Oleh: Nurul Fadhilah Fakaubun (Mahasiswa UIN Maliki Malang)
Ketika kata ‘cinta’ telah tertancap pada hati seseorang, maka segala daya upaya akan dilakukannya, tak terhitung berapa jumlah materi yang telah dikeluarkannya, tak terjangkau pengorbanan yang telah dilakukannya, bahkan mungkin nyawa pun akan diberikannya, dari sinilah timbul pertanyaan yang mendasar, kenapa? Apa asalan seseorang banyak berkorban hanya untuk kata “cinta”?.
Layaknya, Rasulullah SAW yang rela untuk menanggung semua beban sakaratul maut demi umatnya yang tercinta, hingga merintih diakhir hayatnya “ummaty”. Dan juga sebagaimana rasa cinta seorang pemuda Ali bin Abi Thalib ra terhadap Allah dan Rasulnya, sehingga ia berani menggadaikan nyawanya ketika peristiwa hijrah Rasulullah SAW, dan juga tak terhenti sampai disitu perjuangannya pun berlanjut ketika beliau hijrah ke Madinah dengan berjalan kaki menempuh jarak beratus-ratus meter sehingga terlukalah kakinya.
Setiap manusia mempunyai gharizah (naluri) untuk mencintai siapapun. Hanya saja, tidak sedikit dari mereka mulai lupa akan jati diri mereka sebagai seorang muslim yang mana seharusnya mereka cintai. Dewasa ini, banyak dari kaum muslimin lebih mengagungkan materi, manusia, hawa nafsu dan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya yang tidak akan bisa menyelamatkan mereka dari dahsyatnya siksaan Allah.
Sudah selayaknya umat muslim mencintai dan mendambakan sesuatu yang lebih dari dirinya, siapa kah itu? Ya, siapa lagi kalau bukan Sang Pengatur Alam Semesta, yang mengatur seluruhnya dari yang hal kecil hingga hal yang besar, Ialah Allah SWT Tuhan semesta alam, yang semestinya kita dambakan dan kita cintai.
Ketika kita mencintai Allah SWT, dengan kecintaan yang tertancap dalam hati yang mendalam, maka tak dipungkiri oleh siapa pun bahwa kecintaan tersebut akan memunculkan generasi-generasi emas yang dapat menaklukkan dunia, seperti Khalid bin Walid, Mus’ab bin Umair, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, Thariq bin Ziyad, dan masih banyak lagi.
Mereka semua adalah manusia biasa yang pada hakikatnya lemah, terbatas, dan membutuhkan yang lainnya, namun alasan mengapa mereka menjadi generasi-generasi emas, bahkan nama mereka tercatat dalam sejarah, karena mereka memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap Sang Pemilik Cinta yakni Allah SWT yang menjadi motivasi mereka dalam melakukan segala hal.
Mereka melaksanakan semua perintah dari Dzat yang mereka cintai tanpa ada kata “Tapi”, Mereka pun menjauhi apapun yang dilarang-Nya tanpa ada “pertanyaan”, mengapa semua itu terjadi?
Karena itulah cara pengungkapan cinta mereka terhadap Dzat yang Agung agar mereka mendapat balasan cinta dari-Nya. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Artinya:
Katakanlah, Jika kamu cinta pada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu (QS. Ali Imron : 31)
Lalu bagaimana dengan kita, umat muslim abad 21? Mengapa kita tidak bisa menjadi seperti generasi dulu yang tercatat namanya dalam sejarah, yang tak takut sedikit pun dengan kematian, yang tak gentar sama sekali dengan cacian, yang tak luntur pengorbanan walau badai menghadang.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah manusia generasi abad 21 dan manusia generasi emas memiliki perbedaan, sehingga mereka dapat mencintai Dzat yang agung sedangkan kita hanya mencintai manusia yang lemah?
Pada hakikatnya tidak, manusia generasi emas dulu dan generasi sekarang, sama-sama manusia yang perlu untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri mereka. Sehingga kita pun bisa untuk mencintai Dzat yang agung, dan mengungkapkan cinta kita layaknya para Sahabat, layaknya para pahlawan Islam.
Sebagaimana yang dikatakan, ketika kita sudah mempunyai rasa cinta, maka yang kita lakukan ialah berusaha mengungkapkan rasa cinta tersebut, begitu pula rasa cinta kita kepada Allah SWT, maka pengungkapan rasa cinta itu ialah dengan menundukkan segala aktivitas kita, segala perbuatan kita kepada aturan-aturan yang telah Allah SWT turunkan kepada kita, secara kaffah tanpa ditawar atau pun dipilah-pilih.
Ketika kita memang mencintai Allah SWT maka aturan hidup kita sudah pasti menggunakan aturan-aturan Allah SWT, dari berbagai aspek, baik dalam ibadah ruhiyyah, atau pun aturan lain yang telah Allah berikan untuk umat manusia seperti, ekonomi, sosial, politik dan lainnya, semua itu sudah pasti mengikuti dengan aturan Allah.
Dengan mengikuti aturan yang telah Allah berikan secara kaffah, maka ini akan menjadi bukti dan juga sekaligus pengungkapan rasa cinta kita kepada Allah, bukan hanya pengakuan di bibir, namun juga pengakuan dihati dan dilakukan dengan perbuatan. [syahid/voa-islam.com]