Oleh: Savitry Khairunnisa*
Saya teringat sembilan tahun lalu, di kelas kursus bahasa Norwegia. Teman-teman saya beragam latar belakang dan asal negaranya. Ada yang datang ke Norwegia karena pernikahan, pekerjaan, tapi kebanyakan adalah para pengungsi dan pencari suaka. Kami bukan saja mendengarkan guru dan mengikuti pelajaran, tapi juga saling bertukar cerita.
Saat yang paling saya nantikan adalah jam istirahat. Biasanya kami akan ngobrol, ada yang ngopi, keluar untuk merokok atau mencari udara segar, baca koran, atau mendiskusikan pelajaran tadi. Teman-teman saya ketika itu ada yang dokter asal Palestina, ibu rumah tangga dari Suriah, pelajar dari Iran, guru Matematika dari Somalia, wanita-wanita Filipina dan Thailand yang menikah dengan orang Norwegia, dan mereka yang berasal dari Eropa Timur.
Salah seorang yang langsung menarik perhatian saya adalah teman yang pendiam dan selalu tekun dengan catatannya. Kulitnya putih, rambut lurus, dengan wajah yang unik, perpaduan China dan Kaukasia. Namanya Akbar Osman. Waktu itu usianya masih awal dua puluhan. Setiap jam istirahat, dia tidak pernah ngobrol dengan kami, melainkan selalu sibuk dengan buku catatannya. Saya lirik apa yang dia tulis. Ternyata ia sedang berusaha menghafal kosa kata bahasa Norwegia ke dalam bahasanya, yang dia tulis dalam aksara Arab.
Saya puji betapa rajinnya dia tetap belajar, di saat teman-teman lain asyik ngobrol dan bersantai. Akbar menjawab, "Aku harus lulus kursus ini untuk bisa melanjutkan ke universitas."
Akhirnya kami ngobrol juga. Akbar cerita bahwa dia berasal dari Xinjiang, China. Dia adalah etnis Uighur.
Saya tanyakan apa yang membawa dia ke Norwegia. Apakah negaranya tidak aman?
Ternyata Akbar adalah yatim. Ia datang sendiri ke Norwegia. Negaranya China memang tidak sedang berperang. Tapi dia mengumpulkan keberanian untuk meninggalkan negaranya. Sebagai minoritas muslim, orang Uighur sudah lama mengalami persekusi, tekanan, dan pengawasan ketat dari pemerintah China. Mereka tidak bebas menjalankan ibadah. Mereka dipaksa mengganti nama muslim menjadi nama yang sesuai menurut pemerintah China. Mereka selalu dicurigai sebagai orang-orang yang akan melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Hidup selalu dalam ketakutan.
Ia sempat mengungsi beberapa waktu ke Kyrgyzstan, sebelum akhirnya dikirim ke Norwegia. Norwegia adalah salah satu negara Eropa yang punya kewajiban menampung pengungsi kuota, yaitu para pengungsi yang tidak dapat ditampung oleh negara kedua. Sembilan tahun berlalu, dan Akbar sudah menjadi warga negara Norwegia.
Akbar, sebagaimana diaspora Uighur di seluruh dunia, adalah mereka yang beruntung karena bisa terbebas dari kekangan penguasa zalim. Mereka bisa membangun hidup di negeri baru yang melindungi, memberi rasa aman, dan menjanjikan masa depan yang lebih baik. Jutaan muslim Uighur lainnya masih terperangkap di tanah air mereka sendiri. Kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Uighur bukan fiksi, dan ini sudah berlangsung lama.
Banyak media internasional dan lembaga kemanusiaan yang mengecam apa yang dilakukan pemerintah China pada rakyatnya ini. Dan kini seruan dan kecaman itu menggaung semakin kuat. Semoga saja ada langkah diplomatis persuasif yang bisa menghentikan penindasan terhadap orang Uighur oleh pemerintah China. Kecil kemungkinannya, meski oleh pemerintah Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sekalipun.
***
Saya masih beberapa kali bertemu sekilas dengan Akbar di pusat kota. Ia sudah jadi sarjana dari Universitas Stavanger jurusan Ekonomi. Kini ia bekerja di Haugesund sembari mengambil program MBA di universitas di kota kami. Akbar sudah menikah dengan wanita Uyghur yang selalu memakai kerudung. Cantik sekali. Mereka baru saja dikaruniai seorang anak perempuan. Alhamdulillah.
Ketika bertemu dua hari lalu di toko bahan makanan Asia, kami sempat ngobrol sebentar. Saya ucapkan simpati dan bersedih atas apa yang terjadi pada kaumnya di China.
"Tolong doakan kami. Doakan keluarga besar saya di Turkestan. Doakan agar Allah selalu melindungi kami."
Ya, untuk saat ini, selain menyebarkan informasi secara masif melalui media sosial dan mendukung gerakan kepedulian untuk Uighur, yang paling bisa kita lakukan adalah berdoa. Berdoa secara khusus di kala sujud untuk saudara-saudara kita itu. Doa sebagai sesama manusia yang punya hak yang sama untuk hidup dalam suasana aman, damai, dan selamat. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah Ibu Rumah Tangga yang tinggal di Norwegia bersama dengan suami dan putranya.
Sumber foto: Google. Bukan foto Akbar.