View Full Version
Sabtu, 10 Aug 2019

Pedofil, Semudah Itukah Bebas di Negeri Ini?

 

Oleh: Desi Wulan Sari

Siapa yang tidak marah, sedih, dan kecewa saat seseorang yang diyakini telah melukai anggota keluarga Kita, apalagi dengan cara yang tidak manusiawi telah dinyatakan bebas dari hukuman karena grasi yang diberikan seorang penguasa negeri?

Inilah kasus yang pernah menghebohkan tanah air sempat membuat seluruh masyarakat menghujat dan geram dengan kejahatan yang dilakukan. Seorang warga Kanada, juga guru sekolah internasional JIS, Neil Bantleman dijatuhi hukuman akibat tindak pelecehan seksual yang dia lakukan kepada siswanya. Ia dihukum 11 tahun penjara di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). Sayangnya, grasi presiden membuat ia lepas dengan cepat dari jeruji penjara. 

Anggota KPAI Putu Elvina mengatakan grasi Jokowi menjadi lembaran hitam perlindungan anak di Indonesia. Putu menyebut kasus pelecehan seksual siswa JIS itu menjadi komitmen pemerintah memberi perlindungan kepada anak-anak.  "Ini masih menjadi lembaran hitam upaya perlindungan anak," kata Putu saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Jumat (12/7).

Hukuman Ringan bagi Pelaku Pedofil

Lihatlah betapa mudah hukum dipermainkan, bahkan dijadikan alat politik bagi penguasa zalim. Ketika seseorang jelas telah  berbuat kejahatan maka hukuman yang pantas di dunia adalah yang membuat jera si pelaku, alih-alih dihukum seberat-beratnya justru malah diberikan grasi oleh penguasa. Yang dari hukuman 11 tahun penjara hanya menjadi 5 tahun saja. Miris sekali dengan  hukum yang ada di negara ini.

Padahal dampak dari kejahatan seks terhadap anak-anak ini sangat luar biasa. Mereka akan menderita secara fisik maupun psikis, mengalami trauma yang sangat mendalam, bahkan akan merasa malu, dan tidak pantas hidup di antara masyarakat. Bayangkan betapa menderitanya kondisi para korban yang masih  anak-anak. Mereka kehilangan masa depannya karena perilaku bejat sang guru.

Banyaknya kasus pedofilia di Indonesia ini menunjukkan pertumbuhan budaya seks bebas di negeri ini sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan sekaligus mengerikan. Selain karena Indonesia adalah negeri timur yang memegang teguh keluhuran moral. Kasus seperti ini juga jadi potret masyarakat kita sekarang. Bengis, amoral dan tidak pandang bulu dalam melakukan kejahatan.

Dalam sistem demokrasi di negara kita, hukuman bagi pedofil yang diberlakukan selain hukuman penjara, baru diwacanakan hukum tambahan bagi pelaku. Adapun hukuman tambahan tersebut antara lain: 1. Dikebiri, 2. Potong Alat Kelamin, 3. Hukum Mati, 4. Dikucilkan dalam pergaulan selamanya.

Namun wacana tersebut menimbulkan pro kontra karena alasan HAM  (Hak Asasi Manusia) mereka akan menganggap hukuman seperti itu akan melanggar hak asasi manusia bahkan bagi si pelaku sekalipun. Ujung-ujungnya para pelaku tetap akan terselamatkan dari hukuman pidana dan hukuman tambahan tersebut.

Bicara mengenai hukum yang tepat bagi pelaku pedofil memang sulit bagi sistem yang diusung oleh Sepilis (sekuler, kapitalis dan liberalis). Semua akan tebentur oleh kepentingan sekelompok orang. Bahkan mungkin akan melegalkan segala kejahatan-kejahatan seksual lainnya atas nama HAM. Sehingga pentingnya masyarakat kembali kepada agama dan kembali kepada aqidah, syariah beserta amalan yang Kaffah akan membuat masyarakat sadar bahwa hukum yang terbaik dan tidak bisa ditawar-tawar adalah hukum Islam.

