Oleh: Hamsina Halik, A.Md
Tak terasa kita sudah berada di penghujung tahun menuju awal tahun baru. Perayaan Natal dan tahun baru Masehi akan menghiasi penghujung tahun yang merupakan perayaan umat Kristen dan budaya orang kafir. Sayangnya, tak sedikit umat muslim yang ikut merayakannya. Kegiatan tersebut seolah sudah menjadi kebiasaan dengan dalih toleransi antar umat beragama.
Sekiranya ada yang harus kita katakan kepada mereka, maka inilah jawabannya, "Maaf, saya tidak merayakan Natal dan Tahun Baru!". Dengan penyampaian yang halus dan lembut namun tegas, kesalahpahaman insya Allah tak akan terjadi.
Islam Mengajarkan Toleransi
Islam sebagai agama yang sempurna datang dengan seperangkat aturannya termasuk toleransi. Satu hal yang perlu diketahui bahwa toleransi yang dimaksud adalah memberikan kebebasan atau membiarkan non muslim untuk merayakan hari besar mereka tanpa kita mengusiknya atau ikut terlibat di dalamnya. Tinggalkan segala aktivitas keagamaan mereka, tak usahlah kita ikut-ikutan. Karena menurut syariat Islam, segala praktek ibadah mereka itu menyimpang dari ajaran Islam dan merupakan bentuk kekufuran. Jika seorang muslim ikut berkontribusi dalam perayaan mereka, maka akan termasuk dalam golongan mereka. Sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW:
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nashrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya” (HR Tirmidzi, hasan)
Dari Ibn Umar beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud)
Inilah yang tak diketahui oleh sebagian masyarakat saat ini. Umat Islam berbondong-bondong membantu di hari perayaan mereka seperti membersihkan tempat ibadahnya, berkunjung di saat hari rayanya, bahkan sampai rela menjaga dan mengamankan perayaan keagamaan mereka di tempat-tempat ibadahnya. Inilah bentuk toleransi yang kebablasan itu.
Sebagaimana pernah ditawarkan oleh kafir Quraisy pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam ketika Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menawarkan pada beliau:
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425)
Itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga Allah pun menurunkan ayat:
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Bagaimana Bentuk Toleransi dalam Islam?
Beberapa bentuk toleransi yang diajarkan dalam Islam, diantaranya:
Pertama, berbuat baik kepada non muslim sebagaimana halnya kepada sesama umat Islam. Hal ini berkaitan dengan perkara di luar masalah akidah atau agama. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 9: 489)
Dan Firman Allah SWT:
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Kedua, menjalin hubungan kerabat, orang tua ataupun saudara meskipun ia non muslim. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Ketiga, saling memberi hadiah kepada non muslim sekadar menjalin hubungan baik, agar mereka tertarik dengan Islam, atau pun dalam rangka mendakwahi mereka dan agar mereka tak menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi SAW, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi SAW pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.”
Kemudian Rasulullah SAW didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?”
Nabi SAW menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari)
Dan masih banyak contoh lainnya, Islam mengajarkan toleransi selama toleransi itu bukan dalam hal yang berkaitan dengan agama. Karena, untukku agamaku dan untukmu agamamu. Wallahu a'lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google