View Full Version
Senin, 15 Jul 2019

Dua Garis Biru, Promo Seks Bebas dalam Balutan Film?

 

Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd

"Saya akan tanggung jawab." (Bima, Dua Garis Biru)

Setelah akhirnya kebablasan bergaul, Dara positif hamil. Bima pun maju, mengambil langkah yang berat. Ia bertanggung jawab menikahi Dara, pacarnya. Film 'Dua Garis Biru', yang sempat ditolak dan diboikot akhirnya tayang juga di bioskop Indonesia. Film yang mengangkat tema seks education bagi remaja ini sukses membuat baper para penontonnya.

Film tentang MBA (Married by Accident alias kecelakaan atau hamil di luar nikah) bukan baru sekali hadir di Indonesia. Kisah remaja yang pacaran kebablasan, kemudian menikah dini, sambil sekolah atau bahkan putus sekolah demi mencari nafkah. Untungnya bagi Angga Yunanda dan Zara JKT48, mereka hanya berakting.  Fenomena ini tidak betulan menimpa mereka. Zara sebenarnya tidak dalam kondisi hamil. Dia dan Angga masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Melalui hari-hari dengan semua kesibukannya sebagai artis, pelajar, dan anak.

Sayangnya, fenonema ini bukan cuma ada di film. MBA, pacaran kebablasan sudah menjamur di tanah air kita, Indonesia. Kalaulah Angga dan Zara hanya berakting dan kini menjalani hidupnya seperti biasanya, lain cerita dengan mereka yang benar-benar dalam kondisi hamil di luar nikah. Masa depannya kabur, pendidikannya hancur. Keluarganya menanggung malu. Anak yang dikandungnya, bila lahir akan dicap 'anak haram' oleh orang-orang.

Ya, betapa Malang nasib para pelakunya. Bahkan janin yang tak berdosa pun kena getahnya.

Apakah dengan adanya berbagai judul film dengan genre gaul bebas ini bisa menangkal fenomena gaul bebas di masyarakat? Sepertinya tidak. Justru para penonton yang remaja atau yang bukan remaja merasa penasaran dengan adegan-adegan dewasa yang di pertontonkan. Mereka penasaran ingin mencobanya dan berharap happy ending dengan tanggung jawab dari pihak lelaki.

Kalaulah memang ingin mendidik para generasi muda menjauhi gaul bebas, bukan begitu caranya. Harusnya yang dikenalkan, yang senantiasa diiklankan adalah penjagaan akidah dan penanaman keterikatan hukum syara'. Karena akidah, iman yang tertanam dalam dada dan benak manusialah yang menjadi benteng penghalang dari kemaksiatan.

Ingatkah kita dengan kisah nabi Yusuf as dengan Zulaikha, yang terabadikan dalam Al Qur'an? Sesungguhnya nabi Yusuf pun ada keinginan pada Zulaikha, istri Al Aziz. Tapi, keimanan dalam diri nabi Yusuf lebih kuat daripada godaan syetan. Penjara lebih ia cintai daripada berbuat maksiat. Zina itu nikmat, tapi hanya sesaat. Sengsaranya hingga ke akhirat jika tak bertaubat.

Imanlah yang harusnya disebarkan. Dengan pendidikan formal, juga informal. Pun dalam dunia hiburan. Film dibuat sedemikian rupa seharusnya bertujuan menumbuhkan keimanan dalam diri manusia. Sayangnya, hal ini tak mudah direalisasikan saat ini. Karena konsep Ekonomi kapitalis adalah supply and demand. Sementara permintaan terhadap yang berbau seks jauh lebih besar daripada tentang kajian Islam. Lain ceritanya kalau negara pun turun tangan mengeluarkan kebijakan bagi film,memberi aturan mana yang harus dibuat mana yang tak boleh dibuat dan ditayangkan.

Ini hanya akan terjadi kalau negara menjadikan keimanan sebagai pondasi pemerintahannya, sehingga satu suara iman dari hulu ke hilir. Akan ada jaminan penjagaan penerapan hukum yang terpancar dari iman tersebut.

Jadi, sudah saatnya kita berjuang menghapus fenomena gaul bebas bukan dengan membuat dan menonton film-film bernada gaul bebas. Tapi dengan mengkaji islam, memantapkan akidah, mengokohkan pondasi keimanan, mengamalkannya, dan menyebarluaskannya pada yang lain. Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version