Pedofilia dalam Perspektif Hukum Islam

Banyak di antara pelaku yang mengaku bahwa aksinya disebabkan dorongan syahwat dalam dirinya. Maka semakin subur pemicu syahwat, semakin banyak syahwat yang terpicu dan memerlukan pemenuhan, dan semakin beragam cara pemenuhannya. Diantaranya melakukan pelecehan seksual terhadap anak.

Allah SWT menciptakan manusia untuk hidup di muka bumi dengan berpasang-pasangan. Dengan demikian, mereka bisa beranak-pinak dan menghasilkan keturunan.  "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembangkan keturunan lelaki dan wanita yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya ,kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS an-Nisa: 1).

Allah SWT pun tidak melarang hasrat seksual yang ada di dalam diri manusia selama pelampiasannya dilakukan di tempat yang benar.  Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 223 dijelaskan, berhubungan intim diungkapkan dengan kiasan. Istri diumpamakan sebagai tempat bercocok tanam. Maka, suami diminta untuk mendatangi tanah tempat bercocok tanam itu sebagaimana dikehendaki. Kemudian, Allah SWT memerintahkan untuk mengerjakan amal baik dan bertawakal kepada Allah SWT karena kelak akan menemui-Nya.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bahkan memadankan hubungan intim dengan sedekah. Dengan catatan, apabila penyaluran syahwat sesuai dengan tempatnya. "Di kemaluan setiap orang di antara kamu itu ada sedekahnya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami apabila menyalurkan syahwatnya mendapat pahala?" Beliau menjawab, "Benar, bukankah apabila dia menyalurkannya kepada yang haram dia berdosa? Demikianlah, kalau ia menyalurkannya kepada yang halal, ia mendapat pahala. Apakah kamu hanya memperhitungkan keburukan dan tidak memperhitungkan kebaikan?" (HR Muslim)

Sebaliknya, jika penyalurannya tidak tepat, Allah SWT mengecam dan mengancam dengan hukuman berat. Kita bisa belajar dari kisah Nabi Luth AS yang harus menghadapi kaum homoseksual.  Allah SWT menyebut perbuatan mereka sebagai perbuatan yang amat keji. "Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan istri. Sebenarnya kamu adalah kaum yang berlebihan". (QS al-A'raf: 80-81)

Di dalam hukum Islam, segala bentuk hubungan seksual di luar hubungan pernikahan adalah bentuk pelanggaran yang dapat menimbulkan dosa besar. Sanksinya seperti dicontohkan pada zaman Rasulullah SAW adalah rajam atau cambuk. Meski termasuk dalam kategori pidana zina, kasus pedofilia ini pada umumnya melibatkan orang dewasa sebagai pelaku dengan anak-anak yang menjadi korban. Tak ada unsur suka sama suka di sini. Yang ada, pelaku memaksa atau memperdaya korban untuk melampiaskan nafsu bejatnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa bernomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan menjelaskan, tindak kejahatan seksual yang mengorbankan anak-anak sudah meresahkan masyarakat.  MUI lantas memutuskan, aktivitas pencabulan, yakni pelampiasan nafsu seksual seperti meraba, meremas, dan aktivitas lainnya tanpa ikatan pernikahan yang sah, yang dilakukan oleh seseorang, baik dilakukan kepada lain jenis maupun sesama jenis, kepada dewasa maupun anak hukumnya haram.

Pelaku pencabulan pun terkena hukuman ta'zir, yakni hukuman yang sanksinya belum ada dalam Alquran dan hadis. Karena itu, aturan dan sanksinya diserahkan kepada penguasa. Tidak hanya itu, MUI pun menulis bahwa harus ada pemberatan hukuman ketika korban kejahatan tersebut adalah anak-anak. Pemberatan dilakukan hingga hukuman mati.

Maka pemberlakuan hukuman mati dalam Islam bagi pelaku kejahatan ini, membutuhkan institusi negara agar ada hukum positif yang bisa membuat pelaku jera. Hukum Islam sangat jelas mengharamkan perilaku penyimpangan-penyimpangan seksual yang merajalela dalam sistim kufur ini. Hanya Islam yang mampu menyelamatkan umat dari kejahatan manusia di muka bumi. Wallahu a'lam bishawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version