View Full Version
Kamis, 18 Apr 2019

Famous but Dangerous

Oleh:

Astia Putri, SE, MSA, Member Komunitas “Pena Langit”

 

ADANYA menjadi hal yang biasa ketika kita memperhatikan anak muda hingga orang dewasa saling unjuk diri atas bintang yang diraih dalam permainan Mobile Legend yang tengah digandrungi saat ini. Seorang gamer dalam wawancara yang dilakukan di salah satu stasiun TV terkemuka menyebutkan pride dalam permainan itu muncul karena keberhasilan terus meningkatkan skill hingga mampu terkenal sampai menempati rank internasional.

Sisi lain dengan kemahsyuran nama yang akhirnya menguasai leader board di tingkat dunia ini memberikan efek yang juga dianggap bermanfaat, yakni adanya pemasukan yang berhasil diraih dengan semakin meningkatnya bintang yang didapat serta peluang kerja sebagai joki akun demi memuaskan naluri kehebatan yang coba dimunculkan masing-masing manusia dihadapan lawan. Ini pula yang sampai ke telinga pemerintah saat ini, hingga menjadi salah satu industri yang dilirik untuk terus dikembangkan kedepannya.
Telkom Indonesia sebagai salah satu BUMN memiliki ambisi besar untuk menjadi pemain besar dalam industri game di Indonesia.

Joddy Hernady selaku EVP Digital & Next Business Telkom berujar industri game memiliki tingkat pendapatan yang paling tinggi dibandingkan jenis hiburan lainnya, bahkan bisa tujuh kali lipat dari pendapatan sebuah film. (Marketeers, 12/4). Para calon presiden dan wakil presiden dalam debat capres terakhir bahkan saling tebar janji terbaik demi mendukung industri ini. Sandiaga menyatakan bahwa pengembangan ekosistem berbasis ekonomi digital haruslah berujung kepada peluang lapangan pekerjaan bagi anak-anak muda. (CNBC Indonesia, 15/4).

Jika dikatakan permainan hanyalah sebuah aktivitas yang banyak mengandung kesia-siaan, maka para gamers patut protes karena tidak juga bisa dikatakan demikian. Sekarang para gamers telah mengenai istilah esport yang memang berbeda dengan gaming yang distigmakan penuh dengan kesia-siaan. Esport adalah game yang dipakai untuk profesi dan kompetisi, sedangkan gaming hanya dimainkan untuk mengisi waktu luang. Esport juga dikatakan sebagai aktivitas olahraga karena sangat berhubungan dengan ketahanan fisik dan strategi. Ini juga didukung oleh realitas bahwa esport merupakan salah satu cabang olahraga yang akan dilombakan pada Sea Games di Filiphina 2019 nanti. Hal ini berarti esport memiliki “nilai” bagi sang pemain yang dapat menggambarkan adanya output manfaat dibalik aktivitas ini.

Sekilas memang tak bisa dibantahkan ditengah kemerosotan ekonomi yang menimpa negeri, kemilau potensi industri game begitu mempesona. Permintaan yang tinggi dalam industri game masuk dalam kalkulasi pemerintah dalam mengarahkan perhatian lebih. Tapi sayangnya, dampak bobroknya kualitas generasi menjadi abai ditanggulangi. Kenyataannya tidak sedikit orang tua yang mendapati anaknya kecanduan hingga lupa waktu dan lupa interaksi dengan dunia nyata. Anak-anak bahkan berontak jika tidak dibelikan kuota internet. Belum lagi didapati fakta bertebarannya kasus kerusakan kesehatan semisal kerusakan mata, insomnia, stroke, serangan jantung bahkan tewas akibat menghabiskan waktu berjam-jam seharian semalaman untuk game.

Mengejar eksistensi diri sekedar untuk dinobatkan sebagai pemain terhebat adalah suatu kebobrokan moral. Generasi yang tercipta adalah generasi lemah yang abai akan kenyataan peran dan cita-cita yang besar. Kehebatan tidak lagi ditakar dalam kebermanfaatan terhadap umat, tapi cenderung kebermanfaatan pribadi. Jangankan untuk membantu masalah umat, membantu Ibu membersihkan kamar sendiri saja belum tentu mampu dilakukan. Lantas apa generasi seperti ini yang ingin diciptakan?
Sesungguhnya tugas orang tua semakin berat saat ini, karena pemerintah sendiri yang seharusnya menjadi perisai utama dari pengaruh buruk, justru memberikan kelonggaran bahkan memfasilitasi anak-anak dan remaja untuk berkompetisi dalam ajang perebutan tahta kemenangan fana ala mobile legend.

Lupa bahwa kemenangan utama justru terletak pada akhir penghidupan, tergantung pada tingkat ketakwaan di dunia. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS. Al Hujurat: 13).
Islam sejatinya tidak melarang adanya permainan. Hanya saja permainan yang dilakukan haruslah sekedarnya sebagai pelepas penat, bukan akhirnya melalaikan. Jikapun permainan itu dikategorikan sebagai olahraga, maka olahraga yang dijalankan dalam rangka untuk membangun ketahanan fisik dan psikis demi menjaga kebugaran untuk beribadah, berdakwah hingga berjihad. Sebagai seorang muslim yang bertakwa tentu permainan atau olahraga yang kita tekuni selalu harus bersandar untuk ketakwaan bukan hawa nafsu belaka.

Islam juga tidak hanya mendorong per individu memahami dan menjalankan ketakwaan, namun negara juga didorong untuk berdiri teguh sebagai garda terdepan yang membuat pagar pembatas dalam menyibukkan remaja pada aktivitas yang bermanfaat untuk umat. Sekalipun memang tetap tidak melarang sepenuhnya dalam melakukan permainan dan olahraga. Maka ke-famous-an nama yang diperlombakan adalah dalam hal siapa yang paling bermanfaat untuk umat.

Hal ini tentu tidak bisa diwujudkan dalam suatu negara yang masih memegang sistem kapitalisme sebagai jalan hidup, dimana bidikan utama selalu menuju pada nilai materi semata. Islam sebagai way of life, memiliki sebuah mekanisme ketatanegaraan bernama Khilafah yang senantiasa melihat perkembangan teknologi dengan kacamata akidah Islam. Menjadikan sebuah keputusan politik ekonomi yang diambil haruslah berdampak secara komprehensif untuk peningkatan keimanan, ketakwaan dan semakin kokohnya Islam terutama para pemudanya.

Kacamata Islam akan membidik fenomena esport tentu dengan pertimbangan efek kepada generasi muda, yang ianya bukan berlomba untuk famous dalam leader board permainan, namun famous dalam leader board temuan-temuan dan kitab-kitab yang bermanfaat untuk umat. Wallahu a’lam bis shawab.*



latestnews

View Full Version