View Full Version
Jum'at, 19 Oct 2018

Indonesia Darurat Maksiat, Saatnya Bertobat

Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S*

 

Negeri ini dirundung duka. Berbagai bencana datang silih berganti. Usai Lombok bergoncang, berikutnya Palu. Donggala, Sigi yang bergoyang dan diterjang tsunami serta ditelan likuifasi. Selang satu minggu kemudian, Bali dan Situbondo yang mendapat giliran. Tanah bergoyang, meluluhlantakan bangunan dan menebar ketakutan.

Sudah semestinya negeri ini berkaca. Apa yang salah? Dosa apa yang telah mengundang murkaNya?  Sungguh bencana bukanlah semata kehendak alam, melainkan ada pesan ilahi yang terselip di dalamnya.

Sebagaimana Umar Bin Khatab pernah mengetukkan tongkatnya ke tanah tatkala gempa mengguncang Kota Madinah Al-Munawarah. Ia berkata dengan dengan raut penuh kecemasan, "Wahai manusia, dosa apa yang telah kalian perbuat?"

Sungguh ini menunjukkan bahwa ada hubungannya antara bencana dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia.

Jika kita berkaca yang terjadi pada negeri ini, sungguh kita akan mendapati betapa banyak kemaksiatan yang legal berkeliaran. Dengan dalih 'ini bukan negera agama' maka seolah negeri ini bebas melakukan apapun, selama dianggap memberi manfaat dan tidak merugikan siapapun. Ini sangat khas dengan prinsip ideologi kapitalis: tak peduli halal-haram, yang terpenting menguntungkan.

Kita bisa saksikan dengan telanjang bahwa di negeri ini prostitusi tak dibasmi melainkan dilokalisasi. Narkoba tumbuh subur dari pelajar hingga aparat. Seks bebas kian akrab di kehidupan muda-mudi, hingga aborsi dan menikah karena hamil duluan pun menjadi hal lumrah dijumpai. Belum lagi miras, yang tak dilarang sama sekali, hanya ditertibkan saja. Kesyirikan berbalut adat dan budaya dilestarikan, dianggap sakral dan tak boleh disudahi. Itu kearifan lokal, kata mereka. Aksi umbar aurat pun tak jadi soal sebab itu semua adalah hak asasi.

Bukan hanya itu, negara pun mempertontonkan kemaksiatan yang nyata: hutang berbasis riba, menjual aset-aset negara, korupsi berjamaah, menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan, dan sederet hal lainnya yang bertentangan dengan syariat.

Sungguh memperihatinkan. negeri dengan mayoritas penduduknya adalah muslim, nyatanya tak menjadikan Islam sebagai sistem hidupnya. Sebaliknya mereka hidup berasaskan pada sekulerisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan dan bangga mengadopsi gaya hidup liberal ala barat. Betapa negeri ini telah darurat kemaksiatan. Yang mengkhawatirkan, jika ini terus dibiarkan, maka negeri ini akan terus dirundung petaka.

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. [al-Ankabut/29 : 40].

Maka, sangat dibutuhkan gema suara-suara kebenaran yang mampu membungkam laju maksiat. Sejatinya menegakkan amar ma'ruf nahyi mungkar merupakan wujud ketakwaan kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama. Sebab Allah mewajibkan setiap diri kita untuk saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran dan mencegah dalam kemungkaran.

Ketika kita menawarkan solusi syariat Islam atas segala problematika yang membelit negeri ini, maka sesungguhnya hal tersebut merupakan wujud kepedulian dan cinta kita terhadap negeri. Karena penerapan syariat Islam adalah kunci kebahagiaan dan keberkahan bagi manusia. Alangkah mirisnya jika para penyeru taat justru dilabeli pemecah belah bangsa dan layak dikriminalisasi. Sebaliknya, para pemahat maksiat dibiarkan dan dianggap  hak asasi.

Ironis! Sungguh Indonesia darurat maksiat, saatnya bertobat! (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah penulis buku.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version