Komnas perempuan menolak pernikahan dini. Mereka menuntut agar usia minimal bagi wanita yang akan menikah dinaikkan menjadi 19 tahun. Isu KDRT, akses pendidikan yang terhambat, hingga perceraian menjadi alasan kampanye larangan pernikahan dini. Ajakan ini gencar dipromosikan oleh para figur publik dari kalangan artis dan para pegiat lembaga swadaya masyarakat peduli perempuan.
Di sisi lain MUI menilai, revisi UU untuk menaikkan usia minimal menikah bagi perempuan bisa menimbulkan polemik. Di tengah derasnya arus liberalisasi pergaulan dan merebaknya pornografi dan pornoaksi dalam berbagai media menjadi kekhawatiran tantangan tersendiri.
Pasalnya, generasi muda Indonesia kini dijejali tayangan televisi, game dan media cetak serta poster raksasa sepanjang jalan yang bermuatan pornografi. Menampilkan perempuan dalam balutan busana serba mini. Iklan selingan pada acara anak-anak pun menampilkan artis dengan tarian erotis. Hingga akhirnya diprotes dan dilarang tayang oleh KPAI.
Fakta buram ini adalah cermin realitas muda-mudi harapan bangsa. Mereka dilarang menikah dini. Mereka pun dipaksa menahan syahwat hingga usia jelang 20-an.
Sedangkan mereka didera dan distimulus suguhan merangsang syahwat sejak usia sangat dini, setiap hari tanpa henti. Jika dilihat dari perspektif ini, agaknya menaikkan usia minimal pernikahan tanpa mereduksi stimulus seksual sangat tidak adil.
Dinilai secara kritis dan radikal, ada dua pilar mendasar dan vital yang harusnya hadir sebagai solusi polemik pernikahan dini ini. Pilar pertama adalah pendampingan dan edukasi dari keluarga. Pilar kedua yang tak kalah penting adalah regulasi pemerintah yang harus melindungi fitrah seksualitas generasi muda Indonesia.
Keluarga menjadi sekolah pertama tempat ditanamkan nilai dan norma. Pada sekrup inilah kepribadian generasi muda dibentuk. Standar baik-buruk dan benar-salah dari agama dan lingkungan sosial, dikenalkan sedari dini oleh orang terdekat yakni orang tua dan anggota keluarga lainnya. Keberhasilan proses penanaman pondasi dasar karakter generasi muda di tahap ini akan sangat menentukan masa depan mereka.
Adapun peran aktif pemerintah agar pergaulan generasi muda terjaga secara produktif sangat strategis untuk diaplikasikan dalam berbagai lini kehidupan. Berrbagai kementrian bisa dikerahkan untuk bersinergi membangun ketahanan negara bagi ketangguhan karakter generasi muda.
Bidang pendidikan dan kebudayaan dapat fokus merancang sistem pendidikan yang ampuh untuk membangun karakter generasi yang kokoh dan bangga dengan identitas agama dan budaya pribumi.
Kebijakan ini dapat disinergikan dengan Kementrian Kominfo dengan membatasi bahkan memblokir habis konten pornografi dalam berbagai kanal media. Kemenkominfo jelas memiliki power untuk melakukan hal produktif semacam itu, tinggal mau atau tidak?
Selain itu, kementrian agama juga dapat dilibatkan dalam edukasi dan penguatan karakter dengan mengaplikasikan nilai-nilai syariat bahkan bisa saja digandeng pihak DPR untuk melegislasi undang-undang sesuai syariat.
Guna melengkapi edukasi dan meminimalkan resiko pernikahan, pihak kemenkes dapat turut serta bersinergi memberi penjelasan yang gamblang mengenai cara menjaga kesehatan reproduksi. Bukan hanya aman secara fisik, namun juga harus memperhatikan aspek spiritual, yakni melakukan proses reproduksi dengan pasangan halal.
Jika langkah-langkah komprehensif ini telah ditempuh, barulah political decision dengan revisi UU dapat diambil. Jangan asal kampanye tapi mengabaikan akar masalah, yakni budaya pergaulan yang bebas dan berkiblat pada budaya barat atau tren pop di negeri ginseng, Korea yang serba permisif.
Segala peraturan yang diambil di Indonesia haruslah mencerminkan budaya timur dengan berlandaskan nilai agama dan sosial yang telah mengakar. Jati diri negeri muslim jangan tergadai hanya karena proyek feminisme ala Barat dengan mendudukan perempuan setara dengan laki-laki secara salah kaprah.
Dalam Islam, perempuan memiliki kemuliaan, sebagai anak ia mulia, sebagai istri ia mulia, apalagi sebagai ibu, keutamaannya bahkan tiga kali di atas seorang ayah.
Maka bukan persoalan dini atau tidaknya sebuah penikahan, melainkan ini soal bagaimana optimalisasi edukasi bagi generasi muda. Ini juga berkait erat dengan regulasi pemerintah dalam menjaga ketahanan negara terhadap serangan budaya asing yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa.
Benahi dulu PR besar negara dalam proteksi budaya, maka generasi kelak akan mampu produktif, dengan menikah dini atau menikah di usia matang. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Yuyun Novia (Revowriter Chapter Bogor)