Oleh: Salsabila Maghfoor
(Aktivis Mahasiswa, Demisioner Ketua Organisasi Santri Darunnajah Jakarta)
Apa yang ditampakkan dalam trailer singkat berdurasi tidak lebih dari 3 menit tentang gambaran film The Santri rupanya kian menuai kontroversi.
Sebagai salah satu orang yang pernah mengenyam pendidikan santri selama 6 tahun lamanya, penulis agaknya merasa terusik dengan nilai-nilai yang diajarkan yang nyata-nyata jelas mengandung unsur liberalism, pluralism yang nyata-nyata bersumber dari kapitalism.
Secara detail penulis belum bisa mengkritik secara utuh, sebab keseluruhan film itu belum dipertontonkan. Namun dari cuplikan apa yang ditampilkan termasuk apa yang ditekankan di bagian akhir oleh salah satu tokoh ormas yang nampaknya berada dibalik proyek penggarapan film tersebut, penulis merasa ini mengandung nilai yang berbahaya utamanya bila kemudian ditelan begitu saja oleh mereka yang belum utuh secara pemahaman apalagi aqidahnya.
Lazimnya bila yang dibahas adalah soal bagaimana budaya santri bahkan kaitannya dengan perjuangan bangsa tentu yang akan diangkat adalah sisi perjuangan santri tersebut. Ada fakta sejarah yang justru tidak sama sekali disinggung, yakni bahwa santri erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan bangsa diiringi spirit tauhid dalam mengenyahkan penjajah kala itu dibawah pimpinan komando Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Bung Tomo, dan banyak tokoh lain kala itu.
Ini akan menumbuhkan kesadaran dan menumbuhkan ghirah dalam diri para santri agar mereka memahami peran sentral mereka bukanlah sembarang peran dan justru akan mengilhami kebanyakan muda-mudi soal tujuan yang sebenarnya untuk apa menjadi santri.
Al Habib Muhammad Hanif Al-Athas, Lc Ketua Umum Front Santri Indonesia menegaskan bahwa santri berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan tali Allah yang kuat (al-Qur’an) dan mengikuti Sunnah Rasul SAW serta teguh pendirian dalam setiap keadaan. Ini adalah arti dengan bersandar pada sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti serta diubah selama-lamanya.
Maka jelas, profil santri mestinya adalah mereka yang justru memegang nilai keimanan dan keteguhan ketaatan pada hukum Syara’ yang Allah aturkan, dengan pegangan yang kokoh. Apa yang ditampilkan dalam trailer film tersebut justru mencitrakan sebaliknya. Budaya pacaran, pluralisme dan toleransi yang kebablasan, bahkan tidak jarang nilai kebebasan begitu ditonjolkan seperti campur baur (ikhtilath) dan sebagainya.
Jujur sontak saja jiwa santri penulis merasa terusik dengan fitnah ini. Sang ketua ormas justru menyampaikan nilai yang ingin ditampilkan melalui film yakni nilai islam yang santun, toleran, ramah, plural, membawa budaya akhlakul karimah yang dinyatakan jauh dari nilai islam radikal, ekstrimis apalagi teroris.
Sebelum menyampaikan suatu gagasan, baiknya kita memahami secara definisi terlebih dahulu agar tidak memunculkan kegagalan dalam pemahaman yang berakibat pada meluasnya pemahaman yang salah. Mesti dimaknai terlebih dahulu bagaimana itu sosok islam dan muslim yang damai, toleran, ramah, tidak radikal, tidak ekstrimis sebagaimana yang disampaikan.
Sebab pada faktanya, hari ini kita sedang diaruskan untuk memahami standar islam yang damai, ramah dan sebagainya tadi itu adalah hanya dan hanya jika kita mengikuti kacamata pandang sebagaimana yang diaruskan oleh nilai Barat.
Corong stigmatisasi negatif justru secara massif akan disematkan pada mereka yang berani mengkritisi kebathilan dan segala ketidaktepatan yang dilakukan oleh penguasa. Bukankah ini aneh? Padahal amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban bagi setiap muslim, pahit atau tidaknya kebenaran tetaplah mesti disampaikan.
Hal ini kemudian menjadi suatu kewaspadaan bagi kita, bahwa ada semacam metode politik devie et impera atau yang lebih dikenal dengan poitik belah bambu. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk memecah tubuh ummat islam itu sendiri, disibukkan pada persoalan dan perpecahan satu sama lain agar kemudian terlupa akan adanya persoalan mendasar sebagai akar yang didalangi oleh Barat dan musuh-musuh Islam untuk menghalangi kebangkitan Islam.
Apa yang kita lakukan adalah mesti menolak dengan tegas film ini, disamping terus berusaha menyampaikan yang haq ditengah kebathilan yang semakin merajalela. Bukan karena aktor pemainnya adalah anak ustadz, pelantun shalawat, bahkan hafidz Qur’an sekalipun, bila yang dilakukannya adalah suatu kesalahan karena melanggar hukum syara’ maka kita wajib mengingatkannya sebab itu bagian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang wajib bagi setiap muslim.
Kita mesti mewaspadai setiap upaya yang dilakukan oleh musuh Islam terhadap Islam dan ummatnya. Semua ini jelas mencoreng nama santri dan meruntuhkan muru’ah santri. Bukan tidak menutup kemungkinan bila orang yang tidak berpikiran buruk terhadap santri pada akhirnya akan berasumsi buruk terhadap santri karena firnah ini. Na’udzubillah.