Oleh: Fatih Madini (Mahasiswa At-Taqwa College)
Kemarin (Rabu, 26 Februari 2020), adalah hari yang tidak akan saya, kami, para santri dan guru-guru At-Taqwa lupakan sepanjang hayat. Aku juga tidak akan menghapus lokasi di mana peristiwa besar itu terjadi (di Jakarta Selatan, tepatnya di Jakarta Convention center (JCC), dalam acara pembukaan Islamic Book Fair yang dihadiri lebih dari 200 orang dari berbagai usia dan kalangan).
Momen indah itu ialah terpilihnya Dr. Adian Husaini, pembina Pesantren At-Taqwa dan kampus At-Taqwa College Depok yang kami banggakan, sebagai Tokoh Perbukuan Islam tahun ini.
Kami, selaku keluarga besar Pesantren At-Taqwa Depok yang hadir dalam acara itu, merasa takjub dan bangga. Saat itulah mata serasa tak mau berkedip menatapnya mendapat penghargaan. Bibir tak mau berhenti untuk tersenyum. Wajah tak mau melepaskan penampakan kebahagiaannya. Dan ketika itulah hati selalu berusaha meluapkan rasa bangga dan bahagia kepadanya yang maju ke panggung tanpa sedikitpun membanggakan dirinya.
Tentu terpilihnya penulis buku Wajah Peradaban Barat (buku terbaik IBF kategori non fiksi tahun 2006) itu, didasarkan atas kontribusinya dalam dunia literasi yang begitu besar. Terutama dalam dunia tulis-menulis. Bahkan beliau tercatat sudah menulis sekitar 48 buku. Hobinya itulah yang kemudian membawa beliau menjadi seperti sekarang ini.
**************
Bagi Ustadz Adian (begitulah kami memanggilnya), membaca dan menulis merupakan aktivitas yang seakan sudah melekat di dalam dirinya. Ia pernah bilang bahwa Tulisan yang belum selesai itu seperti masakan yang belum matang, tidak bisa dinikmati. Kalimat inilah yang menjadi pegangan beliau setiap kali hendak menulis.
Puluhan bahkan ratusan karya tulisnya sudah tembus di koran, majalah, sampai di beberapa media sosial. Sampai sekarangpun, Ustadz Adian masih menulis kolom Catatan Akhir Pekan di Radio Dakta (yang sekarang bekerja sama dengan hidayatullah.com).
Padahal, ia menulis di sana sejak tahun 2002. Twitter dan Facebook juga masih menjadi sarana menulis hingga hari ini. Bahkan, setelah saya kumpulkan buku-bukunya dan saya hitung-hitung, Ustadz Adian sudah menulis sekitar 48 buku, dengan tema yang beragam. Keberagaman tema itulah yang kemudian menciptakan otoritasnya di berbagai bidang. Mulai dari pemikiran Islam dan tantangan pemikiran kontemporer, politik, sejarah, kristenisasi, kristologi, seputar Yahudi, Pancasila, komunisme, sampai pendidikan.
Bekal wartawan menjadi salah satu titik awal munculnya banyak karya tulis. Sebagai wartawan, Ustadz Adian punya prinsip bahwa setiap reporter harus sadar akan nilai kewajiban. Yakni nilai yang khusus untuk Islam. Meskipun dalam dunia jurnalistik nilai itu tidak menjual, tapi kalau itu merupakan kewajiban, harus tetap ditulis. Itulah pentingnya menggunakan cara pandang Islam ketika menjadi reporter. Artinya, ia tidak selalu netral.
Tidak hanya laporan berita, banyak buku-buku yang beliau tulis ketika menjadi wartawan (1990-2002). Diantaranya, buku Habibie, Soeharto dan Islam (1995), Soeharto 1998 (1996), Zionis Prek: Pergolakan Umat Islam Indonesia Melawan Zionis Israel (1999), Amerika-Amien Rais Dalam Kancah Konflik Peradaban (1999), Sekularisme: Penumpang Gelap Reformasi (2000), Gereja-Gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia (2000), Presiden Wanita: Pertaruhan Sebuah Negeri Muslim (2001), Rajam Dalam Arus Syahwat: Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Global (2001), Mau Menang Sendiri: Israel Sang Teroris Yang Pragmatis? (2001), Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra (2002), Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (2002), dll.
Setelah menulis ribuan artikel di kolom Hidayatullah sejak tahun 2002 sampai sekarang, menulis ratusan artikel di Facebook dan di banyak media cetak, dan menghasilkan kurang lebih 48 buku, hobi lamanya itu kembali ia tuangkan dalam website-nya, www.adianhusaini.id. Disitu ia akan berusaha menulis 1000 artikel pilihan (sehari satu artikel bahkan lebih) yang dengannya ia berharap bisa menjadi "pemandu pemikiran di era kebohongan (post truth)."
Sampai hari ini (Kamis, 27 Februari 2020), sudah 300 artikel lebih yang ia tuangkan dalam kurun waktu kurang lebih 100 hari. Program itulah yang membuat ia harus menantang kembali dirinya untuk menulis sehari satu artikel, peduli terhadap perkembangan situasi (terutama dalam bidang pendidikan), dan tidak lupa menanggapi ataupun mengkritik dengan bahasa yang halus manakala ada ketidaktepatan beberapa pihak.
Bagi penulis ulung itu, yang terpenting bagi penulis adalah ia harus bisa memvisualisasikan apa yang dia tulis kepada para pembaca. Seolah-olah dia hadir di hadapan para pembaca.
Sarjana Kedokteran Hewan itu juga pernah bilang, "Kita menulis itu karena ada suatu kepekaan. Kalau hati sudah bersama umat, maka kita akan merasakan detak jantung umat. Kalau hati sudah bersama umat, tidak akan topik itu habis atau kekurangan. Justru, waktulah yang kurang".
Menulis, seakan sudah menjadi aktivitas wajib bagi murid dan kawan Pak Husein Umar ini. Mau bagaimanapun waktu dan kondisi yang ia alami, tidak pernah menyurutkan semangat ia untuk menulis. Apalagi di zaman sekarang yang lebih menuntut untuk "mengangkat pena" ketimbang "mengangkat pedang". Tentu, seorang penulis, tidak akan lepas dari aktivitas membaca. Sebab, tanpa membaca, apa yang mau ia tulis. Maka secara tidak langsung, beliau telah berinisiatif untuk mencoba menghidupkan kembali budaya tulis dan baca. Sebab, itulah asas dari budaya ilmu. Sementara, budaya ilmu-lah, asas kebangkitan umat.
Harapannya, semoga semangat Ustadz Adian dalam menulis dan membaca, dapat saya dan kita semua lanjutkan. Semoga apa yang telah beliau perjuangkan sampai hari ini, dapat kita ikuti dan teladani.
Tentu, saya, kami, dan semua keluarga besar Pesantren At-Taqwa merasa bahagia sekaligus mengucapkan terimakasih atas penghargaan yang telah diberikan. Dan sebagaimana yang Ustadz Adian katakan di podium seusai mendapat penghargaan, semoga tokoh perbukuan Islam tidak berhenti pada dirinya.
Semoga semakin banyak lagi tokoh-tokoh perbukuan Islam lainnya, terutama dari kalangan pemuda, yang sekaligus menunjukkan bangkitnya budaya literasi di Indonesia.
sumber: FB Fatih Maldini