View Full Version
Ahad, 24 Jun 2018

Sikap Mahasiswa dalam Menghadapi Isu Deradikalisasi

Oleh: Winda Sari (Mahasiswi) 

Deradikalisasi, isu yang hingga kini masih terus saja mencuat ke permukaan tanah air. Kali ini, Kampus yang menjadi sorotan isu tersebut.  Upaya deradikalisasi membidik kampus-kampus di Indonesia yang sebagian besarnya dianggap sudah disusupi oleh paham radikal menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, mengatakan bahwa kampus sangat berpotensi menjadi sasaran pembinaan bagi ideologi-ideologi selain Pancasila. Hal ini merupakan ancaman bagi Indonesia. Kampus dinilai memiliki sarang untuk berkembang biaknya bibit-bibit radikalisme dan paham-paham yang berseberangan dengan pancasila.

Jika kita telusuri, kata radikal sendiri berasal dari kata radix yang didalam pengertian bahasa Latin bermakna akar. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip). Sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008).

Hal ini berarti makna dari radikal sendiri masih abu-abu. Menurut Barat, radikal itu apabila ada sekelompok orang yang getol mempelajari atau memperjuangkan sesuatu yang dapat mengancam imperialisasi Barat di negeri-negeri yang menjadi sasarannya.

Dari masalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada yang perlu diluruskan yaitu terkait pengertian dari deradikalisasi atau radikalisme itu sendiri. Jika dilihat dari asal kata radikal yaitu radix yang bermakna akar, sedangkan dalam KBBI radikal itu berarti mendasar, sikap politik yang sangat keras menuntut perubahan, maju dalam bertindak dan berpikir.

Hal ini menunjukkan bahwa makna radikal sendiri netral. Makna positif maupun negatif konten radikal bergantung pada konteks permasalahan yang terjadi dan siapa yang memaknainya.

Jika kita mengacu pada definisi atau makna radikal di atas, maka radikal itu sendiri berdiri atau tumbuh tidak memandang siapa dia. Tidak mengenal agama, ras, territorial, atau yang lainnya.

Akan tetapi, konten radikal itu sendiri saat ini lebih tertuju pada Islam dan pemeluknya. Sedangkan disisi lain, orang atau kelompok yang tidak begitu getol memperjuangkan Islam tapi melakukan tindakan kekerasaan, tidak pernah di labeli dengan status radikal. Dari sini bisa terlihat ketidakadilan pemaknaan yang menunjukan untuk siapa isu ini di ungkap lagi ke permukaan.

Deradikalisasi kampus, otomatis kampus yang menjadi sasaran atau arah bidik tembakkan proyek deradikalisasi. Jika kampus yang menjadi sasaran deradikalisasi maka sasarannya adalah mahasiswa muslim.

Tentu bukan mahasiswa muslim biasa. Namun, mahasiswa muslim yang berpegang teguh pada syariah Islam. Sedangkan mahasiswa muslim yang biasa-biasa saja dalam artian tidak begitu berpegang teguh pada syariah Islam dan tidak getol memperjuangkan syariah aja dibiarkan. Karena keberadaannya dianggap tidak menggangu atau mengancam.

Radikalisme merupakan istilah yang mengambang maknanya. Tidak hitam atau putih melainkan masih abu-abu. Karena hal itu, akhirnya istilahnya digunakan untuk mencari pembenaran, yakni adanya program deradikalisasi.

Salah satunya deradikalisasi kampus dan  ini digunakan oleh Barat dalam aksinya untuk memojokkan Islam bahwa Islam itu agama yang keras. Sehingga dapat tercipta framing negatif tentang Islam. Juga upaya penjauhan muslim dari identitasnya. Hal ini adalah upaya untuk menghancurkan Islam secara halus. Terlebih lagi di kalangan mahasiswa.

Mahasiswa yang dikenal sebagai agen perubahan dimanfaatkan oleh Barat dengan menyerbu pemikiran mereka yang bisa dibilang masih labil. Serangan-serangan Barat sangat halus. Mempengaruhi pemahaman dan budaya pergaulan dan tingkah laku sesuai dengan standar barat. Hal ini secara tidak sadar akan melemahkan pemikiran mahasiwa sehingga mereka masuk ke dalam tipu daya Barat.

Namun, ada sebagian mahasiswa yang paham eksistensinya sebagai agen perubahan. Mereka tidak tinggal diam ketika bangsanya ada dalam jurang kehancuran. Banyaknya masalah yang mendera bangsa ini, menjadikan mereka peduli terhadap nasib bangsanya.

Saat ini Indonesia darurat deradikalisasi. Status mahasiswa yang terkenal kritis semestinya bisa mencari tau tentang konspirasi di balik adanya deradikalisasi ini. Mahasiswa yang peka akan menggali sumber-sumber untuk dijadikan informasi terkait isu-isu yang kian hari kian memanas, khususnya isu deradikalisasi ini. Acuh tak acuh bukanlah sikap mahasiswa, terlebih sikap pemuda pembawa agen perubahan.

Perguruan tinggi memanglah tempat untuk menuntut ilmu. Namun, bukan berarti mahasiswa dicukupkan hanya terpaku pada tugas kuliah saja. Selama gelar pemuda masih melekat pada diri, maka selama itu pula perubahan ada dalam genggaman. Pemuda seharusnya tak mudah untuk dirasuki oleh pemikiran-pemikiran Barat yang menyesatkan.

Belajar dari sejarah kisah sebuah peradaban emas. Dahulu, Islam pernah berjaya, menguasai hampir 2/3 dunia. Perlu diketahui bahwa ulama-ulama, ilmuwa-ilmuwan bahkan panglima perang terhebat tercetak dari perdaban Islam ini, dan mereka itu adalah pemuda.

Hal ini berarti peran pemuda dalam membangun peradaban gemilang seperti dulu sangat diperlukan. Tetapi jika pemuda saat ini hanya diam saja, maka peradaban gemilang itu tidak akan tercapai. Melainkan kehancuran yang akan didapatkan.

Oleh karena itu, gerak pemuda  sangat menentukan masa depan. Tak boleh ia lengah atau hilang dalam memperjuangkan peradaban. Terlebih lagi,  hendaknya keimanan tak lemah sehingga meninggalkan syariah Islam dan mengikuti ajakan Barat.

Dengan adanya isu deradikalisasi seharusnya semangat memperjuangkan syariah semakin membara. Layaknya para sahabat Nabi dahulu. Seberat apapun musuh menyerang, akan ditangkas dengan keimanan. Mahasiswa muslim harus sadar dan bangkit dengan menjelaskan kepada umat tentang syariah islam dan upaya barat dalam skenario menghancurkan islam ini. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version