Oleh: Sari Isna
Pendidikan karakter adalah merupakan ruh dalam penerapan kurikulum 2013. Teorinya, penguatan pendidikan karakter sangatlah dibutuhkan dan berperan penting dalam pembentukan karakter anak didik terlebih dengan situasi dan kondisi saat ini. Pertanyaannya adalah, sudahkah pendidikan karakter ini mampu merubah perilaku ataupun pola pikir siswa?
Berbagai kejadian yang diberitakan di media sosial akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan. Kejadian tragis yang menimpa guru karena ulah dari siswanya sendiri adalah salah satu dari sekian banyaknya krisis moral yang semakin parah.
Belum lagi pada tayangan televisi setiap harinya disuguhi berita kriminal mulai dari pembunuhan sadis, tindakan-tindakan asusila, perampokan, narkoba yang semakin merajalela. Dan yang lebih parah adalah semakin rusaknya moral para remaja dengan pergaulan bebas yang luar biasa pesatnya.
Hasilnya semakin marak praktik aborsi dan pembuangan bayi yang tidak jelas orang tuanya. Belum lagi penggerebekan pesta kaum gay yang sudah terang-terangan adanya. Sangat miris, bagaimana perangai generasi muda yang sudah tersentuh bahkan menjadi pecandu pornografi tingkat akut.
Dan yang sangat disayangkan, banyak di antara perilaku tersebut dilakukan oleh anak-anak yang masih seusia SMP dan SMA. Sungguh ironi sekali, semua ini masih terjadi pada saat pendidikan karakter sedang digalakkan di sekolah-sekolah.
Inilah bukti nyata imbas dari sekulerisme yang sudah mewabah di kalangan remaja terutama para pelajar. Tanpa disadari perlahan tapi pasti kita khususnya para remaja semakin dijauhkan dari agama. Agama hanya boleh mengatur urusan ibadah personal dengan Tuhannya, bukan untuk diterapkan dalam kehidupan, bukan untuk bermasyarakat ataupun bersosial, bukan untuk berdagang, bukan untuk mengurusi masalah ekonomi terlebih masalah berpolitik dan bernegara.
Sistem sekuler inilah yang menyebabkan pola pikir para remaja semakin tidak Islami bahkan jauh dari agamanya. Tidakkah kita sangat mencita-citakan para remaja penerus generasi bangsa menjadi pemuda muslim yang tangguh dalam akhlak dan keyakinannya? Dan tentunya tidaklah mungkin kesemuanya akan terwujud jika sistem yang ada belum berlandasan syari’at Islam, hukum Allah SWT, pedoman paling sempurna dan yang terbaik dari Sang Pencipta kita.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Baqarah: 50)
Tidakkah kita merindukan sosok-sosok pemuda tangguh dan hebat seperti sosok Zubar bin Awwam. Ia adalah seorang pemuda teman diskusi Rasulullah, anggota pasukan berkuda, tentara yang pemberani, pemimpin dakwah Islam di zamannya dalam usia 15 tahun.
Sementara Thalhah bin Ubaidillah, seorang pembesar utama barisan Islam di Makkah, singa podium yang handal, pelindung Nabi saat perang Uhud berkecamuk, mendapat julukan dari Rasulullah: Thalhah si pemurah, Thalhah si dermawan di usianya yang masih sangat muda.
Zaid bin Tsabit, pemuda jenius mahir baca tulis. Hingga Rasulullah bersabda memberi perintah: “Wahai Zaid, tulislah…”. Ia mendapat tugas sangat berat, menghimpun wahyu, di usia 21 tahun. Begitupun Muhammad Al Fatih, yang yakin akan janji Rasulullah terbukti melalui tangannya, merubuhkan digjaya Konstantinopel yang tak pernah terkalahkan di usia 21 tahun memimpin lebih dari 250 ribu pasukan.
Dan kisah Mush’ab bin Umair pemuda kaya raya dengan wajah paling tampan di kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat. Mush’ab adalah salah satu sahabat Nabi yang memiliki kecerdasan dan ilmu yang mendalam. Tidak heran Rasulullah menunjuknya untuk menjadi duta pertama Islam berda’wah di Madinah.
Seharusnya kisa-kisah luar biasa di atas bisa dijadikan teladan untuk para pemuda khususnya yang masih remaja bahkan sejak usia dini. Betapa para pemuda dengan ilmu dan akhlaknya akan mampu menggenggam dunia. Kuatnya iman dan aqidah akan mampu menjadi perisai diri dari kemaksiatan yang melanggar aturan agamanya.
Tugas kitalah sebagai orang tua bisa membimbing untuk mewujudkannya. Untuk kutipan terakhir sebagai penutup, “Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan taqwa. Karena apabila dua hal itu tidak ada, pemuda tidak dianggap hadir dalam kehidupan” (Imam Syafi’i).