Oleh: Rakhmalini
Tak semua orang peka dengan hidayah yang ditunjukkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jalan kebenaran tak selalu nampak indah bagi sebagian orang. Ada yang berbahagia melaluinya hingga menemukan iman. Pun sebaliknya, lunglai di tengah jalan dan menyerah dalam kekufuran.
Salman al-Farisi ra., seorang pemuda penduduk kota Ashbahan dari desa Jayyan. Gelar al-Farisi diperoleh dari nama tempat ia berasal. Al-Farisi dalam bahasa Arab berarti Persia. Tugasnya adalah sebagai penjaga api, amanat dari sang ayah – pemimpin kampung, orang paling kaya di sana dan paling mulia kedudukannya. Mereka menganut agama Majusi penyembah api. Salman teguh memegang amanat hingga tak sedetik pun api dibiarkan padam saat dalam penjagaannya.
Suatu ketika sang ayah memerintahnya pergi ke ladang miliknya dan memenuhi beberapa tugas yang diinginkan. Dalam perjalanan itulah awal mula kegundahan menyeruak di dada Salman. Ia melihat perbedaan penyembahan mengusik rasa penasarannya. Langkah kaki menuntunnya ke dalam satu gereja di mana banyak orang sedang melaksanakan ibadah.
Takjub, itulah yang dirasa. Diceritakan kepada ayahnya apa yang dilihat dan dialaminya. Ketertarikannya terhadap agama Nasrani serta-merta ditolak oleh sang ayah. Langkah Salman tercekal hingga kaki terbalut rantai dan terpenjara di rumah sendiri.
Apakah Salman menyerah? Tidak! Pencariannya akan kebenaran terus bergolak. Rantai pun tak mampu mengekang langkahnya. Salman yang memiliki pemikiran terbuka dan bebas dari taklid buta tak kemudian putus asa. Ia meminta bantuan kepada kaum Nasrani untuk mengabarkan kepadanya jika ada pedagang dari Syam. Ia ingin mencari kebenaran itu langsung di tempat turunnya agama itu. Ia akan berangkat ke Syam.
Perjalanan panjang menuju Syam ditempuh dengan keteguhan. Saat sampai di Syam, pencarian itu pun dimulai. Langkah pertama, ia pergi menemui seorang pendeta di gereja. Perangai buruk sang pendeta membuat Salman kecewa.
Hingga sang pendeta meninggal, Salman bertanya dan meminta wasiat siapa yang akan diikutinya setelah pendeta itu tiada. Sang pendeta kemudian menunjuk kepada seorang laki-laki di Musil, kota besar di barat laut Irak. Berangkatlah ia ke Irak. Tinggal disana hingga sang pendeta meninggal. Salman pun meminta wasiat sebelum meninggalnya, siapa yang harus ia datangi setelah kematian sang pendeta.
Wasiat sang pendeta mengarahkannya hingga menempuh perjalanan ke Nasibin-sebuah wilayah antara Musil dan Syam. Hal serupa kembali terjadi. Sosok yang diikuti pun meninggal. Wasiat kembali diminta. Salman diperintahkan untuk bergabung dengan seseorang di Amuriyah, sebuah kota yang merupakan bagian dari wilayah timur Kekaisaran Romawi.
Setelah mendatangi orang yang dimaksud, Salman kemudian bekerja dan mendapatkan beberapa ekor sapi dan seekor kambing dari hasil jerih payahnya. Lagi, ketika ajal mendekati laki-laki Amuriyah tersebut, Salman pun mengulang permintaannya. Ternyata pencariannya belum usai. Dan kali ini jawabannya berbeda.
Laki-laki itu berkata, "Wahai anakku! Saya tidak mengenal seorang pun yang berpegang pada perkara agama yang sama dengan kita. Namun, seorang Nabi akan datang pada masa kehidupanmu, dan Nabi ini berada pada agama yang sama dengan agama Ibrahim."
Laki-laki itu menggambarkan sosok Nabi yang akan diutus. Digambarkan bahwa sosok itu berasal dari negeri Arab dan akan hijrah ke wilayah antara dua wilayah yang dipenuhi batu-batu hitam (seolah telah terbakar api). Ada pohon-pohon kurma tersebar di tengah-tengah kedua tanah ini. Dia dapat dikenali dengan tanda-tanda tertentu. Dia (akan menerima) dan makan (dari) makanan yang diberikan sebagai hadiah, tetapi tidak akan makan dari sedekah. Stempel kenabian akan berada di antara pundaknya. Jika engkau dapat pindah ke negeri itu, maka lakukanlah. Wasiat itulah yang menuntunnya hingga ke negeri Arab.
Salman berangkat ke negeri Arab dengan memberikan sapi-sapi dan kambing yang dimilikinya. Namun ketika mendekati Wadi al-Qura (dekat dengan Madinah), Salman dijual sebagai budak kepada seorang Yahudi. Kemudian sepupu majikannya membeli Salman dan membawanya ke Madinah. Hingga satu hari ia mendengar Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa salam hijrah ke Madinah. Di situlah awal pertemuannya dengan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa salam.
Pertemuan pertama pun terjadi. Salman memberikan sedekah kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa salam. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk memakannya namun beliau tidak memakan pemberian itu. Keyakinan muncul pada diri Salman bahwa mulai tampak ciri kenabian dari wasiat yang ia dapat.
Lalu Salman kembali mendatangi Rasulullah, namun kali ini ia datang membawa hadiah. Ia meminta Nabi memakan hadiah darinya karena tak melihat Nabi memakan pemberian sedekah darinya. Lantas Nabi memakannya dan memerintahkan para sahabat melakukan hal yang sama. Pertemuan kedua menambah keyakinannya akan ciri kenabian Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa salam.
Ingin semakin meneguhkan keyakinan akan kenabian Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa salam, Salman kembali mendatangi Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa salam. Ketika itu Nabi tengah menghadiri pemakaman salah seorang sahabatnya. Salman menyapa Nabi dengan sapaan "Assalamu'alaikum” kemudian berputar ke belakang mencoba mencari stempel kenabian. Nabi menyadari apa yang dilakukan Salman. Lalu beliau melepaskan kain di punggungnya dan membiarkan Salman melihat stempel itu.
Salman berkata: "Saya mengenalinya. Saya membungkuk dan menciumnya dan menangis". Rasulullah SAW memintanya untuk berbalik dan menceritakan apa yang dilakukan oleh Salman. Maka Salman pun menceritakan kisahnya kepada beliau. Beliau terkagum-kagum dan berbahagia mendengarnya, demikian pula para sahabat. Mereka takjub dan berbahagia karenanya.
Perjalanan panjang itu telah terjawab. Sosok manusia pilihan, Nabiyullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa salam, telah ia temukan. Islam telah di pelukan. Salman al-Farisi teguh dalam keimanan. []