View Full Version
Sabtu, 29 Jun 2019

Pengguna Narkoba di Indonesia makin Menggila?

 

Oleh: Fitri Suryani, S. Pd*

26 Juni diperingati sebagai  Hari Anti Narkoba Sedunia. Masih banyak tugas yang mesti dituntaskan dalam mengurangi pengguna obat terlarang tersebut. Karena kasus Narkoba seakan tak pernah habis dari pemberitaan di berbagai media. Penggunanya pun tak menunjukkan adanya pengurangan dari tahun ke tahun. Padahal usaha untuk memeranginya tak pernah berhenti.

Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Diah Utami menyatakan bahwa jumlah penyalahguna narkoba di Tanah Air mencapai 3,5 juta orang pada 2017. Hampir 1 juta orang diantaranya bahkan telah menjadi pecandu. Selain itu, lanjut dia, ada lebih dari 12 ribu kematian terkait narkoba setiap tahunnya. Menurutnya pula, hal ini tidak hanya merugikan penyalahgunanya sendiri, tetapi juga merugikan negara baik dari sisi ekonomi dan sosial (Liputan6.com, 26/06/2018).

Selain itu, Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Irjen Pol Arman Depari menyatakan, perkembangan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, saat ini berada dalam kondisi menghawatirkan. Arman menyebutkan, berdasarkan hasil survei prevalensi penyalahgunaan narkoba, jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai lebih dari 4 juta orang. Arman juga menyebut berdasarkan survei prevalensi penyalahgunaan narkoba, jumlah kematian akibat mengkonsumsi narkoba, lebih dari 30 orang setiap harinya (Kompas.com, 09/02/2019).

Ditambah lagi berdasarkan Survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan 2,3 juta pelajar atau mahasiswa di Indonesia pernah mengonsumsi narkotika. Angka itu setara dengan 3,2 persen dari populasi kelompok tersebut (Cnnindonesia.com, 22/06/2019). Miris!

Berdasarkan fakta di atas tentu hal itu sangat mengkhawatirkan. Apalagi hal ini diperparah dengan pernyataan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Menurut paparan UNODC, Indonesia masuk dalam segitiga emas perdagangan metafetamin atau sabu.

Country Manager UNODC Collie Brown menjelaskan, wilayah Asia Tenggara menjadi salah satu pasar terbesar metafetamin. Besar perdagangan metafetamin itu menyebabkan banyak masalah di negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Brown juga menjelaskan, perdagangan narkotika meluas karena sistem jual-beli melalui internet tumbuh dan berkembang sangat cepat (Detik.com, 26/06/2018).

Hal itu menunjukkan Indonesia tak luput dari salah satu pasar besar pebisnis narkoba. Tentu hal tersebut karena negeri ini merupakan sasaran empuk bagi para pebisnis serta didukung oleh suasana pasar yang mendukung adanya bisnis haram tersebut.

Pun banyaknya kasus penyeludupan narkoba yang tak pernah habis menunjukkan lemahnya keamanan negeri ini. Bisa dibayangkan, jika generasi saat ini telah rusak oleh obat-obatan terlarang, maka dapat dipastikan bagaimana keadaan generasi ke depannya yang merupakan penerus dalam melanjutkan perjuangan untuk meraih cita-cita bangsa. Karena dengan banyaknya jumlah pengguna narkoba, maka usaha dalam mencerdaskan kehidupan bangsa akan jauh dari harapan.

Saat Jusuf Kalla (JK) menghadiri peringatan Hari Anti-Narkotika Internasional (HANI), JK mengaku masih prihatin atas jumlah narapidana narkoba yang mengisi hampir 50 persen lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Dia pun mengatakan bahwa di dalam penjara mereka dapat memperdagangkan bahan yang haram ini (Detik.com, 26/06/2019). Kalau seperti ini, setelah mereka lepas dari lapas, harapan agar tidak mengulangi lagi perbuatannya tersebut tentu sangat jauh dari harapan.

Ditambah lagi, Indonesia yang berstatus sebagai negara yang berada pada level darurat narkoba. Bertahun-tahun belum mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan tuntas. Ini pun menunjukkan negara masih lemah dan belum berhasil sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya. Karena sesungguhnya serangan narkoba yang membanjiri negeri ini termasuk invasi produk-produk berbahaya. Sehingga negara-negara yang mempunyai kebijakan untuk menggencarkan perang candu, mengirim produk-produk berbahaya ke Indonesia agar nantinya bangsa ini lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka akan sangat mudah bagi negara-negara penjajah untuk memangsa negeri tercinta ini.

Di sisi lain, sistem kapitalisme membiarkan setiap orang bebas menempuh cara apa saja untuk menambah pundi-pundi rupiah. Tidak dikenal sebab-sebab kepemilikan. Sehingga bagi penganutnya sah-sah saja hal tersebut dilakukan. Maka tidak dapat dipungkiri tujuan tertinggi/tolok ukur kebahagiaannya yakni kepuasan materi, meski bertabrakan dengan nilai-nilai agama sekalipun.

Lebih dari itu, sulit meminimalisir apalagi memberantas pengguna narkoba, jika produsennya dan pengedarnya masih banyak dan belum mampu dibabat dengan tuntas. Sebab sistem liberal telah merasuk di benak hampir semua orang, tak terkecuali kaum Muslim, sehingga hal itu seolah bukan masalah besar. Terlebih jika telah membahas mengenai urusan perut.

Padahal narkoba sudah jelas dampaknya dapat merusak akal dan jiwa seseorang. Berbagai macam efek berbahaya telah banyak dipaparkan oleh ahli kesehatan. Begitu pun tentang hukum pemakaian narkoba sudah dijelaskan oleh para ulama.

Dalam istilah para ulama, narkoba ini masuk dalam pembahasan mufattirot (pembuat lemah) atau mukhoddirot (pembuat mati rasa). Para ulama tidak berbeda pendapat tentang haramnya mengkonsumsi narkoba ketika tidak dalam keadaan darurat.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan, diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 204).

Adapun salah satu dasar atas keharaman narkoba yakni, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud dan Ahmad). Jika khamar itu haram, maka demikian pula halnya narkoba.

Dalam Islam pun salah satu tindakan untuk meminimalisir bahkan memberantas hal tersebut setidaknya terdapat tiga asas dalam penerapan hukumnya, yakni: Pertama, ketakwaan individu yang mendorong seseorang untuk terikat dengan hukum syara. Kedua, kontrol masyarakat, dalam hal ini adanya budaya amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, peran negara dalam memberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelanggar syariat-Nya.

Dengan demikian, sulit mengurangi apalagi memberantas pengguna narkoba, jika kurang kerjasama dari semua pihak baik individu, lingkungan keluarga, masyarakat dan pihak berwenang. Oleh karena itu, semua hanya mungkin terealisasi jika kita senantiasa berpegang teguh pada aturan-Nya melalui penerapan hukum-hukumNya dalam seluruh aspek kehidupan yang membawa rahmat bagi semua insan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

*Penulis adalah Guru Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version