Oleh:
Nadia Ulya
Aktivis Dakwah Millenial, Siswi SMP
PADA tahun 1977, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa – bangsa untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Setiap tahun tema perayaan itu pasti tidak akankah dari soal ketidakadilan berbasir gender.
Dari dulu, wanita memang sering jadi objek penderitaan. Tapi sayangnya, setiap bangsa seolah memiliki kesepakatan yang sama dengan memandang sebelah mata terhadap wanita. Sehingga terjadi ketidakadilan berbasis gender.
Kalau kita perhatikan sejarah, pada masa peradaban Roma, kedudukan perempuan disamakan dengan barang dagangan. Di peradaban Yunani, tempat perempuan berada di kasta ketiga (status sosial palingrendah) dalam masyarakat. Dan dalam agama Nasrani:“ sejak awal lambang gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang rendah.”
Saat ini, setelah memasuki peradaban modern, ternyata nasib perempuan masih saja terpuruk. Hanya saja, tidak selalu dikarenakan ketidakadilan berbasis gender. Tapi justru karena tuntutan kesetaraan gender yang tidak ada habisnya. Bagaimana tidak, kesetaraan gender menghendaki agar perempuan memiliki hak yang sama terhadap kehidupan dan tubuhnya seperti halnya pria.
Mereka tidak ingin dicegah jika ingin berbusana seksi, melacurkan diri dalam pornografi dan pornoaksi, atau menjalani profesinya dalam dunia prostitusi. Mereka juga tidak ingin dilarang jika ingin bekerja, walau harus mengabaikan kewajibannya mengurus rumah tangga. Lebih parah lagi, ketika tuntutan kesetaraan gender juga mengusik aturan Islam dalam rumah tangga, dengan meminimalisir kewajiban taat istri kepada suami. Kalau sudah seperti ini isu kesetaraan gender malah akan menjauhkan wanita dari fitrahnya.
Walaupun perempuan dikenal dengan kelembutannya, bukan berarti mereka tidak memilik kekuatan untuk berontak. Kata – kata inilah yang ingin ditunjukkan oleh para aktivis feminisme, seperti pengakuan Emma Watson, “ Aku memutuskan aku adalah seorang feminis. Pilihan ini tidak sulit untukku. Sepertinya, aku salah satu wanita yang suaranya dilihat terlalu vocal, agresif, mengasingkan, anti-pria dan bahkan tidak menarik.”
Saat ini, feminisme dibawakan dengan sangat menarik. Seperti kampanye “He for She” yang mengajak kaum pria untuk aktif terlibat dalam perjuangan kesetaraan gender dan emansipasi.”para pria, aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk memberikan kalian undangan formal bahwa kesetaraan gender juga isu kalian”, kata Emma Watson
Dalam kesehariannya, para feminis gencar menyeruarakan ide – ide emansipasi agar perbedaan jenis kelamin tidak dijadikan alasan untuk melecehkan perempuan. Menurut mereka, ketika laki – laki bisa menjadi presiden, maka mereka juga harus bisa. Dan ketika para lelaki bisa duduk di kursi parlemen, maka mereka juga harus bisa.
Feminisme menganggap banyak aturan Islam yang berat sebelah terhadap perempuan. Kewajiban wanita untuk taat pada suami dan menjalani perannya sebagai ibu sekaligur pengurus rumah tangga dinilai memasung produktivitas kaum hawa. Pada akhirnya, para feminisme gencar mengajak Muslimah untuk keluar dari aturan Islam, hidup bebas sesuai keinginannya, dan melepaskan ketergantungannya pada pria.
Padahal banyaknya penindasan terhadap kaum hawa justru akibat penerapan sistem kapitalis sekuler yang mengatur hidup kita. Bukan karena aturan Islam yang malah memuliakan wanita. Jika aturan Islam diterapkan dalam bingkai Daulah Khilafah, niscaya kehidupan wanita akan terjamin didunia maupun diakhirat.
Seperti pengkuan seorang Anna Rued, penulis buku –Eastern Mail, ia menyebutkan “kita harus iri kepada bangsa – bangsa Arab yang telah menundukkan wanita pada tempatnya yang aman. Di mana hal itu jauh berbeda dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja sama laki – laki dikilang – kilang minyak yang tidak saja menyalahi kodrat tapi bisa menghancurkan kehormatannya.”
Wahai para Muslimah! Kita harus berbangga diri dengan Islam yang kita bawa. Jaga diri kita dengan menerapkan Syari’at Islam, dengan menutup aurat secara sempurna saat keluar rumah. Juga menjanda aktivitas kita agar tidak menyalahi fitrah.
Jika kita peduli dengan nasib kaum perempuan, bukan berarti kita harus ambil bagian dalam kampanye He For She. Tapi yang harus kita lakukan adalah ambil bagian dalam barisan dakwah mengampanyekan penerapan Syari’ah oleh negara. Karena penindasan terhadap perempuan bukan karena gender, tapi aturan hidupnya yang sekuler. Dan hanya Syari’ah Islam yang akan menjaga, melindungi dan memuliakan perempuan. Walllahua'lam bishawab.*