Oleh: Astia Putri, SE*
Kita mungkin sering mendengar celotehan, “Wah, kok gak konsen sih, kurang piknik nih.”
Yupz, kepenatan hidup yang dirasakan manusia pada saat ini mendorong adanya keinginan untuk setidaknya terlepas sejenak dari rutinitas yang membosankan. Realitasnya, kecenderungan manusia untuk senantiasa memenuhi rasa ini ditangkap juga oleh pemerintah sebagai potensi untuk menggalakkan pariwisata demi meraih keuntungan atasnya.
Jika ditanya mengenai potensi, masing-masing daerah akan dengan bangga menyebutkan berbagai potensi baik itu dari sisi keindahan alam hingga budaya dan tradisi setempat. Kita lihat saja hampir setiap daerah memiliki event atau agenda unggulan demi menarik banyak wisatawan.
Tersebutlah Jember Fashion Carnival misalnya. Salah satu karnaval peragaan busana unik yang paling terkenal setingkat nasional bahkan internasional. Tak hanya itu, potensi pegunungan Indonesia yang menyimpan pesona hingga legenda turut menjadi magnet memikat. Diantaranya Festival Gunung Slamet, Festival Bromo dan lain sebagainya.
Harus diakui, sektor pariwisata telah menjadi sektor andalan pemerintah belakangan ini. Mengingat banyaknya sumber pemasukan yang dapat diperoleh dibaliknya. Semisal sektor jasa travel, penginapan atau hotel, restoran, salon dan spa, penjualan oleh-oleh dan lain sebagainya. Hanya saja, harus diakui pula sektor pariwisata merupakan sektor yang rentan dengan invasi budaya. Berbagai jasa yang tersedia kerapkali menyesuaikan tipe wisatawan yang datang. Terlebih jika yang datang kebanyakan turis mancanegara. Dapat dipastikan daerah tersebut akan menyiapkan berbagai fasilitas yang menyesuaikan kebutuhan turis tersebut meski kadang itu tidak sesuai dengan budaya setempat.
Tidak hanya menyerang secara sosial dan budaya, pariwisata juga menjadi gerbang pembuka kesyirikan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pariwisata dengan sasaran menghidupkan kearifan lokal sesungguhnya mengandung beberapa bentuk ajaran yang masih disusupi animisme dan dinamisme. Hanya karena alasan keunikan serta bernilai jual, akhirnya pemerintah secara intens menerapkannya dalam berbagai program pariwisata.
Semisal beberapa festival di daerah Pulau Jawa disisipi dengan ritual tertentu yang sarat dengan kepercayaan akan hal-hal mistis semisal ruwatan. Ruwatan merupakan salah satu ritual yang dilakukan untuk membuang sial. Di beberapa daerah sering dihubungkan dengan sosok-sosok mistis yang mengatur keberuntungan dan kesialan, hingga akhirnya sosok ini dirayu dengan persembahan (sesajen) yang diyakni dapat menangkal kesialan dan bahaya tersebut.
Daerah lain semisal di Lombok, juga dikenal adanya festival Bau Nyale Lombok yang mengandung ritual syirik. Bau Nyale Lombok merupakan upacara adat yang berisi kegiatan menankap nyale yakni cacing laut yang hanya ada di waktu tertentu sepanjang tahun. Tradisi ini kerap dikaitkan dengan legenda Putri Mandalika sebagai reinkarnasi dari nyale yang bercahaya. Masyarakat Lombok percaya ketika seseorang mampu menangkap cacing tersebut maka akan membawa keberuntungan bagi kehidupannya.
Contoh lain di daerah Palu, sebuah kota yang belakangan menjadi buah bibir karena bencana gempa dan tsunami dahsyat yang meluluhlantahkannya. Mereka sangat bangga dengan Festival Pesona Palu Nomoni yang memiliki salah satu tradisi unik bernama ritual penyembuhan Baliya Jinja khas Suku Kaili. Ringkasnya, ritual ini adalah ritual persembahan berupa sesajen yang dilarung ke laut sebagai bagian dari prosesi penyembuhan kepada leluhur melalui dukun.
Hal yang disayangkan bahwa orang-orang yang terlibat dalam ritual ini justru kebanyakan adalah muslim yang seharusnya terikat pada sesembahan kepada ALLAH SWT semata. ALLAH SWT sangat mengutuk tindakan syirik dan mengkategorikan ini sebagai perbuatan yang mendatangkan dosa paling besar dan tidak dapat diampuni. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S An-Nisa: 48)
Lantas apa akibat yang akan terjadi jika manusia banyak yang menyekutukan ALLAH?
Kondisi ini akan mendatangkan bencana dan azab dari ALLAH “…dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman” (Q.S Al-Qashash: 59). Sebagai sebuah pembelajaran, muhasabah merupakan aktivitas yang seharusnya tidak lepas dari keseharian kita, termasuk ketika kita mengaitkan dengan banyaknya bencana yang terjadi belakangan di negeri Indonesia tercinta ini.
Sebagai seorang yang beriman terhadap kekuasaan pencipta dan pengatur alam semesta, tidak semestinya kita melalaikan perihal bencana alam sebatas peristiwa alam yang terjadi dengan sendiri dan tidak ada hubungannya dengan perbuatan manusia. Setiap peristiwa kecil seperti jatuhnya dedaunan kering hingga yang besar seperti pergeseran lempeng bumi takkan terlepas dari kehendak ALLAH yang dengan mudah mengubah keteraturan tersebut. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S Ar-Rum: 41)
Islam dan Pariwisata
Kecenderungan manusia untuk mengagumi keindahan alam memang tak bisa dibantahkan ada dalam setiap diri manusia. Pun Islam tidak melarang pemenuhan naluri ini. Islam bahkan mendorong manusia untuk melakukan rihlah (perjalanan)dalam rangka melakukan tadabbur (memikirkan dan menghayati)keMahaKuasaan ALLAH SWT. Artinya arahan ini menunjukkan perintah untuk melakukan sesuatu aktivitas wisata yang mampu mendekatkan diri kepada ALLAH, bukan justru tergelincir dalam kemaksiatan dan kelalaian.
Tidak hanya sampai ranah individu, Islam pun mendorong sampai pada tataran masyarakat dan negara. Daulah Islam tidak akan melakukan optimalisasi sektor pariwisata dalam rangka menjadi keran sumber perekemonian negara. Pariwisata dioptimalisasi sebagai upaya dakwah praktis dengan menunjukkan tanda kekuasaan ALLAH dan peninggalan sejarah peradaban Islam yang gemilang. Daulah pun tidak akan membangun berbagai infrastruktur penunjang pariwisata yang akan mendatangkan kemudaratan dan kemaksiatan. Sebaliknya fasilitas yang dibangun semata-mata hanya untuk mempermudah wisatawan semakin taat pada ALLAH dimana pun ia berada.
Inilah gambaran kesungguhan dan totalitas Islam dalam mengatur manusia agar terhindar dari azab ALLAH akibat berbagai kerusakan, kemaksiatan dan keangkuhan manusia meninggalkan syariat ALLAH. Sudahkah hingga sejauh ini kita berkaca? Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah Member Komunitas “Pena Langit”
Ilustrasi: Google