Dave,” guncangan kuat menerpa tubuh Dave yang kejang dan berkeringat. Nanar mata Dave memandang sosok di depannya.
“Mana Ahmad?” Tanya Dave bingung sambil melongokkan kepalanya ke sekitar.
“Ini aku, Mike. Siapa yang kau sebut dalam tidurmu?” Pelan-pelan kesadaran Dave mulai pulih.
“Aku bermimpi. Ombak, anak kecil berlari-lari dan aku berada di tengah mereka,” akhirnya Dave bercerita juga. Sudah tak tahan lagi ia menyembunyikan apa yang terjadi tentang mimpi-mimpinya. Ia butuh seseorang untuk berbagi.
Mike sempat tertegun. Lalu ia berjalan ke arah kran air di wastafel dan menampungnya dalam gelas. Diberikannya pada Dave.
“Aku pun juga bermimpi tentang ombak dan pantai. Dan saat itu kau pun kan yang membangunkan? Mimpi ini tak seperti biasanya, seperti nyata,” gumam Mike. Mereka berdua terdiam sesaat. Tiba-tiba dering telepon memecah keheningan. Mike bangkit dan mengangkatnya.
“Dave, untukmu.”
Dave mengambil gagang telepon itu dan meletakkan di telinganya. Wajahnya berubah pias sebelum meletakkan gagang telepon itu dan terburu-buru menyambar tas dan jaketnya.
“Mau kemana Dave?”
“Sharon kecelakaan. Bersama Indah, tetangganya yang muslim itu,” Dave menjawab sambil terus bergerak tangan dan kakinya, memakai sepatu dan menyambar tas ranselnya.
*****
Sesampainya di rumah sakit, Sharon ditemuinya ada di bangsal bagian kecelakaan lalu lintas. Keningnya berdarah, juga siku dan lututnya. Indah juga sama, bahkan lukanya jauh lebih sedikit dibanding Sharon. Ternyata mereka berdua akan berbelanja ke supermarket. Tiba-tiba ada sebuah mobil lain yang berzig zag di depan mobil yang mereka kendarai. Bukan itu saja, mobil misterius itu juga sengaja menyerempet dengan tujuan mengeluarkan mobil Sharon dari badan jalan. Polisi sedang mengurus peristiswa ini.
“Rasanya ada yang berusaha mencelakai kami, Dave.”
“Menurut laporan polisi ini peristiwa kecelakaan biasa.”
“Pasti ada sesuatu di balik peristiwa ini. Bagaimana mungkin setelah yang kuceritakan, polisi hanya menganggap kecelakaan biasa?”
“Sudahlah. Yang penting kamu dan Indah selamat. Kalian cukup rawat jalan saja. Kamu ada asuransi kan?” Sharon mengangguk.
“Tinggal Indah. Semoga ia juga mempunyai asuransi kesehatan.”
Ternyata Indah tidak mempunyai asuransi kesehatan. Sungguh aneh, seorang pendatang tidak mengurus asuransi vital ini. Indah menghubungi suaminya. Dan laki-laki setengah baya yang masih terlihat gagah itu datang. Ia mengurus semua keperluan istrinya dan membayar bea perawatan.
Dave menarik nafas. Untunglah suaminya kaya. Dan lebih untung lagi perusahaan suaminya menanggung kesehatan anggota keluarga karyawannya.
“Mengapa tidak mengurus asuransi saja, Mr. Anderson?” Dave menyapa suami Indah dengan nama belakang.
“Panggil saja Smith. Indah, istri saya tidak mau memakai asuransi. Karena dalam Islam kesehatan dan nyawa kami ditanggung oleh Allah, the Almighty. Dan kewajiban negara untuk menyediakan layanan kesehatan itu gratis, tanpa kami harus membayar asuransi. At least, itu yang pernah diungkapkan Indah. Saya sendiri mu’alaf, just reverted to Islam. Jadi masih harus banyak belajar kepada istri saya.”
Dave langsung merasa suka dengan kenalan barunya ini. Ramah dan tidak canggung. Apa tadi katanya? Mualaf? Reverted to Islam, kembali ke Islam? Hmm…dia harus dikembalikan lagi pada kebenaran trinitas, batin Dave merasa terpanggil untuk mengembalikan domba yang tersesat.
“Saya Dave, teman Sharon. Kami sedang mengerjakan majalah kampus dan meminta partisipasi istri anda sebagai salah satu narasumber,” diulurkannya tangannya. Yah…Smith Anderson memang orang yang ramah dan hangat. Terasa dari cara ia bersalaman. Genggamannya erat dan menunujukkan keakraban.
“Baiklah, saya harus segera kembali ke kantor setelah mengantar istri pulang. Lain waktu mampirlah ke rumah, mungkin kita punya banyak hal untuk diobrolkan.”
“Terima kasih.”
Dave mengantarkan Smith dan Indah hingga masuk ke mobil. Smith masih sempat melambaikan tangan sebelum menutup jendela dan menjalankan mobilnya. Dave pun melambaikan tangannya hingga pasangan suami istri itu hilang di tikungan jalan. Sharon pun berdiri di sampingnya dan melakukan hal yang sama. Untuk beberapa saat, mereka berdua mematung di halaman rumah sakit.
“Dave…”
“Sharon…”
Selalu begitu, tabrakan setiap kali mau memulai percapakan.
“Kamu dulu.” Dan kalimat ini pun kembali diucapkan secara bersamaan. Untuk sesaat mereka berpandangan dan kemudian tertawa bersama.
“Senang melihat lukamu tak parah,” akhirnya Dave yang memulai pembicaraan.
“Thanks. Untungnya Indah juga baik-baik saja. Hanya mungkin sedikit shock.”
“Kita pulang sekarang?” Sharon mengangguk.
Dave memanggil taksi di pangkalan terdekat. Dan untuk pertama kalinya, Dave mengantarkan Sharon hingga di depan pintu apartemennya.
“Masuklah, Dave. Aku ingin membuatkanmu secangkir kopi sebagai rasa terima kasih karena telah mengantarku.”
“I would love to. Tapi aku harus segera pulang. Mike lupa tidak membawa kunci apartemen.” Dave tahu berbohong itu dosa. Tapi ia akan jauh lebih terpuruk dalam dosa bila mengiyakan untuk masuk ke dalam apartemen Sharon dan menerima tawarannya untuk secangkir kopi. Secangkir kopi berarti secangkir pula untuk hal lain.
“I’ll see you soon.” Dave pun berlalu. Ditepisnya rasa bersalah itu karena melihat pandangan mata Sharon yang kecewa. Ditariknya nafas dalam-dalam. Apa yang terjadi pada diriku? Dave benar-benar bingung.
Ilustrasi: khairiah.com