View Full Version
Rabu, 14 Nov 2018

Generasi Milenial, Kepada Siapa Mesti Berkaca?

Oleh: Salsabila Maghfoor (Jurnalis, Pegiat Literasi)

Beberapa waktu lalu, dunia sempat digegerkan oleh kematian salah satu artis Korea yang dikabarkan meninggal bunuh diri. Entah sudah kali keberapa, yang jelas ini bukanlah kali pertama kasus ini terjadi.

Ada banyak spekulasi yang beredar terkait penyebab kematian Sang artis. Beberapa menceritakan bahwa ia mengalami depresi. Ada pula yang mengatakan, ia mengalami suatu kondisi dimana seseorang merasa bingung untuk apa ia hidup.

Semacam mengalami kerancuan pemaknaan hidup. Yang mengherankan, selepas itu justru bermunculan para pemuja sang artis yang sampai ingin melakukan hal yang serupa. Di Malang juga sempat ditemukan seorang 'Shawol' yang coba melakukan percobaan bunuh diri pasca kematian Kim Jonghyun 'Shinee'.

Bagi sebagian orang, mengidolakan sesuatu atau seseorang adalah satu hal yang akan memuaskannya. Hal ini memang diakui dalam Islam. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam kitab Nidzamul Islam, bahwa manusia memang memiliki 3 naluri yakni naluri berkasih sayang (gharizah Nau'), naluri mensucikan/ mengquduskan sesuatu (gharizah tadayyun), dan naluri untuk mempertahankan diri (gharizah baqa'). Nah, keinginan untuk mengidolakan seseorang atau sesuatu ini tergolong dalam kategori gharizah tadayyun ; inginnya men-spesial-kan.

Dalam konteks idola, ia adalah cerminan yang dijadikan patokan, dijadikan teladan dan inspirasi setiap perbuatan. Maka tidak berlebihan bila dikatakan, salah menemukan idola akan menyebabkan kita nantinya terjerumuskan.

Sebagai seorang muslim, sampai hari ini tidak ada yang paling patut dijadikan idola selain Rasulullah SAW. Banyak penulis non-muslim yang juga mengagumi keagungan pribadi beliau. Bahkan ada yang menobatkan beliau sebagai tokoh yang paling berpengaruh karena kepemimpinan dan kepribadiannya yang menginspirasi banyak kalangan.

 

Tapikan, itu Rasulullah, wajarlah jika seperti itu

Baiklah kalau begitu, marilah kita belajar dari tokoh sekaliber Umar bin Abdul Aziz, atau Salahuddin Al-Ayyubi, atau Muhammad Al-Fatih. Mereka bukanlah golongan Sahabat yang hidup pada zaman Rasulullah dan dapat meneladani beliau secara langsung. Namun mereka mampu menjadi tokoh-tokoh hebat pada masanya, bahkan sangat fenomenal dan dikenang hingga hari ini. Gambaran sosok penakluk ada pada Salahuddin dan Al-Fatih. Gambaran sosok pemimpin yang bijaksana, ada pada Umar bin Abdul Aziz.

 

Apa yang menjadikan mereka layak untuk diidolakan?

Tentu saja karena ketaatan dan keimanannya yang akhirnya membuat kita -bila mengidolakannya- minimal akan selalu terinspirasi untuk melakukan banyak ketaatan yang serupa. Motivasi keimanan inilah yang paling patut untuk diperhitungkan. Kita tentu tahu, sosok Al-Fatih tidak pernah meninggalkan sholat malam semenjak ia baligh, dan dengan itu ia mendorong pasukannya untuk tidak meninggalkan ketaatan barang setitik pun. Sebab itu justru akan menjauhkan pertolongan Allah atas Ummatnya.

Tapi sayangnya, potret semacam itu sangat jauh dari benak anak-anak remaja muslim pada umumnya. Bila ditanya siapa idolanya, bisa dipastikan yang paling banyak keluar dari lisan-lisan mereka adalah nama-nama dari public figure yang seringnya menghiasi layar kaca atau media.

Tidak heran, bila pada akhirnya arah pandang hidupnya juga akan sama seperti para figure kebanyakan. Yang dicari hanya yang berlandas materi, hanya ingin eksistensi dan segala yang berasas duniawi. Jauh dari pandangan capaian akhirat kedepan. Padahal nantinya kita akan dibangkitkan, dan kita akan dikumpulkan bersama orang yang kita cintai. Sungguh merugi bukan, bila selama di dunia hanya mengidolakan mereka yang justru nantinya akan menjerumuskan.

Semua ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Anak-anak kita diracuni secara massif oleh media mainstream soal Food, Fun, serta Fashion. Gambaran kehidupan yang dipertontonkan hanyalah soal kesenangan. Secara tidak langsung, tentu saja ini mematikan mentalitas mereka dalam hidup. Mereka cenderung menjadi pribadi yang tidak siap bila harus menghadapi tantangan, atau dihadapkan pada pilihan langkah perjuangan. Mereka didesain untuk menjadi generasi pragmatis yang krisis.

 

Siapa aktor dibalik itu?

Tentu saja negara adidaya yang tidak menginginkan kebaikan berkembang dari anak-anak kaum muslimin. Hal ini mereka anggap sebagai suatu ancaman yang membahayakan, dan akan mengancam eksistensi mereka sebagai negara superpower, yang padahal saat ini sedang diambang batas pesakitan dan akan menemui ajalnya.

Maka dari itu kita mesti melawan narasi jahat yang berusaha menghancurkan generasi kita lewat segala entertaint yang merusak. Kita mesti mengambil peranan terdepan untuk melindungi generasi kita.

Namun, upaya lingkungan saja tidak cukup. Mesti ada upaya sistematis sebagaimana yang dipaparkan oleh Dr. Euis, guru besar IPB, yang nantinya akan melindungi rakyatnya juga dengan upaya yang tersistem. Tidak sekedarnya, tidak ala kadarnya. Dan ini tentu hanya akan lahir dari potret negara yang secara serius ingin mengurusi kesejahteraan rakyatnya.

Sayangnya, hari ini kebanyakan potret negara hanyalah soal kepentingan dan pesanan. Semacam industri, ada uang ada barang. Atau semacam: anda membayar, kami melayani. Maka jangan heran bila pengurusan rakyat sangat jauh dari yang diharapkan.

Terlebih lagi soal masa depan generasi, seperti luput dari perhatian Pemerintah. Revolusi mental yang dicanangkan nyatanya tidak memberikan pengaruh lain selain hanya angan kosong yang menghiasi iklan kampanye. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version